Rabu, 05 September 2007

8 September 2007 Hari Melek Aksara Internasional (International Literacy Day): PENDIDIKAN MAHAL, RAKYAT BUTA HURUF, PEMERINTAH SBY-JK BUTA MATA HATI!




Wujud dari kemandirian bangsa adalah adanya tingkat kesadaran rakyat yang tinggi akan pembangunan bangsanya. Dan, sayangnya, hal itu tidak terjadi di negeri ini di mana para pemimpin dan elitnya tidak mampu (baca: tidak mau) memenuhi kebutuhan rakyatnya dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok. Jika akhir-akhir ini rakyat didera dan diteror dengan naiknya harga-harga seperti beras, minyak goreng, minyak tanah (yang bahkan juga langka dan sulit didadaptkan), hal itu juga merupakan “hadiah” yang berulang-ulang diberikan oleh rezim musuh rakyat yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Sekali lagi, itu hanyalah rajutan dari lakon drama yang sebenarnya, yaitu negara yang dijajah dan elitnya menyerahkan kekayaan negara pada pemodal asing. Tololnya, elit-elit jompo moral itu masih saja mengatakan bahwa rakyat harus berubah, tidak boleh menggantungkan diri pada negara, harus kreatif dan produktif. Dan merekapun mencabut subsidi sektor rakyat hingga rakyat dianggap kekuatan yang sudah akan kuat menghadapi keadaan—pada hal tenaga produktif rakyat dan keyakinan politiknya ditumpulkan sejak 40 tahun lebih ketika politik dan kemandirian ekonomi dijauhkan dari rakyat sejak Orde Baru. Pendidikan, sebagai syarat penting menguatkan tenaga produktif, kreatif, dan keyakinan ilmiah rakyat bahkan juga jauhkan dari mereka.

Tanggal 8 September sebagai Hari Melek Huruf Internasional (International Literacy Day) harus kita jadikan momentum bagi pentingnya memberikan pendidikan pada rakyat. Sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi penduduk dunia yang 861 juta diantaranya masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia .
Pasalnya, masalah buta huruf atau buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan ketidakberdayaan masyarakat. berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2005, posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia secara nasional untuk kelompok 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 - 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta.

Sedangkan kemampuan pemerintah melalui APBN setiap tahun hanya mampu membelanjakan sekitar 150.000 orang dan diperkirakan untuk tahun 2006 orang yang berhasil dimelek hurufkan sekitar 420.000 orang. Hal ini karena pemerintah MENGKHIANATI AMANAT UUD yang mengharuskan mengeluarkan anggaran pendidikannya sebesar 20%.
Itu menunjukkan bahwa, pemerintah memang tak bisa lagi diharapkan untuk mewujudkan upaya mewujudkan “MASYARAKAT MELEK AKSARA” (literate society) dalam makna yang sejati. Bahkan seandainya “melek huruf” tidak hanya dipahami secara sempit sebagai kemampuan CALISTUNG (baca, tulis, hitung), pemerintah antek kapitalisme global bahkan justru menjerumuskan anak-anak dan generasi pada “buta huruf” yang sebenarnya: budaya baca-tulis yang dihilangkan oleh dominasi budaya tonton (menonton tayangan irrasional yang membodohi dan hanya mendorong gaya hidup konsumtif). Jika di negara-negara lain kita jumpai anak-anak dan remaja asyik baca buku di stasiun-stasiun, halte, dan tempat-tempat umum, generasi Indonesia sebagai negara yang digadaikan ke pasar modal global hanya “dopropaganda” untuk menonton, trendi-trendian, dan shopping. Jika sekarang kita sudah kalah dengan Malaysia , Vietnam , India , lima tahun ke depan bisa jadi kita menjadi bangsa yang paling memalukan, terbelakang, dan pecundang.

Upaya pemimpin untuk menjalankan kemandirian nasional dengan tingkat melek huruf di manapun memang selalu seiring sejalan, negara yang bangkit adalah negara yang menyukai membaca dan belajar. Lihatlahj Veanezuela di bawah Hugo Chavez yang tingkat pemberantasan buta hurufnya luar biasa cepat, sehingga dipuji oleh negara-negara lain termasuk oleh UNICEF (PBB). Dia negeri ini buku-buku sejarah justru dibakar hanya gara-gara tidak mencantumkan kata “PKI” (cukup dengan G 30 S), bahkan disponsori oleh paea pemimpin (beberapa waktu lalu Nurmahmudi Ismail wali kota Depok, lulusan doktor ITB, membakar buku-buku sejarah). Tidak seperti Chavez yang justru membagikan sejuta buku-buku dan memimpin masyarakat pembelajar.

Jadi jelas bahwa upaya menciptakan “masyarakat melek huruf” dan sumber daya manusia yang produktif dan kreatif sebagai syarat kemajuan bangsa dikhianati oleh para elit-elit negeri ini yang cara berpikir dan bertindaknya tidak ilmiah-demokratis dan keputusan serta kebijakannya juga selalu menindas rakyat. Maka dengan ini, kami menyatakan tuntutan-tuntutan sebagai berikut:

· TUNTUT PENDIDIKAN GRATIS UNTUK MENINGKATKAN MELEK AKSARA DAN SUMBERDAYA MANUSIA INDONESIA !!!
· TOLAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN!!!
· NASIONALISASI INDUSTRI ENERGI DAN PERTAMBANGAN UNTUK PENDIDIKAN RAKYAT!!!

Tidak ada komentar: