Senin, 03 September 2007

PROFIL JARINGAN MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (J.A.M.A.N)


APAKAH J.A.M.A.N DAN KENAPA IA DIDIRIKAN?

Latar Belakang

KEMANDIRIAN BANGSA adalah syarat muthlak bagi proses menata kehidupan manusia berdasarkan persamaan identitas, nasib, dan kebersamaan yang harus dipenuhi dengan syarat-syarat material dan ideologis bagi sebuah komunitas masyarakat yang ingin menyatukan diri dan hidup bersama. Di Indonesia, kemandirian merupakan cita-cita gerakan rakyat untuk melawan penindasan imperialisme (penjajahan asing) dan dengan baik juga dipahami oleh para founding fathers kita. Dalam tingkat tertentu, cita-cita kemandirian bagi pada pembabat belantara kolonialisme untuk membangun bangsa harus mendapatkan penegasan-penegasan yang sistematis dan konkrit. Sejak Indonesia diinjak-injak oleh tatanan Orde Baru, kemandirian merupakan sauatu wujud yang mahal dan kini seakan hampir dibilang mustahil.

Sejak pemerintahan pasca-Soaeharto bercokol dengan kebijakan ekonomi-politik anti-kemandirian, bencana kemanusiaanpun terjadi. Tenaga produktif dan kekayaan alam yang seharusnya dikusai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat diobral kepada modal asing. Demokrasi massa , yang menjadi pilar kemandirian politik suatu bangsa, dihilangkan dengan cara mendepolitisasi massa rakyat, diciptakan politik massa mengambang (floating mass) yang bertujuan untuk penguasaan segala sumber-sumber ekonomi politik oleh elit bisnis dan tentara yang dalam banyak hal hanya melayani kepentingan modal (baca: penjajah) asing.

Hilangnya kemandirian dan berlangsungnya eksploitasi imperialisme tersebut, yang ada di negeri ini adalah kemiskinan dan penindasan. BPS menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4% dari jumlah angkatan kerja atau sekitar 11 juta orang. Mungkin kita akan sedikit berlega hati, dari sepuluh orang Indonesia , sembilan orang memiliki pekerjaan. Tentu tidaklah semudah itu penalarannya. Nyatanya BPS juga memiliki data bahwa dari seratusan juta angkatan kerja kita, 60,6 juta orang bekerja pada sektor informal.

Besarnya sektor informal merupakan konsekuensi logis lemahnya perindustrian di tanah air. Mungkin gambarannya sekarang akan menjadi: dari sepuluh orang Indonesia (angkatan kerja), satu orang menganggur, enam orang bekerja tanpa kepastian, sisanya bekerja normal. Pun perlu digaris bawahi, orang yang ‘bekerja normal’ sebagian besar saat ini sangat rentan kondisinya di bawah penerapan UU No.13/2003 ataupun revisinya (jika yang terakhir ini akhirnya disahkan). Dari data-data yang telah disebutkan, setidaknya kita telah memiliki satu pijakan untuk merealisasikan industrialisasi nasional: potensi sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi harus menjadi catatan adalah bahwa tenaga kerja kita masih sangat lemah produktivitasnya.

Lemahnya tenaga produktif dapat digambarkan dari banyaknya pengangguran dan pekerja sektor informal di suatu negara. Padahal menurut hukum ekonomi politik, produksi adalah basis kehidupan dan perkembangan masyarakat. Dan faktor yang paling menentukan dalam semua aktivitas produksi adalah manusia itu sendiri, tenaga kerjanya (baca: tenaga produktif).

Maka pertanyaannya adalah: apa yang membentuk tenaga produktif? Atau dengan kata lain, syarat-syarat apa saja yang menjadikan seseorang produktif? Untuk bisa menjadi produktif, kebutuhan primer (dasar) dan sekunder (penunjang) warganya haruslah dipenuhi secara mutlak oleh negara. Kebutuhan primer manusia mencakup sandang (pakaian), pangan (makanan dan minuman), dan papan (tempat tinggal atau perumahan). Sedangkan kebutuhan sekunder mencakup pendidikan, kesehatan, rekreasi dan olahraga. Fakta bahwa negara sangat sedikit campur tangannya dalam pemenuhan kedua hal di atas bagi warganya, dengan malah melemparnya ke mekanisme pasar, membuat dampak-dampak seperti kemiskinan dan lemahnya tenaga produktif menjadi sangat logis.

Lemahnya akses masyarakat kepada pemenuhan syarat-syarat produktivitas mereka akbat kemiskinan, akan menciptakan kemiskinan-kemiskinan yang baru pula. Fenomena itu bagai sebuah lingkaran setan. Satu-satunya jalan untuk memutus rantai lingkaran itu adalah: negara harus melakukan intervensi untuk membuka seluas-luasnya akses mayarakat dalam pemenuhan syarat-syarat tenaga produktif mereka. Akses rakyat terhadap makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi haruslah dibuka seluas-luasnya. Kesemuanya haruslah mendapat perlindungan (subsidi) dari pemerintah. Pada tahapan awal haruslah ada yang digratiskan seperti pendidikan dan kesehatan sebagai pemacu awal.

Pijakan lainnya terletak pada kekayaan asli tanah Nusantara. Kita harus tahu secara pasti tentang betapa kayanya negara kita—yang menjadi sangat kontradiktif dengan kemiskinan yang menimpa mayoritas rakyat. Negara kita yang merupakan negara tropik berposisi geografik strategis, menempati kawasan yang sangat luas dengan banyaknya pulau-pulau dan garis pantai terpanjang di dunia. Luas daratan kita sekitar 191 juta hektar, sedangkan teritori laut sekitar 317 juta hektar. Dari gambaran kondisi iklim dan luasnya wilayah, sangat bisa dibayangkan betapa kayanya negara ini. Kekayaan alam yang tidak terbarukan tentu sudah banyak diketahui karena telah lama menjadi incaran kaum imperialis dan sebagian besarnya telah dikeruk. Tapi mari coba kita tengok kekayaan alam kita yang mampu diperbaharui (renewable), keaneka ragaman hayati Indonesia sangatlah dahsyat. Kekayaan hayati di daratan tercatat menduduki peringkat kedua di dunia dan jika di gabung dengan kekayaan laut (darat dan laut), peringkat pertama di dunia.

Tetapi janganlah lupa diri, kekayaan bahan mentah (hayati dan non-hayati) yang kita miliki harus dinaikkan ‘nilai tambah’-nya dengan suatu ‘proses produksi’. Gelondongan kayu akan lebih memiliki ‘nilai tambah’ jika sudah berwujud kursi atau meja. Dan bukankah sedari awalnya perkembangan umat manusia ditentukan oleh produksi barang/komoditi. Sedangkan proses nilai tambah itu sendiri merupakan proses kompleks yang berjalan terus rnenerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika pemanfaatan mesin-mesin, ketrampilan manusia, dan material sepenuhnya dapat diintegrasi oleh teknologi sehingga menghasilkan produk barang dan jasa yang bernilai lebih tinggi dari nilai material dan masukkan lainnya.

Mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan diatas, maka strategi dasar yang digagaskan dalam upaya industrialisasi adalah melengkapi dan memperkuat, dan bila perlu memodifikasi pendekatan dan pelaksanaan industrialisasi yang kini berlangsung dengan memberi penekanan pada upaya: pertama, memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan dan kekuatan yang telah dipunyai, dan yang selama ini telah menunjukkan ketahanan dan ketangguhan dalam menopang perkembangan ekonomi komoditas, yaitu sektor pertanian, dengan cara mengalokasikan upaya yang besar untuk menegakkan industri yang berbasis pada pemanfaatan produk-produk pertanian menjadi komoditas yang bernilai tambah tinggi dan dibutuhkan di dalam negeri serta mempunyai peluang yang baik di pasar internasional; kedua, menegakkan berfungsinya industri teknologi, yang pada taraf mula ditekankan bagi berkembangnya industri pemroses hasil pertanian menjadi komoditas yang lebih canggih, sebagaimana dikemukakan di butir sebelumnya.

Upaya menggaungkan kembali semangat kemadirian tersebutlah, yang menjadikan kami membangun sebuah jaringan di kalangan generasi muda untuk menghayati, mengamalkan, dan mengkampanyekan opini dan bertindak untuk sebuah proyek kemandirian nasional. Oleh karenanya kami membangun sebuah komunitas yang bernama JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (JAMAN).

Visi Kemandirian

Prinsip Kemandirian di sini tidak identik dengan istilah otonomi (autonomy) yang lebih bermakna utopis karena segala sesuatu bisa berdiri sendiri tanpa pengaruh orang atau kekuatan lain. Otonomi adalah mitos yang diciptakan oleh kapitalis yang menyatakan bahwa negara (state) tak perlu mencampuri urusan ekonomi rakyatnya karena rakyat dan negara berada dalam otonomi berbeda. Mereka beranggapan bahwa jika negara mencampuri urusan ekonomi rakyatnya, rakyat tidak akan mandiri karena selalu tergantung pada intervensi negara. Doktrin ‘kemandirian’ atau otonomi semacam ini menyesatkan dan disebarkan seiring dengan upaya imperialis untuk menciptakan negara neo-liberal di mana segalanya harus diserahkan ke pasar, negara tidak boleh mengatur perekonomian rakyat, subsidi harus dicabut, BUMN, perusahaan negara, bahkan kekayaan alam harus diprivatisasi.

Mitos ‘kemandirian’ ala neoliberalisme semacam itu telah diterima oleh banyak kalangan mulai ekonom, politisi, aktivis, intelektual, dan mahasiswa. Seakan Bukannya lepas dari imperialisme dan menjadi bangsa yang mandiri, tetapi Indonesia telah tergantung (dependen) terhadap imperialis, selalu meminta, selalu tergantung dan terbelakang dengan modal dan teknologi asing. Kondisi ini akan memerosokkan bangsa kita ke depannya, pada jurang kehinaan yang lebih parah. Sehingga kemandirian yang sejati harus ditegaskan.

Kemandirian sejati dimulai dengan keberanian untuk berkata “ya” dan “tidak” pada modal asing, atau membangun kekuatan politik berbasis politik demokratik agar memiliki bargaining power berhadapan dengan modal asing. Selama ini kita memiliki bargaining ekonomi berupa kekayaan alam di mana bangsa-bangsa Barat berebut untuk mencari keuntungan. Tetapi karena kekuatan politiknya rapuh karena tidak ada basis kesadaran politis sebagai bangsa (karena elitnya hanya berwatak oportunis dan pragmatis—dan anti-kaesadaran massa rakyat), maka kita selalu berada dalam posisi didikte dan dieksploitasi oleh kekuatan yang ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.

Tujuan

· Mengkampanyekan pentingnya kemandirian nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa;

· Menggalang kekuatan kaum muda untuk menciptakan kemandirian nasional baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Jaringan

JAMAN berbentuk jaringan yang terdiri dari siapa saja, baik individual maupun organisasional, yang ingin menyumbangkan pikiran dan tindakannya bagi jalan kemandirian untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bangsa.***

Tidak ada komentar: