Minggu, 30 September 2007

TIGA JALAN, SATU TUJUAN


Tiga Jalan,
Satu Tujuan

Oleh:
Ragil Nugroho, S.Fil
(Sejarawan dan Filsuf Swasta,
Alumus Fakultas Filsafat UGM)

Hakikat Manusia
Berbicara tentang kemandirian berarti membicarakan tentang kebebasan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, terlebih dahulu dibutuhkan uraian tentang hakikat manusia. Diharapkan dari penjelasan tersebut akan diketahui sebab-sebab yang menyebabkan manusia bisa memiliki dan sekaligus bisa kehilangan kebebasannya.

Manusia Antara Apa….
Manusia bukan hanya “apa”. Apa maksud kalimat tersebut? Dalam bahasa Indonesia kata “apa” digunakan untuk bertanya tentang benda. Misalnya: “Kursi itu terbuat dari apa?” atau “Meja itu terbuat dari apa?” atau “Itu padi jenis apa?” Dll. Sehingga kata “apa” tidak akan cocok jika digunakan untuk bertanya tentang manusia. Misalnya: “Apa Iwan itu?” Pertanyaan tersebut menurut kaidah kebahasaan jelas tidak tepat.
Kalau begitu, apakah manusia bukan benda material?
Badan manusia—dari ujung rambut sampai ujung kaki—jelas benda material. Sebagai barang material ia harus mengikuti hukum-hukum barang material, yang artinya badan manusia sebagaimana benda-benda yang lain juga mempunyai keterbatasan. Sebagai contonya, organ-organ manusia bisa rusak sebagaimana benda.

…Dan Siapa
Akan tetapi, manusia bukan hanya “apa” melainkan juga “siapa.” Kata “siapa” ini hanya bisa dilekatkan pada manusia dan tidak bisa dilekatkan pada makhluk yang lain. Misalnya: “Siapa kambing itu?” Pertanyaan tersebut bila jelas tidak tepat dalam kaidah kebahasaan. Akan tetapi, pertanyaan ini akan tepat: “Siapa Iwan?” Karena apa? Karena kata “siapa” tersebut dilekatkan pada manusia yang bernama Iwan.
Dari kata “siapa” tersebut secara sadar maupun tidak sadar manusia telah membedakan diri dengan makhluk yang lain. Perbedaan tersebut menyangkut akal budi yang dimilikinya. Hewan mempunyai badan sebagaimana manusia, tapi mereka tidak mempunyai akal sehingga tidak layak disebut “siapa”. Meja, kursi dan lain-lain merupakan benda-benda material seperti halnya tubuh manusia, tapi mereka tidak mempunyai akal sehingga tak layak disebut “siapa”. Hanya manusia-lah yang layak disebut “siapa”.

Manusia Sebagai Siapa
Sebagai “siapa” manusia mempunyai kebebasan yang tak terbatas. Dengan akal budi yang dimilikinya ia bisa menentukan pilihan sesuai dengan yang diinginkannya. Bisa dikatakan manusia mempunyai kebebasan yang tak terbatas.
Dalam ranah filsafat kebebasan manusia memang menjadi pokok perdebatan yang terjadi hingga kini. Dalam filsafat Islam misalnya, terdapat silang pandangan antara kaum Mu’tazilah dan Jabariah mengenai kebebasan manusia. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kebebasan manusia tak terbatas. Dengan akal yang dimilikinya ia bisa menentukan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, dengan kebebasan yang dimilikinya manusia harus mempertanggungjawabkan kebebasannya tersebut. Sedangkan kaum Jabariyah berpendapat sebaliknya, bahwa kebebasan manusia adalah terbatas karena harus tunduk pada kemauan Tuhan. Dalam pandangan mereka manusia tak ubahnya seperti robot, yang bisa bergerak kalau digerakkan atau dengan kata lain apa yang dijalani manusia di bumi ini sudah ditentukan oleh Tuhan.
Perdebatan tentang kebebasan juga terdapat dalam filsafat Barat. Filsuf eksitensialisme seperti Sartre menganggap kebebasan manusia tidak terbatas. Manusia merupakan subjek bukan objek. Pandangan mereka ini kemudian berimbas pada penegasian terhadap Tuhan, karena sebagai subjek manusia tak membutuhkan kehandiran Tuhan. Sedangkan para filsuf idealis seperti Plato menganggap manusia hanya objek yang tunduk pada kemanuan sang Subjek (Tuhan).

Kenyataan Tentang Kebebasan
Kebebasan manusia memang tak terbatas, tetapi sering kali manusia tidak bebas. Sebagai contoh adalah kehidupan para budak. Sebagai manusia sebetulnya ia mempunyai kebebasan tetapi dalam kenyataannya ia tidak bebas karena hidupnya ditentukan pemilik budak. Begitu juga sebuah bangsa yang sebetulnya mempunyai kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri, tetapi bangsa yang terjajah tidak akan mempunyai kebebasan seperti itu.
Itulah kenyataannya, seringkali kebebasan itu terpasung, baik oleh sebab dari dalam maupun dari luar. Keterpasungan ini menyebabkan manusia tidak mampu untuk mandiri. Keterpasungan itu pula yang menyebabkan sebuah bangsa kehilangan kemerdekaannya.
Lalu apa yang bisa dilakukan?

Tiga Jalan, Satu Tujuan
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan manusia mempunyai kebebasan tetapi seringkali kebebasannya terampas. Adanya kenyataan ini mengharuskan manusia harus berjuang agar ia bisa memperoleh kebebasannya sendiri sehingga bisa menentukan segala keinginannya. Begitu pula dengan sebuah negara.
Lantas apa yang bisa dilakukan manusia untuk memperoleh kebebasannya?
Ada tiga jalan yang bisa ditempuh. Dalam menguarikan tiga jalan tersebut penulis akan menggunakan pemaparan yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya ada tiga macam revolusi agar manusia bisa bebas. Pertama, revolusi sebagai perjuangan fisik. Tokoh rekaan dalam karya Pramoedya, khususnya dalam masa-masa revolusi kemerdekaan seperti dalam Perburuan, Di Tepi Kali Bekasi, Dendam, Keluarga Gerilya, Mereka Yang Dilumpuhkan, terlibat dalam sebuah perjuangan yang berbentuk revolusi fisik rakyat Indonesia melawan kolonialisme. Lewat tokoh-tokohnya tersebut Pram ingin mengatakan bahwa kemerdekaan bukanlah suatu barang gratisan yang bisa diperoleh begitu saja, melainkan harus diperjuangkan bahkan sering meminta pengorbanan yang paling besar yang dimiliki oleh manusia.
Revolusi kedua, yaitu revolusi sebagai perjuangan batin. Revolusi dalam makna ini, menurut Pramoedya, adalah sebuah revolusi yang harus bisa mengubah jiwa manusia dari jiwa yang terjajah menjadi jiwa yang merdeka. Revolusi jiwa ini meliputi perjuangan manusia untuk memperoleh keadilan, bebas dari ketakutan, dan memiliki kesamaan hak, sehingga bisa lahir menjadi manusia yang benar-benar merdeka jiwanya.
Adapun revolusi ketiga yaitu revolusi sosial. Dalam pemikiran Pramoedya, keadaan masyarakat perlu diubah melalui sebuah revolusi sosial. Yaitu, mengubah tatanan masyarakat yang menindas menjadi masyarakat yang membebaskan. Ini berarti, revolusi pembebasan nasional saja tidak cukup. Menurutnya, revolusi pembebasan nasional belum bisa menghasilkan sebuah perubahan yang bersifat fundamental, yang kemudian untuk selanjutnya dapat mengubah Indonesia menjadi rumah kemanusiaan yang diharapkan—hanya bersifat reforisme belaka. Dalam tulisan yang berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram mengatakan dibutuhkan sebuah revolusi proletariat untuk menyempurnakan revolusi pembebasan nasional. Tujuan revolusi ini adalah merebut alat produksi dari tangan borjuasi sehingga bisa mengubah masyarakat kapitalis yang menghisap menjadi masyarakat sosialis yang membebaskan.
Bagi Pram, ketika revolusi berjalan secara dialektik—dan apabila ketiga revolusi ini berhasil—maka akan terciptalah rumah kemanusian yang ideal, yaitu sebagai rumah yang bisa menaungi manusia tanpa adanya penindasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang diatapi oleh kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, yang berdiri di atas dunia baru: dunia yang dibangun di atas landasan keadilan yang merata.
Dengan tiga jalan di atas tersebut maka manusia/bangsa akan mencapai satu tujuan: kemerdekaan.

Kekuatan Pengubah; Memetakan Musuh
Sebelum berbicara tentang kekuatan pengubah maka terlebih dahulu diperlukan mengurai tentang kekuatan-kekuatan yang merantai kemandirian suatu bangsa, yang menurut pandangan penulis dapat dipetakan menjadi dua, yaitu sebab dari dalam dan dari luar.
Sebab dari dalam merupakan kekuatan-kekuatan di dalam bangsa itu sendiri, yang karena adanya mereka kemandirian tersebut menjadi hilang. Dalam sebuah bangsa mereka bisa direpresentasikan sebagai kelas yang berkuasa—bila mengikuti trias politika mereka tercermin dalam kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Mereka ini sebetulnya merupakan kelas yang minoritas, akan tetapi karena menguasai alat-alat produksi maka mereka menjadi dominan dalam menentukan warna pelanginya sebuah bangsa. Dalam terminologi Marxist mereka ini dikenal dengan sebutan kelas borjuasi.
Dalam sejarahnya, kelas borjuasi ini bisa dikatakan revolusioner—dalam artian mereka mampu mengubah corak produksi dan merombak tatatan masyarakat. Mereka inilah yang berhasil menumbangkan kekuasaan kelas feodal dalam masa revolusi borjuis. Kisah-kisah revolusioner mereka bisa dibaca dari buku-buku sejarah yang mengisahkan tentang revolusi Prancis, atau buku-buku sastra, misalnya karya Victor Hugo, “Si Bongkok dari Notherdam”. Dari bumi Prancis tersebut mereka menjalarkan revolusi ke berbagai tempat. Selanjuntnya, setelah mereka menjadi kelas yang berkuasa élan revolusi mereka menjadi hilang, dan mereka pun berubah menjadi kelas yang anti revolusi.
Berbicara tentang borjuasi dalam konteks Indonesia, mereka tiak dapat dipersamakan dengan borjuasi yang tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat. Borjuasi Indonesia bukanlah kelas yang lahir dengan sendirinya, mereka merupakan kelas yang tumbuh dari cangkokan. Mereka pada awalnya merupakan para feodal-feodal pada masa kolonialisme Belanda, yang karena kemuruhan hati Belanda berubah menjadi borjuasi. Sifatnya yang demikian inilah yang membuat mereka tak pernah menjadi mandiri karena tulang-tulang dalam diri mereka tak pernah beranjak dari tulang rawan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka selalu tergantung pada kekuatan yang lebih kuat agar bisa berdiri tegak, artinya mereka tak akan mampu bisa mandiri. Sehingga, berharap agar mereka mengantarkan bangsa ini menuju kemandirian sama halnya menunggu Godot.
Sekerang jelaslah siapa musuh yang pertama: Borjuasi Indonesia, yang saat ini tercermin dari pemerintahan SBY-JK beserta kroni-kroninya. Mereka inilah kepanjangan tangan dari kapitalisme internasional. Sehingga jelaslah bahwa agar tidak merintangi jalan menuju kemandirian Indonesia, mereka harus digulingkan.
Siapakah musuh selanjutnya?
Musuh yang kedua ini sudah merasuk dalam segala aspek kehidupan manusia. Wajah mereka ada dalam sistem ekonomi, politik, budaya, agama, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Sebagaimana halnya dengan Dasamuka dalam kisah Ramayana, mereka itu satu tetapi berwajah banyak. Mereka inilah yang dikenal dalam terminologi Marxist sebagai kapitalisme, yang merupakan anak kandung dari borjuasi.
Sebagaimana halnya borjuasi, sebagai sistem ekonomi mereka pada awalnya revolusioner, di mana berhasil merombak tatanan ekonomi feodal menjadi tatanan ekonomi kapitalis. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya sistem ekonomi ini akahirnya menjadi sistem yang menindas akibat ciri khasnya yang eksploitatif—baik terhadap sumber daya alam maupun terhadap kelas proletar.
Tentang sistem kapitalisme ini JJ Rousseau berpandangan bahwa sistem ini telah mencabut keadaan bahagia manusia di Taman Eden, sehingga manusia mengalami keterasingan (alienasi). Sedangkan Karl Marx mempunyai penadapat serupa tetapi lebih menekankan pada kepemilikan hal milik sebagai penyebab keterasaingan, dan perjuangan kelas sebagai jalan untuk melepaskan diri dari alienasi (istilah ini bisa dicaca sebagai ketidakmandirian). Sedangkan Gothe memberikan jalan keluar agar manusia bisa terbebas dari alienasi tersebut melalui tiga penghargaan, yaitu penghargaan kepada yang ada di bawah manusia (mineral, flora dan fauna); penghargaan terhadap Dzat yang berada di atas manusia (Tuhan dan alam akhirat); dan penghargaan kepada sesama manusia.
Di antara pendapat-pendapat tersebut di atas memang Karl Marx yang paling gigih dalam memberikan jalan keluar—baik melalui teori maupun pratek. Konsep Marx agar manusia menjadi bebas tercermin dalam karya-karyanya—baik dalam Das Kapital maupun karya-karya yang lain. Dalam karya-karya tersebut secara garis besarnya ia memaparkan bahwa manusia hidup dalam ketidakmandirian karena adanya kepemilikan pribadi. Bagi Marx agar manusia bisa kembali mandiri maka harus melakukan perjuangan kelas yang dipimpin oleh kelas proletar, dengan tujuan akhir menciptakan masyarakat komunis. Sedangkan dalam tataran praktek, konsep Marx bisa dilihat dari kerja-kerja politiknya dalam pembangunan kekuatan politik proletar pada abad ke-19. Dalam tataran praktis ini ia mengusulkan terbentuknya sebuah partai proletar.
Nah, sekarang musuh yang kedua sudah kita ketahui: kapitalis internasional, yang sekarang ini mereka mewujud dalam istilah pada aktivis dengan sebutan neoliberalisme.

Satu Kata Yang Hilang
Bicara tentang kekuatan pengubah tentu saja berbicara tentang kekuatan-kekuatan politik yang sekarang ada di Indonesia. Bila dicermati tentang kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh berkembang saat ini—dalam hal ini yang dimaksud tentang kekuatan-kekuatan politik tentu saja kekuatan yang berlawan, atau awam sering menyebutnya sebagai kekuatan opoisi—ada satu kata yang hilang dari mereka. Yiatu, “Gulingkan”. “Gulingkan” yang dimaksudkan di sini adalah “gulingkan” rezim borjuasi (SBY-JK).
Sebelum era revolusi demokratik yang terinterupsi (baca:revolusi Mei ’98) kata “gulingkan” ini menjadi kata yang sangat ditakuti baik oleh berbagai kekuatan yang berlawan maupun oleh rezim ketika itu (Soerharta, Golkar dan tentara). Sepengetahuan penulis, kata “gulingkan” pertama kali diperkenalkan oleh PRD (Partai Rakyat Demokratis), yang kemudian kata tersebut menjelma menjadi program ideologi, politik maupun organisasi mereka. Sampai pada masa pemerintahan Megawati Sukarno Putri, kata “gulingkan” ini masih ada dalam program PRD. Akan tetapi, sejak SBY-JK mulai berkuasa, kata “gulingkan” tersebut melenyap dari PRD maupun Papernas (partai yang kelihatannya dipersiapkan untuk pemilu 2009, yang merupakan gabungan dari PRD dan kekuatan-kekuatan politik yang lain)—baik menghilang dalam tataran program maupun pratek di lapangan (mungkin saja dicantumkan dalam program untuk menunjukkan bahwa mereka masih konsisten, tapi hanya untuk kalangan internal, tanpa pernah dikampayekan (propagandakan) secara luas.
Hilangnya kata “gulingkan” dari PRD rupanya juga diikuti oleh kekuatan-kekuatan politik yang berlawan lainnya. Kekuatan mahasiswa yang walaupun seringkali naif tapi cukup “berani” dalam melontarkan program politik dan metode perjuangan, saat ini sudah jarang (mungkin tidak pernah) mengangkat meneriakkan kata “gulingkan” ini. Mereka lebih sibuk mengurusi isu-isu “dosmetik” yang tidak memberikan perspektif perjuangan jangka panjang.
Kondisi yang sama juga terjadi pada organisasi-organisasi Kaum Miskin Perkotaan (KMK), yang gagal menghubungkan misalnya, antara program penggusuran dengan pengulingan rezim SBY-JK. Akibatnya, mereka hanya memperoleh “kemenangan-kemenangan kecil” yang seringkali mengilusi. Padahal, bila organisasi-organisasi KMK ini mampu menghubungkan program-program mereka dengan penggulingan SBY-JK, energi revolusi mereka sangat besar, karena di samping kaum proletar, KMK-lah yang paling banyak mendapat dampak langsung dari kebijakan SBY-JK yang menghamba pada kekuatan kapitalisme internasional. Menurut hemat penulis kegagalan organisasi-organisisasi KMK tersebut terjadi karena sebuah kekuatan yang sebetulnya bisa menjadi “picu ledak” bagi proses revolusi justru dipimpin oleh orang-orang yang moderet, yang tidak mengetahui karakter sejati dari kelas yang dipimpinnya.
Gerakan buruh pun setali tiga uang. Secara potensi massa yang bisa dikerahkan memang mengali peningkatan, tapi secara program perjuangan mereka mengalami kemunduran. Para pemimpin gerakan buruh yang sebagian besar kaum buruh berdasi ini mengarahkan gerakan buruh ke arah yang moderat. Akibatnya, seradikal apapun metode perjuangannya, tak banyak membawa dampak yang cukup berarti.
Dalam pandangan penulis, hilangnya kata “gulingkan” ini membuat rezim SBY-JK pun bisa melenggang kangkung dengan leluasa. Bisa dikatakan inilah keberhasilan dari SBY-JK dalam memoderasi program penggulingan borjuasi dari kekuatan-kekuatan politik yang berlawan yang ada saat ini.
Penulis sendiri belum bisa melihat akar penyebab dari hilangnya kata “gulingkan” tersebut. Akan tetapi, bila melihat dari perkembangan politik kekinian dapat dilihat bahwa hilangnya kata “gulingkan” lebih banyak disebabkan oleh pramagtisme dari kekuatan-kekuatan politik yang berlawan. Setelah gagal menuntaskan revolusi demokratik yang terinterupsi, kekuatan-kekuatan politik yang berlawan menjadi patah arang—disebabkan oleh kesalahan mereka dalam melihat proses kemajuan maupun kekurangan dalam perjuangan—sehingga mereka lebih memilih cara-cara yang pragmatis, yaitu parlementerisme.
Bagi penulis, jalan parlementer sama dengan kisah Musa dalam Bible maupun al Qur’an. Ketika Musa terusir dari Mesir konon kabarnya Tuhan menjanjikan pada Musa dan kaumnya “tanah yang dijanjikan”, yaitu Yerusalem. Adanya janji tersebut membuat pengikut Musa rela menempuh marabahaya dan berjalan ratusan kilometer untuk melakukan eksodus dari Mesir menuju “tanah yang dijanjikan”.
Jalan parlementer juga seperti “tanah yang dijanjadikan”. Kondisi kekuatan-kekuatan politik berlawan yang patah arang (demoralisasi) membuat mereka membutuhkan harapan baru berupa jalan parlementer—yang dengan jalan ini mereka berharap dapat mencapai segala sesuatunya. Di satu sisi jalan keluar ini memenang mampu menghasilkan suatu harapan baru, tetapi harapan ini justru menjerumuskan mereka keliang kubur karena hanya merupakan ilusi—sebagaimana manusia yang berbuat kebaikan mengilusikan mendapat surga yang di dalamnya terdapat bidari-bidari yang terus-menerus perawan, maka manusia seperti ini menurut seorang sufi kenamaan Baghdad (Irak), Rabiah Adawiyah, hanya akan mendapatkan kesia-siaan, maka ia bermaksud membakar surga agar manusia tak tertipu lagi, Rabiah juga mengajukan satu pertanyaan yang menarik, “Apakah kalau tak ada iming-iming surga engkau masih mau menyembah Tuhan, wahai saudaraku? Dalam konteks kekinian pertanyaan tersebut bisa diubah, “Apakah kalau tidak ada iming-iming parlemen engkau masih mau berjuang, wahai kawanku?”. Inilah dampak dari jalan parlementer: munculnya ilusi di antara kekuatan-kekuatan politik yang berlawan. Akibat tersebut masih bisa ditambah dengan munculnya makelar politik dan koruptor serta dampak-damak negatif lainnya.
Sedangkan bagi perkembangan politik yang luas jalan parlementer tidak mengajarkan apa-apa bagi massa rakyat. Selama ini massa rakyat sudah teracuni kesadarannya (terhegemoni) bahwa perubahan hanya bisa ditempuh dengan jalan parlementer—sebagai jalan yang paling demokratis bagi ukuran borjuasi—maka akan semakin teracuni dengan pilihan politik kekuatan-kekuatan yang berlawan, mereka pun tidak lagi bisa melihat jalan alternatif—karena guru mereka mengkhianati jalan mereka sendiri.
Bila menilik ke belekang sejarah Indonesia, jalan parlementer ini sudah ditempuh oleh kekuatan politik yang berlawan ketika itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Strategi mereka ini memang berhasil memperluas struktur ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dicapai, namun struktur yang mereka hasilkan ini merupakan struktur tulang rawan yang mudah dipatahkan oleh kekuatan kontrarevolusi. Dan, takdir sejarah pun telah mencacat bahwa mereka—PKI dan kekuatan-kekuatan politik yang beralifiasi dengannya—hancur dan tak mampu bangkit lagi. Kalaupun mau mengambil nilai-nilai positif yang bisa didapat dari sejarah PKI tersebut adalah kemampuan mereka dalam memperluas struktur—yang seandainya mereka tidak menempuh cara-cara yang pragmatis, tentu saja struktur mereka akan kuat—selain hal tersebut apa yang dihasilkan PKI hanya sampah dan ampas.
Munurut pandangan penulis, yang dibutuhkan massa rakyat saat ini adalah cara dan jalan yang benar untuk mengapai kebebasan. Fakta-fakta yang terekam selama ini menunjukkan bahwa mereka sebetulnya mempunyai energi yang besar untuk melawan, tetapi mereka tidak mengetahui cara dan jalan yang benar. Untuk itu kekuatan-kekuatan politik yang berlawan perlu mengajarkan cara dan jalan yang benar tersebut, sehingga massa rakyat sadar bahwa bukan cara dan jalan parlementer yang bisa melepaskan mereka dari belenggu ketidakmandirian, tetapi revolusi-lah—revolusi dalam konteks ini adalah ketiga macam revolusi yang telah dipaparkan di atas— yang bisa membebaskan.

Memunculkan Kembali Kekuatan Yang Hilang
Penulis tidak yakin kalau komunitas seperti Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional—walaupun mungkin di dalamnya berisi orang-orang progresif-revolusioner—akan mampu memimpin proses perjuangan yang telah dipaparkan di atas. Penulis juga tidak yakin kalau LSM maupun organisasi sejenisnya mampu melakukan tugas sejarah ini. Karena apa? Organisi-organisi tersebut tak akan mampu memikul beban sejarah yang harus ditanggung. Menurut pandangan penulis, hanya sebuah organisasi yang rapi, yang dipimpin oleh para profesional, dan bertulangpunggungkan kekuatan revolusionerlah yang akan mampu menanggung beban sejarah tersebut. Kekuatan tersebut hanya bisa mewujud dalam bentuk partai politik yang revolusioner.
Lantas partai politik apa yang bisa memimpinnya?
Sejarah bangsa Indonesia sebenarnya sudah melahirkan sebuah partai politik yang mampu menanggung beban sejarah tersebut, yaitu PRD. Partai ini lahir sebagai kebutuhan sejarah untuk melahirkan sebuah organisasi revolusioner guna memimpin proses perubahan di Indonesia. Sebagai bagian dari proses sejarah, PRD bukan lahir tiba-tiba, akan tetapi melalui proses yang panjang, yang bila dirunut ke belakang merupakan kelanjutan dari kekuatan-kekuatan politik revolusioner yang ada dalam sejarah Indonesia; ia merupakan sintesis dari gerakan revolusioner itu sendiri—yang tidak hanya melahirkan kader-kader yang revolusioner tetapi juga ideologi revolusioner. Bagi yang tidak mengerti sejarah maka PRD akan dianggap sebagai kumpulan anak muda yang kekiri-kirian, sedangkan bagi penguasa ia akan dianggap sebagai mimpi buruk.
Sebagai bagian dari proses sejarah dari kekuatan revolusioner di Indonesia, potensi yang dimiliki PRD cukup besar. Ini yang membuat kekuatan borjuasi (termasuk tentara) berkali-kali mencoba menghancurkannya—mulai dari penangkapan, penculikan sampai pembunuhan. Menghadapi hantaman-hantaman tersebut PRD mampu melaluinya. Ia terus bertumbuh di antara musuh-musuh politik yang terus-menerus mengincar. Akan tetapi, begitu menghadapi ruang demokratik yang dibukanya sendiri, kader-kadernya menjadi gagap. Sebagai kader-kader yang seringkali bergerak di bawah tanah mereka silau melihat hasil perjuangan sendiri. Mereka menjadi tak mampu mengeja yang terjadi, mengurai yang tersirat maupun tersurat. Akibatnya, mereka menjadi larut dan lupa akan jati dirinya sendiri. Maka tak mengherankan kalau kemudian muncul petualang-petualang politik yang menggerogoti PRD dari dalam. Dengan kata lain, ia kalah oleh dirinya sendirinya, bukan oleh lawan-lawan politiknya.
Sebetulnya dengan munculnya kader-kader baru keadaan tersebut bisa diatasi. Akan tetapi sayang, kader-kader baru tersebut hanya mengelus-ngelus masa lalu PRD; PRD dulu revolusioner, PRD dulu memelopori pengulingan Suharta, PRD dulu ini dan itu. Mereka hanya mengelap kejayaan masa lalu tanpa mampu melahirkan kejayaannya sendiri. Tak mengherankan kalau dalam perkembangan terkini, PRD justru menjadi kuda troya bagi petualang-petualang politik yang ada di dalamnya bukan sebagai pelopor dari kekuatan-kekuatan yang berlawan. Situasi ini memang membawa kemunduran dari PRD, tetapi di sisi lain merupakan berkah karena para kader-kadernya akan bisa melihat mana yang loyong dan mana yang emas.
Proses kemunduran tersebut merupakan takdir sejarah PRD yang bukan berarti tidak bisa diubah. Ia bisa keluar dari masa-masa kemundurannya ini, keluar menjadi kekuatan baru yang lebih kuat dari sejarah masa lalunya, dengan syarat ia mampu merevolusi dirinya sendiri, mampu melihat dirinya pada titik yang benar, mampu menghargai apa yang telah dihasilkan, mampu mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja seperti kelahirannya, proses ini tidak semudah membalik telapak tangan, ia membutuhkan proses yang panjang. Sebagai partai yang lahir dari “kehendak zaman” ia harus bekerja keras agar maqom (kedudukannya) dalam pentas perjuangan revolusioner Indonesia bisa didapatkan kembali.
Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini penulis ingin mengajukan satu pertanyaan: Apakah “kekuatan yang hilang tersebut” bisa muncul kembali? [*]

Lereng Gunung Merapi, 19 September 2007
(Tanggapan atas tulisan ini
bisa ditujukan
pada alamat: ragil_nugroho1@yahoo.com.
Tentu saja tanggapan yang cerdas yang ditunggu)

Senin, 10 September 2007

Aksi Protes Perubahan Iklim (Climate Change) mengawali Pertemuan APEC

Protes Perubahan Iklim (CLimate Change) di Newcastle dan wilayah Victoria mengawali pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yang akan digelar di Sydney 2-9 September 2007. Sebagai tuan rumah forum ini adalah Perdana Menteri Australian Yohanes Howard yang terkenal konservatif dan dihadiri oleh Presiden George Bush, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Cina Hu Jintao dan para pemimpin negara Asia Pacific lainnya termasuk Indonesia. Sebagian besar CBD Sydney bagian utara yang mencakup Rumah Opera terkenal telah dipasangi beton tinggi setinggi sembilan kaki dan dipagari kawat; yang menjadi tembok besar APEC dan tanda kebangkitan "military urbanism" di Australia.

Sebuah protes awal oleh Greenpeace di pelabuhan batubara terbesar di dunia, di Newcastle, menyoroti ketergantungan Pemerintah Australian terhadap negosiasi batubara dimana melatarbelakangi negosiasi internasional tentang perubahan iklim. Sebuah aksi di Negara Bagian Victoria berhasil menutup Pembangkit listrik Loy Yang Coal (Video) selama 5 jam pada hari Senin sebagai pesan mogok kerja kepada para pemimpin APEC untuk mengambil tindakan nyata terhadap perubahan iklim. Sebuah Aboriginal Tent Embassy didirikan untuk menyoroti kebijakan rasis Pemerintah Australia. Protes lanjutan direncanakan berlangsung selama minggu depan.


Minggu, 09 September 2007

PERNYATAAN SIKAP JAMAN



Lawan Tindakan Memasung Kebebasan Akademik dan Budaya Intelektual di Kampus!!!


Fasisme di kampus terjadi lagi. Kampus yang secara hakiki seharusnya menjadi benteng dari kebebasan berpikir yang dapat dilihat dari kebebasan akademik, ternyata masih diwarnai dengan birokratisme yang kaku dan memusuhi demokrasi. Fery Juniansyah, mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dipecat gara-gara melakukan aksi menolak pendidikan mahal di kampusnya. Kejadian tersebut bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, tiga mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya juga diskorsing karena mengungkapkan kongkalikong antara ITS dengan PT Lapindo.

Upaya memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan membela rakyat nampaknya sekarang ini justru dimusuhi di kampus, terutama oleh birokrasi yang menjadikan kampus sebagai menara gading kekuasaan anti-rakyat, bertentangan dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang seharusnya memajukan ilmu pengetahuan dengan praktek kepedulian dan pembelaan pada masyarakat yang sedang sengsara.

Selain itu, nampaknya hal itu juga menunjukkan gejala bahwa pendidikan tinggi di Indonesia juga masih diwarnai dengan kepentingan negara untuk mendepolitisasi mahasiswa. Bahkan mahasiswa dijauhkan dari pemikiran dan tindakan kritis terhadap apa yang dilakukan negara. Kita masih ingat, pada era Orde Baru Soeharto, terutama setelah peristiwa MALARI, mahasiswa di-”goblog”-kan melalui kebijakan NKK/BKK. Mahasiswa belajar saja (artinya datang ke kampus, mendengarkan doktrin dosen, mencatat, pulang, tidur, bersenang-senang, dan tidak usah mengurusi kebijakan negara (pemerintah), tidak usah berpolitik. Upaya pembodohan ini berlangsung sampai sekarang. Adalah fakta bahwa “pembodohan” dan pengebirian hakekat mahasiswa itu semakin nyata di era terkurasnya seluruh tatanan kemanusiaan yang diabdikan ke pasar bahkan hingga saat ini.

Nampaknya negara dan birokrasi merasa sukses dalam menjalankan proses pendidikan jika kampus kampus tidak kondusif bagi pencarian hakekat kemanusiaan. Sementara proyek privatisasi kampus, yang dalam banyak hal adalah keinginan para pemilik modal (kapitalis) yang dijalankan melalui status kampus menjadi BHP, merupakan upaya untuk semakin merunyamkan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat yang meradikalisasi kapitalisme (neo-liberal) era ini. Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pelayanan negara terhadap warga yang sifatnya wajib, tetapi sektor jasa yang diperjualbelikan.

Dalam kesepakatan WTO, sektor pendidikan termasuk dalam 12 sektor lainnya yang harus diliberalkan. Hal ini berarti pendidikan akan menjadi komoditi jasa untuk akumulasi modal. Dalam sebuah makalah disebutkan bahwa pada tahun 1999, “industri pendidikan” menyumbang 9,4 milyar dollar AS dan diramalkan naik menjadi 53 milyar dollar AS pada tahun 2003 (Soekartawi, 2003).

Privatisasi kampus dengan tujuan untuk melanggengkan stabilitas masyarakat kapitalis (pasar bebas) yang anti-kemanusiaan, dengan demikian, juga dilakukan bersamaan dengan upaya menjauhkan mahasiswa dari upaya mengkritisi dan menolak kebiadaban pasar bebas yang dijalankan oleh negara. Hal itulah yang terjadi pada Fery Juniansyah yang dikeluarkan dari kampus karena menolak privatisasi kampus. Nampaknya, pihak birokrasi sangat menginginkan kematian budaya akademis yang ilmiah, kritis, dan berpihak pada rakyat.

Berbagai produk hukum sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk melegalkan dan melindungi proses privatisasi sektor pendidikan, misalnya PP No 60/1999 tentang Perguruan Tinggi; PP No. 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN; SK Dirjen Dikti No. 26/2002 tentang Pelarangan Ormas dan aktifitas politik praktis di kampus; UU SISDIKNAS No. 20/2003, dan yang terakhir adalah RUU BHP. Hal itu seiring dengan didukungnya budaya mahasiswa yang memundurkan budaya akademis, pikiran ilmiah, dan tindakan kritis. Kita bisa melihat kemunduran hakekat mahasiswa tersebut dengan melihat sikap dan tindakan mereka sebagai mahasiswa. Budaya mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa jaman dulu: malas membaca dan belajar, kecuali teksbook dengan maksud mengejar kepentingan akademik pragmatis, supaya dapat nilai formal yang baik. Kebanyakan dari mereka, dalam budaya hedonistik kapitalisme, menghambur-hamburkan uang dari posisi orangtua (hasil keberhasilan status sosial dalam logika penindasan kapitalisme), jarang yang mau berpikir susah-susah; Waktu mereka hanya untuk bersenang-senang, dan jelas seperti binatang yang bergerak dan hidup berdasarkan insting (kehendak). Mirip binatang, mengendus-endus produk di mall, memenuhi insting spesies mahkluk (seks) dengan “pacar”, diperbudak dengan pasangannya hanya dengan menghabiskan waktu untuk “bercinta”, membuang waktu bagi cinta universal (untuk kehidupan sosial yang adil).

Dan dinamika pacaran inipun tidak lepas dari rekayasa peumpuk modal yang memberikan model-model dalam desiplin tubuh dan aktivitas antar pasangan. Seolah-olah tidak ada cara bercinta yang baik selain di tempat-tempat di mana suatu budaya massa kapitalistik dirancang untuk keperluan jual-beli dalam kepentingan penumpukan kapital. Tempat yang katanya “gaul” adalah di mall, di bioskop; kegiatan yang paling pantas dilakukan oleh sebuah pasangan muda adalah belanja, makan bareng tempat yang selalu dikhotbahkan oleh kapitalis melalui iklan-iklannya.

Berdasar desainer para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital. Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri bagi para penumpuk modal. Peran negara diharapkan juga sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghilangkan kemungkinan bagi terciptanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan berlawan terhadap kapitalisme, negara diharuskan melakukan sistem pendidikan dan kebijaksanaan kampus yang tidak memungkinkan para mahasiswa untuk memulai perubahan. Tentu saja usaha ini juga sejalan dengan kepentingan birokrasi-birokrasi kampus yang diuntungkan jika mahasiswanya bodoh-bodoh. Kalau bisa, dibuat bagaimana mahasiswa hanya diekploitasi dari pembayaran-pembayaran dana pendidikan yang akan menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan. Sementara tidak pernah kemudian budaya akademis yang kritis itu digagas.

Kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diapresiasi adalah kegiatan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir, apalagi kritis dan melawan kesewenang-wenangan kampus dan “negara yang terkapitalkan”. Kita bisa lihat, kegiatan-kegiatan yang bersimbiosis dengan suatu faksi kapital akan selalu menjadi besar dan digandrungi oleh banyak mahasiswa ketimbang kegiatan yang memungkinkan mahasiswa kritis. Kegiatan Lomba Bola Basket, Cheersleaders, parade musik, paduan suara, dan lain-lainnya akan selalu mendapat biaya yang besar terutama dari kekuatan kapital, dan dalam banyak kampus lebih didukung oleh pihak birokrasi. Kegiatan yang memungkinkan mahasiswa menjadi objek pemuja artis, yang membuat mahasiswa tidak bisa berpikir selain memuasi budaya hedonisme, akan lebih melanggengkan sistem kapitalisme dan penindasannya. Sementara kegiatan-kegiatan seminar, diskusi dan ekspresi mahasiswa atas ketimpangan sosial berupa aksi, akan ditolak mentah-mentah.

Barangkali memang ada beberapa kegiatan seperti seminar. Akan tetapi kalau kita jeli, hal ini tidak mengarah pada fungsi seminar sebagai tempat untuk mendiskusikan tema-tema kritis dan mencerahkan, terutama berguna bagi perubahan sosial. Seminar tidak lagi menjadi suatu ajang bagi idealisme perubahan untuk menghilangkan sistem di masyarakat, tetapi hanya sekedar untuk pemuasan dan heroisme eksistensial bahwa mereka (akademisi, politisi, dosen, mahasiswa) adalah kaum “intelektual”. Artinya seminarpun alih-alih untuk menunjukkan kegiatan yang bersifat akademis justru terjebak pada kepentingan pemuasan diri. Kadangkala, mereka yang menjadi pemakalah dalam seminar merasa bangga karena pemikiran mereka terjual (dapat bayaran) dan kapasitas “intelektual” (palsu) mereka bertambah (dalam konteks daya tawarnya sebagai penjual pikiran); sementara mahasiswa yang datang ke seminar juga merasa bahwa dia juga bagian dari ”intelektual”; lucunya, ada yang tujuannya hanya dapat sertifikat dengan alasan bahwa itu akan membuatnya nanti laku di (lamaran) bursa kerja, untuk bekerja di suatu perusahaan dan mengabdikan diri pada penumpuk modal.

Karenanya, kami yang tergabung dalam Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N) menyatakan:

·Menyerukan pada mahasiswa baik secara individu maupun yang tergabung dalam organisasi untuk menyatukan diri dalam satu front dan melancarkan serangan ofensif untuk merebut kembali demokrasi didalam kampus!!!

· Mencabut semua produk hukum yang menindas kebebasan akademik dan demokrasi dalam kampus!!!

· Tolak Komersialisasi Kampus! Tolak Privatisasi Kampus! Tolak RUU BHP!

· Tuntut pendidikan Gratis, Ilmiah, dan Demokratis untuk rakyat!!!



Jakarta, 10 September 2007



Nurani Soyomukti

Kordinator Komunikasi Massa

JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional)

PEMUDA MISKIN DILARANG MENIKAH!!!

(Dimuat di BATAM POS, Senin 11 Desember 2006)

Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari, Bidang Pemberdayaan Perempuan
J.A.M.A.N; sarjana Sosiologi; penulis dan peneliti lepas.


Terkuaknya skandal seks beberapa anggota dewan membuat wajah wakil rakyat semakin memburuk. Hal ini sekaligus menambah citra negatif orang-orang yang katanya adalah wakil rakyat. Lebih dari itu moralitas para pemimpin bangsa dan politik kita menjadi diragukan.

Sangat ironis, para anggota DPR yang pernah melontarkan diberlakukannya UU APP (Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) sekarang justru ketahuan sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi. Gaya hidup bebas nampaknya justru menjadi keseharian wakil rakyat kita, bukan dimiliki oleh rakyat yang hidup dalam situasi serba kekurangan dan tertekan oleh kebutuhan-kebutuhan ekonomi, juga pemuda-pemudi kita yang berbaris dalam sejarah pengangguran. Jadi kalau selama ini banyak lontaran-lontaran tentang terjadinya seks bebas di kalangan kaum muda, ternyata hal ini sudah terbantahkan dengan terkuaknya kasus skandal seks wakil rakyat kita.

Sementara kita tahu anggota dewan selama ini memiliki gaji yang berlimpah beserta tunjangan-tunjangan yang lebih terkesan mengada-ada yang memungkinkan mereka untuk dapat hidup bersenang-senang. Rakyatpun tidak tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam kesehariannya, di luar kerjanya sebagai pejabat publik yang mewakili rakyat. Sangat mungkin, dalam kesehariannya semakin banyak pejabat publik kita yang menjalani gaya hidup yang tidak bermoral. Tetapi perlu diingat bahwa wakil rakyat itu dapat bersenang-senang setelah mendapatkan gaji yang didapat setelah mereka menjual nama rakyat yang konon diperjuangkan.

Hal itu sekaligus menggambarkan budaya politik kita yang kian jauh dari nilai kerakyatan. Pada masa pemilu, rekrutmen politik dilakukan dan wakil rakyat seakan menjadi tumpuan harapan bagi nasib rakyat yang kian sengsara. Ternyata, sistem politik yang didominasi oleh kepentingan kaum modal (pengusaha) juga telah membuat wakil rakyat lupa setelah sekian lama duduk di atas kursi yang mendatangkan banyak uang. Uang didapat dari lobi-lobi dengan berbagai kepentingan kaum modal yang berusaha masuk melalui keputusan politik di DPR.

“Wakil rakyat” yang kompromis dengan kepentingan faksi-faksi modal itu memang akan banyak mendapatkan uang, selain mereka sudah dibayar oleh negara atas jabatannya. Inilah yang membuat gaya hidup para “wakil rakyat” mulai berubah. Mereka bukan hanya sering berinteraksi dengan para pengusaha dalam kesehariannya, tetapi juga mulai berkenalan dengan para penghibur, penyanyi, artis-selebritis, dan kalangan-kalangan kelas atas lainnya.
Para pejabat publik ini juga semakin lupa diri. Mereka tidak lagi mendasarkan tindakan politiknya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami rakyat. Padahal permasalahan kesjahteraan yang tidak pernah diperjuangkan akan membuat kehidupan rakyat semakin diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kebudayaan.

Masalah seks bebas memang sudah menggejala di negeri ini. Penyebabnya antara lain terjadinya gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas. Kaum adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya café-café yang tak lain adalah dunia malam yang rawan pergaulan bebas juga tersebar melalui media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis, dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai merupakan wacana-wacana yang merangsang kebutuhan seksual dan kesenangan yang sifatnya pragmatis. Belum lagi permainan para selebritis dalam film biru yang sekarang dengan mudah dapat diakses oleh para remaja—bahkan anak di bawah umur—berkat kemajuan teknologi yang jauh dari kontrol lembaga keluarga semacam internet dan ponsel yang dilengkapi kamera serta video yang bisa diputar dimanapun.

Sebenarnya tidak semua mahasiswa melakukan seks bebas, namun jika tayangan-tayangan budaya terus meneror setiap detik, jam, hari dan setiap waktu dengan berbagai macam cara dan budaya yang mendukung, walhasil kondom menjadi terbeli dan dibutuhkan, karena mental kita diubah, kita dibujuk dan dikondisikan melalui penyebaran benda-benda tersebut untuk kepentingan mereka, supaya untung dan modalnya bertumpuk. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan fungsional, kita beli bukan hanya karena butuh. Kebutuhan kita—menurut Herbert Marcuse—adalah kebutuhan palsu, semu (false need) yang direkayasa orang lain.

Yang paling menderita adalah kaum miskin yang sama sekali tidak siap untuk memenuhi ekonominya, juga kaum muda yang menganggur. Jika pemuda dari kalangan kaya mampu merayakan hidup bebas dan melakukan berbagai pesta seks yang kadang tak lagi disembunyikan, kaum muda miskin seringkali hanya menjadi korban kebudayaan dengan tanggungan psikologis yang cukup besar. Ketika TV-TV, media cetak, dan bahkan film-film porno (secara diam-diam) bertebaran di kalangan kaum muda melampaui batas kelas, maka sebenarnya ideologi seks bebas telah menjadi landasan masyarakat dalam memandang orang lain. Kaum perempuan biasanya menjadi korban, karena tayangan di film porno, TV, dan gambar-gambar (foto-foto) di media-media itu justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.

Kita seringkali munafik terhadap persoalan seksualitas ini. Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak menjalin hubungan sebagaimana hakikat mereka sebagai homo seksualis (makhluk seksual). Di kalangan kaum miskin (pemulung, pengemis, gelandangan) di sudut-sudut kota yang hidup secara bersama di bawah jembatan layang atau di rumah-rumah pinggir rel kereta api, mereka banyak yang melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak tanpa pernikahan karena untuk mengurus pernikahan (legal) mereka tidak memiliki biaya. Namun bagaimanapun mereka tak ubahnya seperti keluarga umumnya karena saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi. Kita tidak bisa melarang mereka sebagaimana kita juga tidak pernah mampu menggugat gaya hidup artis-selebritis yang dengan mudah berganti-ganti pasangan, kumpul kebo, dan melakukan pernikahan hanya sekedar untuk memamerkan baju-baju bagus dan pesta besar. Ada kemunafikan di otak dan hati kita dalam melihat masalah seks bebas ini.***



KAUM MUDA: KEBERANIAN MENDOBRAK TABU POLITIK

Keberanian Mendobrak Tabu Politik

Oleh Nurani Soyomukti

(Dimuat di Jawa Pos, Sabtu 14 Juli 2007)

KNPI sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) memang terus dikritik dari waktu ke waktu. Pada zaman Orde Baru, OKP itu dipandang sebagai alat bagi kaum muda untuk memperoleh jabatan politik (kekuasaan). Tak heran, muncul kritik dan gugatan ketika seorang ketua KNPI aktif mendirikan sebuah partai politik sekaligus menjabat ketua umum.

Saya kira, persoalannya bukan pada apakah kaum muda haram atau halal berpolitik. Bagaimana kita memaknai politik? Apakah sebagai aktivitas yang di dalamnya hanya berisi nafsu dan tindakan rakus untuk meraup kekuasaan pribadi atau politik sebagai seni dan jalan untuk melakukan perubahan?

Mudah-mudahan, dengan kasus KNPI-PPI, tidak muncul pemahaman hitam putih bahwa ketika kaum muda membangun sebuah gerakan politik (melalui alat bernama partai politik), mereka tidak dinilai telah terjebak pada pragmatisme.

Ada beberapa alasan untuk menolak anggapan semacam itu. Pertama, masih muncul pemahaman di kalangan masyarakat bahwa kaum tua memang telah dianggap gagal karena sikap politiknya konservatif, kompromis terhadap tekanan-tekanan dari luar, serta tidak mampu berpikir secara objektif tentang masalah bangsa ini. Mereka hanya mengandalkan rasa, bukan otak.

Kaum tua juga dianggap penakut untuk melakukan perubahan radikal. Dalam hal ini, kaum muda masih diharapkan karena mereka identik dengan kaum yang berjiwa progresif.

Kedua, KNPI-PPI bukan representasi kaum muda Indonesia secara keseluruhan. KNPI adalah produk lama Orde Baru. Setelah Soeharto lengser, muncul organ-organ pemuda dan mahasiswa baru dengan pola pikir serta model pembangunan organisasi yang berbeda. Sebagian organisasi baru itu menggunakan landasan ideologis, strategi-taktik, serta program sosial-politik yang berbeda.

Bahkan, kalau mau menelisik, beberapa organisasi pemuda dengan garis politik juga bermunculan dengan lebih suka melakukan pendampingan terhadap rakyat miskin (tani, buruh, kaum miskin kota, seniman, dan sebagainya) serta menjauhi sikap mengendap-endap berorganisasi untuk mencari kekuasaan.

Pragmatisme, oportunisme, dan ketidakkonsistenan idealisme kaum muda memang bisa mudah terjadi dalam situasi politik tertentu. Dengan demikian, jalan politik atau nonpolitik bukanlah suatu cara yang harus didikotomikan.

Dalam banyak kasus, setiap organisasi sosial adalah organisasi politik, meski mereka tidak mengakui. Sebab dalam percaturan politik, organisasi massa, organisasi mahasiswa, seniman, bahkan yang tidak berorganisasi pun bisa diukur peran politiknya -selama mereka dalam sikap dan tindakan membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah dan kesadaran rakyat.

Tidak ada yang netral dalam tatanan material yang telah diisi percaturan yang berhubungan dengan kekuatan produksi ekonomi dan politik. Diam adalah bagian dari gerak, demikian meminjam ungkapan Hegel.

Yang menarik sebenarnya adalah melihat sikap Hasanudin Yusuf -ketua KNPI- sebagai keberanian dan kenekatan. Yang dapat kita petik dari manuver politik dia adalah keberanian mendobrak tabu politik. Hal itu harus dilihat sebagai kasus yang menggoreskan catatan bahwa politik bagi kaum muda, mendirikan partai sebagai alat politik, bukanlah sebuah tabu.

Lihatlah, betapa gagalnya gerakan moral yang menjadi konsepsi hampir dari semua OKP dan mahasiswa. Gerakan moral, yang menganggap mahasiswa dan kaum muda seakan sebagai koboi yang datang di suatu daerah memberantas kejahatan lalu berpindah ke daerah lain, mirip petualangan (politik) -yang sebenarnya juga mewarisi watak pragmatis kaum muda.

Mahasiswa dan kaum muda juga tak lagi boleh bersikap seperti petualang politik semacam itu. Mahasiswa selalu tampil untuk menggulingkan suatu rezim, tanpa konsep ideologis, strategi-taktik, maupun program politik yang jelas. Lalu, setelah ada rezim jatuh, semua diserahkan kepada kekuatan lain. Kekuatan lain itu adalah kaum tua yang sama-sama mengandalkan moral feudal, kompromis, dan tidak tegas dalam mengambil langkah.

Karena itu, kita harus mengevaluasi apakah ada syarat-syarat bagi Partai Pemuda Indonesia (PPI) untuk menjadi alat politik yang efektif bagi kaum muda untuk memperjuangkan cita-cita sejati perubahan. Evaluasi tersebut harus didasarkan pada syarat-syarat material yang bisa diukur, apakah secara ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik para organizer-nya (termasuk Hasanudin Yusuf sebagai ketuanya) telah memenuhi kriteria partai politik yang efektif atau tidak.

Memang, kecurigaan bahwa parpol yang bertebaran menjelang pemilu (2009) hanya akan menjadi batu loncatan bagi kekuasaan tidak bisa kita tolak. Sebab, kekecewaan di kalangan rakyat sudah terlalu banyak dan kuat.

Pesimisme tersebut juga disebabkan adanya fakta bahwa yang saat ini duduk di pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, adalah mantan-mantan pengurus organisasi pemuda dan mahasiswa (baca: OKP).

Mereka yang dulu berteriak-teriak di jalan-jalan menjatuhkan Soeharto dan seakan mendambakan perubahan ternyata kini juga duduk di jajaran lembaga-lembaga yang semakin hari justru menambah penderitaan rakyat. ***

Rabu, 05 September 2007

8 September 2007 Hari Melek Aksara Internasional (International Literacy Day): PENDIDIKAN MAHAL, RAKYAT BUTA HURUF, PEMERINTAH SBY-JK BUTA MATA HATI!




Wujud dari kemandirian bangsa adalah adanya tingkat kesadaran rakyat yang tinggi akan pembangunan bangsanya. Dan, sayangnya, hal itu tidak terjadi di negeri ini di mana para pemimpin dan elitnya tidak mampu (baca: tidak mau) memenuhi kebutuhan rakyatnya dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok. Jika akhir-akhir ini rakyat didera dan diteror dengan naiknya harga-harga seperti beras, minyak goreng, minyak tanah (yang bahkan juga langka dan sulit didadaptkan), hal itu juga merupakan “hadiah” yang berulang-ulang diberikan oleh rezim musuh rakyat yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Sekali lagi, itu hanyalah rajutan dari lakon drama yang sebenarnya, yaitu negara yang dijajah dan elitnya menyerahkan kekayaan negara pada pemodal asing. Tololnya, elit-elit jompo moral itu masih saja mengatakan bahwa rakyat harus berubah, tidak boleh menggantungkan diri pada negara, harus kreatif dan produktif. Dan merekapun mencabut subsidi sektor rakyat hingga rakyat dianggap kekuatan yang sudah akan kuat menghadapi keadaan—pada hal tenaga produktif rakyat dan keyakinan politiknya ditumpulkan sejak 40 tahun lebih ketika politik dan kemandirian ekonomi dijauhkan dari rakyat sejak Orde Baru. Pendidikan, sebagai syarat penting menguatkan tenaga produktif, kreatif, dan keyakinan ilmiah rakyat bahkan juga jauhkan dari mereka.

Tanggal 8 September sebagai Hari Melek Huruf Internasional (International Literacy Day) harus kita jadikan momentum bagi pentingnya memberikan pendidikan pada rakyat. Sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi penduduk dunia yang 861 juta diantaranya masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia .
Pasalnya, masalah buta huruf atau buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketidakberdayaan masyarakat. berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2005, posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia secara nasional untuk kelompok 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 - 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta.

Sedangkan kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu membelanjakan sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 orang yang berhasil dimelek hurufkan sekitar 420.000 orang. Hal ini karena pemerintah MENGKHIANATI AMANAT UUD yang mengharuskan mengeluarkan anggaran pendidikannya sebesar 20%.
Itu menunjukkan bahwa, pemerintah memang tak bisa lagi diharapkan untuk mewujudkan upaya mewujudkan “MASYARAKAT MELEK AKSARA” (literate society) dalam makna yang sejati. Bahkan seandainya “melek huruf” tidak hanya dipahami secara sempit sebagai kemampuan CALISTUNG (baca, tulis, hitung), pemerintah antek kapitalisme global bahkan justru menjerumuskan anak-anak dan generasi pada “buta huruf” yang sebenarnya: budaya baca-tulis yang dihilangkan oleh dominasi budaya tonton (menonton tayangan irrasional yang membodohi dan hanya mendorong gaya hidup konsumtif). Jika di negara-negara lain kita jumpai anak-anak dan remaja asyik baca buku di stasiun-stasiun, halte, dan tempat-tempat umum, generasi Indonesia sebagai negara yang digadaikan ke pasar modal global hanya “dopropaganda” untuk menonton, trendi-trendian, dan shopping. Jika sekarang kita sudah kalah dengan Malaysia , Vietnam , India , lima tahun ke depan bisa jadi kita menjadi bangsa yang paling memalukan, terbelakang, dan pecundang.

Upaya pemimpin untuk menjalankan kemandirian nasional dengan tingkat melek huruf di manapun memang selalu seiring sejalan, negara yang bangkit adalah negara yang menyukai membaca dan belajar. Lihatlahj Veanezuela di bawah Hugo Chavez yang tingkat pemberantasan buta hurufnya luar biasa cepat, sehingga dipuji oleh negara-negara lain termasuk oleh UNICEF (PBB). Dia negeri ini buku-buku sejarah justru dibakar hanya gara-gara tidak mencantumkan kata “PKI” (cukup dengan G 30 S), bahkan disponsori oleh paea pemimpin (beberapa waktu lalu Nurmahmudi Ismail wali kota Depok, lulusan doktor ITB, membakar buku-buku sejarah). Tidak seperti Chavez yang justru membagikan sejuta buku-buku dan memimpin masyarakat pembelajar.

Jadi jelas bahwa upaya menciptakan “masyarakat melek huruf” dan sumber daya manusia yang produktif dan kreatif sebagai syarat kemajuan bangsa dikhianati oleh para elit-elit negeri ini yang cara berpikir dan bertindaknya tidak ilmiah-demokratis dan keputusan serta kebijakannya juga selalu menindas rakyat. Maka dengan ini, kami menyatakan tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

· TUNTUT PENDIDIKAN GRATIS UNTUK MENINGKATKAN MELEK AKSARA DAN SUMBERDAYA MANUSIA INDONESIA !!!
· TOLAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN!!!
· NASIONALISASI INDUSTRI ENERGI DAN PERTAMBANGAN UNTUK PENDIDIKAN RAKYAT!!!

Senin, 03 September 2007

PROFIL JARINGAN MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (J.A.M.A.N)


APAKAH J.A.M.A.N DAN KENAPA IA DIDIRIKAN?

Latar Belakang

KEMANDIRIAN BANGSA adalah syarat muthlak bagi proses menata kehidupan manusia berdasarkan persamaan identitas, nasib, dan kebersamaan yang harus dipenuhi dengan syarat-syarat material dan ideologis bagi sebuah komunitas masyarakat yang ingin menyatukan diri dan hidup bersama. Di Indonesia, kemandirian merupakan cita-cita gerakan rakyat untuk melawan penindasan imperialisme (penjajahan asing) dan dengan baik juga dipahami oleh para founding fathers kita. Dalam tingkat tertentu, cita-cita kemandirian bagi pada pembabat belantara kolonialisme untuk membangun bangsa harus mendapatkan penegasan-penegasan yang sistematis dan konkrit. Sejak Indonesia diinjak-injak oleh tatanan Orde Baru, kemandirian merupakan sauatu wujud yang mahal dan kini seakan hampir dibilang mustahil.

Sejak pemerintahan pasca-Soaeharto bercokol dengan kebijakan ekonomi-politik anti-kemandirian, bencana kemanusiaanpun terjadi. Tenaga produktif dan kekayaan alam yang seharusnya dikusai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat diobral kepada modal asing. Demokrasi massa , yang menjadi pilar kemandirian politik suatu bangsa, dihilangkan dengan cara mendepolitisasi massa rakyat, diciptakan politik massa mengambang (floating mass) yang bertujuan untuk penguasaan segala sumber-sumber ekonomi politik oleh elit bisnis dan tentara yang dalam banyak hal hanya melayani kepentingan modal (baca: penjajah) asing.

Hilangnya kemandirian dan berlangsungnya eksploitasi imperialisme tersebut, yang ada di negeri ini adalah kemiskinan dan penindasan. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4% dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia , sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya. Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal.

Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur, enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang ‘bekerja normal’ sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan). Dari data-data yang telah disebutkan, setidaknya kita telah memiliki satu pijakan untuk merealisasikan industrialisasi nasional: potensi sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi harus menjadi catatan adalah bahwa tenaga kerja kita masih sangat lemah produktivitasnya.

Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi politik, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya (baca: tenaga produktif).

Maka pertanyaannya adalah: apa yang membentuk tenaga produktif? Atau dengan kata lain, syarat-syarat apa saja yang menjadikan seseorang produktif? Untuk bisa menjadi produktif, kebutuhan primer (dasar) dan sekunder (penunjang) warganya haruslah dipenuhi secara mutlak oleh negara. Kebutuhan primer manusia mencakup sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), dan papan (tempat tinggal atau perumahan). Sedangkan kebutuhan sekunder mencakup pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga. Fakta bahwa negara sangat sedikit campur tangannya dalam pemenuhan kedua hal di atas bagi warganya, dengan malah melemparnya ke mekanisme pasar, membuat dampak-dampak seperti kemiskinan dan lemahnya tenaga produktif menjadi sangat logis.

Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah: negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka. Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.

Pijakan lainnya terletak pada kekayaan asli tanah Nusantara. Kita harus tahu secara pasti tentang betapa kayanya negara kita—yang menjadi sangat kontradiktif dengan kemiskinan yang menimpa mayoritas rakyat. Negara kita yang merupakan negara tropik berposisi geografik strategis, menempati kawasan yang sangat luas dengan banyaknya pulau-pulau dan garis pantai terpanjang di dunia. Luas daratan kita sekitar 191 juta hektar, sedangkan teritori laut sekitar 317 juta hektar. Dari gambaran kondisi iklim dan luasnya wilayah, sangat bisa dibayangkan betapa kayanya negara ini. Kekayaan alam yang tidak terbarukan tentu sudah banyak diketahui karena telah lama menjadi incaran kaum imperialis dan sebagian besarnya telah dikeruk. Tapi mari coba kita tengok kekayaan alam kita yang mampu diperbaharui (renewable), keaneka ragaman hayati Indonesia sangatlah dahsyat. Kekayaan hayati di daratan tercatat menduduki peringkat kedua di dunia dan jika di gabung dengan kekayaan laut (darat dan laut), peringkat pertama di dunia.

Tetapi janganlah lupa diri, kekayaan bahan mentah (hayati dan non-hayati) yang kita miliki harus dinaikkan ‘nilai tambah’-nya dengan suatu ‘proses produksi’. Gelondongan kayu akan lebih memiliki ‘nilai tambah’ jika sudah berwujud kursi atau meja. Dan bukankah sedari awalnya perkembangan umat manusia ditentukan oleh produksi barang/komoditi. Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus rnenerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin-mesin, ketrampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasi oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukkan lainnya.

Mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan diatas, maka strategi dasar yang digagaskan dalam upaya industrialisasi adalah melengkapi dan memperkuat, dan bila perlu memodifikasi pendekatan dan pelaksanaan industrialisasi yang kini berlangsung dengan memberi penekanan pada upaya: pertama, memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan dan kekuatan yang telah dipunyai, dan yang selama ini telah menunjukkan ketahanan dan ketangguhan dalam menopang perkembangan ekonomi komoditas, yaitu sektor pertanian, dengan cara mengalokasikan upaya yang besar untuk menegakkan industri yang berbasis pada pemanfaatan produk-produk pertanian menjadi komoditas yang bernilai tambah tinggi dan dibutuhkan di dalam negeri serta mempunyai peluang yang baik di pasar internasional; kedua, menegakkan berfungsinya industri teknologi, yang pada taraf mula ditekankan bagi berkembangnya industri pemroses hasil pertanian menjadi komoditas yang lebih canggih, sebagaimana dikemukakan di butir sebelumnya.

Upaya menggaungkan kembali semangat kemadirian tersebutlah, yang menjadikan kami membangun sebuah jaringan di kalangan generasi muda untuk menghayati, mengamalkan, dan mengkampanyekan opini dan bertindak untuk sebuah proyek kemandirian nasional. Oleh karenanya kami membangun sebuah komunitas yang bernama JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (JAMAN).

Visi Kemandirian

Prinsip Kemandirian di sini tidak identik dengan istilah otonomi (autonomy) yang lebih bermakna utopis karena segala sesuatu bisa berdiri sendiri tanpa pengaruh orang atau kekuatan lain. Otonomi adalah mitos yang diciptakan oleh kapitalis yang menyatakan bahwa negara (state) tak perlu mencampuri urusan ekonomi rakyatnya karena rakyat dan negara berada dalam otonomi berbeda. Mereka beranggapan bahwa jika negara mencampuri urusan ekonomi rakyatnya, rakyat tidak akan mandiri karena selalu tergantung pada intervensi negara. Doktrin ‘kemandirian’ atau otonomi semacam ini menyesatkan dan disebarkan seiring dengan upaya imperialis untuk menciptakan negara neo-liberal di mana segalanya harus diserahkan ke pasar, negara tidak boleh mengatur perekonomian rakyat, subsidi harus dicabut, BUMN, perusahaan negara, bahkan kekayaan alam harus diprivatisasi.

Mitos ‘kemandirian’ ala neoliberalisme semacam itu telah diterima oleh banyak kalangan mulai ekonom, politisi, aktivis, intelektual, dan mahasiswa. Seakan Bukannya lepas dari imperialisme dan menjadi bangsa yang mandiri, tetapi Indonesia telah tergantung (dependen) terhadap imperialis, selalu meminta, selalu tergantung dan terbelakang dengan modal dan teknologi asing. Kondisi ini akan memerosokkan bangsa kita ke depannya, pada jurang kehinaan yang lebih parah. Sehingga kemandirian yang sejati harus ditegaskan.

Kemandirian sejati dimulai dengan keberanian untuk berkata “ya” dan “tidak” pada modal asing, atau membangun kekuatan politik berbasis politik demokratik agar memiliki bargaining power berhadapan dengan modal asing. Selama ini kita memiliki bargaining ekonomi berupa kekayaan alam di mana bangsa-bangsa Barat berebut untuk mencari keuntungan. Tetapi karena kekuatan politiknya rapuh karena tidak ada basis kesadaran politis sebagai bangsa (karena elitnya hanya berwatak oportunis dan pragmatis—dan anti-kaesadaran massa rakyat), maka kita selalu berada dalam posisi didikte dan dieksploitasi oleh kekuatan yang ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.

Tujuan

· Mengkampanyekan pentingnya kemandirian nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa;

· Menggalang kekuatan kaum muda untuk menciptakan kemandirian nasional baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Jaringan

JAMAN berbentuk jaringan yang terdiri dari siapa saja, baik individual maupun organisasional, yang ingin menyumbangkan pikiran dan tindakannya bagi jalan kemandirian untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa.***