(Dimuat di BATAM POS, Senin 11 Desember 2006)
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari, Bidang Pemberdayaan Perempuan
J.A.M.A.N; sarjana Sosiologi; penulis dan peneliti lepas.
Terkuaknya skandal seks beberapa anggota dewan membuat wajah wakil rakyat semakin memburuk. Hal ini sekaligus menambah citra negatif orang-orang yang katanya adalah wakil rakyat. Lebih dari itu moralitas para pemimpin bangsa dan politik kita menjadi diragukan.
Sangat ironis, para anggota DPR yang pernah melontarkan diberlakukannya UU APP (Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) sekarang justru ketahuan sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi. Gaya hidup bebas nampaknya justru menjadi keseharian wakil rakyat kita, bukan dimiliki oleh rakyat yang hidup dalam situasi serba kekurangan dan tertekan oleh kebutuhan-kebutuhan ekonomi, juga pemuda-pemudi kita yang berbaris dalam sejarah pengangguran. Jadi kalau selama ini banyak lontaran-lontaran tentang terjadinya seks bebas di kalangan kaum muda, ternyata hal ini sudah terbantahkan dengan terkuaknya kasus skandal seks wakil rakyat kita.
Sementara kita tahu anggota dewan selama ini memiliki gaji yang berlimpah beserta tunjangan-tunjangan yang lebih terkesan mengada-ada yang memungkinkan mereka untuk dapat hidup bersenang-senang. Rakyatpun tidak tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam kesehariannya, di luar kerjanya sebagai pejabat publik yang mewakili rakyat. Sangat mungkin, dalam kesehariannya semakin banyak pejabat publik kita yang menjalani gaya hidup yang tidak bermoral. Tetapi perlu diingat bahwa wakil rakyat itu dapat bersenang-senang setelah mendapatkan gaji yang didapat setelah mereka menjual nama rakyat yang konon diperjuangkan.
Hal itu sekaligus menggambarkan budaya politik kita yang kian jauh dari nilai kerakyatan. Pada masa pemilu, rekrutmen politik dilakukan dan wakil rakyat seakan menjadi tumpuan harapan bagi nasib rakyat yang kian sengsara. Ternyata, sistem politik yang didominasi oleh kepentingan kaum modal (pengusaha) juga telah membuat wakil rakyat lupa setelah sekian lama duduk di atas kursi yang mendatangkan banyak uang. Uang didapat dari lobi-lobi dengan berbagai kepentingan kaum modal yang berusaha masuk melalui keputusan politik di DPR.
“Wakil rakyat” yang kompromis dengan kepentingan faksi-faksi modal itu memang akan banyak mendapatkan uang, selain mereka sudah dibayar oleh negara atas jabatannya. Inilah yang membuat gaya hidup para “wakil rakyat” mulai berubah. Mereka bukan hanya sering berinteraksi dengan para pengusaha dalam kesehariannya, tetapi juga mulai berkenalan dengan para penghibur, penyanyi, artis-selebritis, dan kalangan-kalangan kelas atas lainnya.
Para pejabat publik ini juga semakin lupa diri. Mereka tidak lagi mendasarkan tindakan politiknya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami rakyat. Padahal permasalahan kesjahteraan yang tidak pernah diperjuangkan akan membuat kehidupan rakyat semakin diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kebudayaan.
Masalah seks bebas memang sudah menggejala di negeri ini. Penyebabnya antara lain terjadinya gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas. Kaum adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya café-café yang tak lain adalah dunia malam yang rawan pergaulan bebas juga tersebar melalui media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis, dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai merupakan wacana-wacana yang merangsang kebutuhan seksual dan kesenangan yang sifatnya pragmatis. Belum lagi permainan para selebritis dalam film biru yang sekarang dengan mudah dapat diakses oleh para remaja—bahkan anak di bawah umur—berkat kemajuan teknologi yang jauh dari kontrol lembaga keluarga semacam internet dan ponsel yang dilengkapi kamera serta video yang bisa diputar dimanapun.
Sebenarnya tidak semua mahasiswa melakukan seks bebas, namun jika tayangan-tayangan budaya terus meneror setiap detik, jam, hari dan setiap waktu dengan berbagai macam cara dan budaya yang mendukung, walhasil kondom menjadi terbeli dan dibutuhkan, karena mental kita diubah, kita dibujuk dan dikondisikan melalui penyebaran benda-benda tersebut untuk kepentingan mereka, supaya untung dan modalnya bertumpuk. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan fungsional, kita beli bukan hanya karena butuh. Kebutuhan kita—menurut Herbert Marcuse—adalah kebutuhan palsu, semu (false need) yang direkayasa orang lain.
Yang paling menderita adalah kaum miskin yang sama sekali tidak siap untuk memenuhi ekonominya, juga kaum muda yang menganggur. Jika pemuda dari kalangan kaya mampu merayakan hidup bebas dan melakukan berbagai pesta seks yang kadang tak lagi disembunyikan, kaum muda miskin seringkali hanya menjadi korban kebudayaan dengan tanggungan psikologis yang cukup besar. Ketika TV-TV, media cetak, dan bahkan film-film porno (secara diam-diam) bertebaran di kalangan kaum muda melampaui batas kelas, maka sebenarnya ideologi seks bebas telah menjadi landasan masyarakat dalam memandang orang lain. Kaum perempuan biasanya menjadi korban, karena tayangan di film porno, TV, dan gambar-gambar (foto-foto) di media-media itu justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
Kita seringkali munafik terhadap persoalan seksualitas ini. Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak menjalin hubungan sebagaimana hakikat mereka sebagai homo seksualis (makhluk seksual). Di kalangan kaum miskin (pemulung, pengemis, gelandangan) di sudut-sudut kota yang hidup secara bersama di bawah jembatan layang atau di rumah-rumah pinggir rel kereta api, mereka banyak yang melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak tanpa pernikahan karena untuk mengurus pernikahan (legal) mereka tidak memiliki biaya. Namun bagaimanapun mereka tak ubahnya seperti keluarga umumnya karena saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi. Kita tidak bisa melarang mereka sebagaimana kita juga tidak pernah mampu menggugat gaya hidup artis-selebritis yang dengan mudah berganti-ganti pasangan, kumpul kebo, dan melakukan pernikahan hanya sekedar untuk memamerkan baju-baju bagus dan pesta besar. Ada kemunafikan di otak dan hati kita dalam melihat masalah seks bebas ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar