Minggu, 09 September 2007

PERNYATAAN SIKAP JAMAN



Lawan Tindakan Memasung Kebebasan Akademik dan Budaya Intelektual di Kampus!!!


Fasisme di kampus terjadi lagi. Kampus yang secara hakiki seharusnya menjadi benteng dari kebebasan berpikir yang dapat dilihat dari kebebasan akademik, ternyata masih diwarnai dengan birokratisme yang kaku dan memusuhi demokrasi. Fery Juniansyah, mahasiswa angkatan 2004 Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dipecat gara-gara melakukan aksi menolak pendidikan mahal di kampusnya. Kejadian tersebut bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, tiga mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya juga diskorsing karena mengungkapkan kongkalikong antara ITS dengan PT Lapindo.

Upaya memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan membela rakyat nampaknya sekarang ini justru dimusuhi di kampus, terutama oleh birokrasi yang menjadikan kampus sebagai menara gading kekuasaan anti-rakyat, bertentangan dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang seharusnya memajukan ilmu pengetahuan dengan praktek kepedulian dan pembelaan pada masyarakat yang sedang sengsara.

Selain itu, nampaknya hal itu juga menunjukkan gejala bahwa pendidikan tinggi di Indonesia juga masih diwarnai dengan kepentingan negara untuk mendepolitisasi mahasiswa. Bahkan mahasiswa dijauhkan dari pemikiran dan tindakan kritis terhadap apa yang dilakukan negara. Kita masih ingat, pada era Orde Baru Soeharto, terutama setelah peristiwa MALARI, mahasiswa di-”goblog”-kan melalui kebijakan NKK/BKK. Mahasiswa belajar saja (artinya datang ke kampus, mendengarkan doktrin dosen, mencatat, pulang, tidur, bersenang-senang, dan tidak usah mengurusi kebijakan negara (pemerintah), tidak usah berpolitik. Upaya pembodohan ini berlangsung sampai sekarang. Adalah fakta bahwa “pembodohan” dan pengebirian hakekat mahasiswa itu semakin nyata di era terkurasnya seluruh tatanan kemanusiaan yang diabdikan ke pasar bahkan hingga saat ini.

Nampaknya negara dan birokrasi merasa sukses dalam menjalankan proses pendidikan jika kampus kampus tidak kondusif bagi pencarian hakekat kemanusiaan. Sementara proyek privatisasi kampus, yang dalam banyak hal adalah keinginan para pemilik modal (kapitalis) yang dijalankan melalui status kampus menjadi BHP, merupakan upaya untuk semakin merunyamkan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat yang meradikalisasi kapitalisme (neo-liberal) era ini. Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pelayanan negara terhadap warga yang sifatnya wajib, tetapi sektor jasa yang diperjualbelikan.

Dalam kesepakatan WTO, sektor pendidikan termasuk dalam 12 sektor lainnya yang harus diliberalkan. Hal ini berarti pendidikan akan menjadi komoditi jasa untuk akumulasi modal. Dalam sebuah makalah disebutkan bahwa pada tahun 1999, “industri pendidikan” menyumbang 9,4 milyar dollar AS dan diramalkan naik menjadi 53 milyar dollar AS pada tahun 2003 (Soekartawi, 2003).

Privatisasi kampus dengan tujuan untuk melanggengkan stabilitas masyarakat kapitalis (pasar bebas) yang anti-kemanusiaan, dengan demikian, juga dilakukan bersamaan dengan upaya menjauhkan mahasiswa dari upaya mengkritisi dan menolak kebiadaban pasar bebas yang dijalankan oleh negara. Hal itulah yang terjadi pada Fery Juniansyah yang dikeluarkan dari kampus karena menolak privatisasi kampus. Nampaknya, pihak birokrasi sangat menginginkan kematian budaya akademis yang ilmiah, kritis, dan berpihak pada rakyat.

Berbagai produk hukum sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk melegalkan dan melindungi proses privatisasi sektor pendidikan, misalnya PP No 60/1999 tentang Perguruan Tinggi; PP No. 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN; SK Dirjen Dikti No. 26/2002 tentang Pelarangan Ormas dan aktifitas politik praktis di kampus; UU SISDIKNAS No. 20/2003, dan yang terakhir adalah RUU BHP. Hal itu seiring dengan didukungnya budaya mahasiswa yang memundurkan budaya akademis, pikiran ilmiah, dan tindakan kritis. Kita bisa melihat kemunduran hakekat mahasiswa tersebut dengan melihat sikap dan tindakan mereka sebagai mahasiswa. Budaya mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa jaman dulu: malas membaca dan belajar, kecuali teksbook dengan maksud mengejar kepentingan akademik pragmatis, supaya dapat nilai formal yang baik. Kebanyakan dari mereka, dalam budaya hedonistik kapitalisme, menghambur-hamburkan uang dari posisi orangtua (hasil keberhasilan status sosial dalam logika penindasan kapitalisme), jarang yang mau berpikir susah-susah; Waktu mereka hanya untuk bersenang-senang, dan jelas seperti binatang yang bergerak dan hidup berdasarkan insting (kehendak). Mirip binatang, mengendus-endus produk di mall, memenuhi insting spesies mahkluk (seks) dengan “pacar”, diperbudak dengan pasangannya hanya dengan menghabiskan waktu untuk “bercinta”, membuang waktu bagi cinta universal (untuk kehidupan sosial yang adil).

Dan dinamika pacaran inipun tidak lepas dari rekayasa peumpuk modal yang memberikan model-model dalam desiplin tubuh dan aktivitas antar pasangan. Seolah-olah tidak ada cara bercinta yang baik selain di tempat-tempat di mana suatu budaya massa kapitalistik dirancang untuk keperluan jual-beli dalam kepentingan penumpukan kapital. Tempat yang katanya “gaul” adalah di mall, di bioskop; kegiatan yang paling pantas dilakukan oleh sebuah pasangan muda adalah belanja, makan bareng tempat yang selalu dikhotbahkan oleh kapitalis melalui iklan-iklannya.

Berdasar desainer para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital. Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri bagi para penumpuk modal. Peran negara diharapkan juga sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk menghilangkan kemungkinan bagi terciptanya mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan berlawan terhadap kapitalisme, negara diharuskan melakukan sistem pendidikan dan kebijaksanaan kampus yang tidak memungkinkan para mahasiswa untuk memulai perubahan. Tentu saja usaha ini juga sejalan dengan kepentingan birokrasi-birokrasi kampus yang diuntungkan jika mahasiswanya bodoh-bodoh. Kalau bisa, dibuat bagaimana mahasiswa hanya diekploitasi dari pembayaran-pembayaran dana pendidikan yang akan menguntungkan pihak-pihak yang berkaitan. Sementara tidak pernah kemudian budaya akademis yang kritis itu digagas.

Kegiatan-kegiatan mahasiswa yang diapresiasi adalah kegiatan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir, apalagi kritis dan melawan kesewenang-wenangan kampus dan “negara yang terkapitalkan”. Kita bisa lihat, kegiatan-kegiatan yang bersimbiosis dengan suatu faksi kapital akan selalu menjadi besar dan digandrungi oleh banyak mahasiswa ketimbang kegiatan yang memungkinkan mahasiswa kritis. Kegiatan Lomba Bola Basket, Cheersleaders, parade musik, paduan suara, dan lain-lainnya akan selalu mendapat biaya yang besar terutama dari kekuatan kapital, dan dalam banyak kampus lebih didukung oleh pihak birokrasi. Kegiatan yang memungkinkan mahasiswa menjadi objek pemuja artis, yang membuat mahasiswa tidak bisa berpikir selain memuasi budaya hedonisme, akan lebih melanggengkan sistem kapitalisme dan penindasannya. Sementara kegiatan-kegiatan seminar, diskusi dan ekspresi mahasiswa atas ketimpangan sosial berupa aksi, akan ditolak mentah-mentah.

Barangkali memang ada beberapa kegiatan seperti seminar. Akan tetapi kalau kita jeli, hal ini tidak mengarah pada fungsi seminar sebagai tempat untuk mendiskusikan tema-tema kritis dan mencerahkan, terutama berguna bagi perubahan sosial. Seminar tidak lagi menjadi suatu ajang bagi idealisme perubahan untuk menghilangkan sistem di masyarakat, tetapi hanya sekedar untuk pemuasan dan heroisme eksistensial bahwa mereka (akademisi, politisi, dosen, mahasiswa) adalah kaum “intelektual”. Artinya seminarpun alih-alih untuk menunjukkan kegiatan yang bersifat akademis justru terjebak pada kepentingan pemuasan diri. Kadangkala, mereka yang menjadi pemakalah dalam seminar merasa bangga karena pemikiran mereka terjual (dapat bayaran) dan kapasitas “intelektual” (palsu) mereka bertambah (dalam konteks daya tawarnya sebagai penjual pikiran); sementara mahasiswa yang datang ke seminar juga merasa bahwa dia juga bagian dari ”intelektual”; lucunya, ada yang tujuannya hanya dapat sertifikat dengan alasan bahwa itu akan membuatnya nanti laku di (lamaran) bursa kerja, untuk bekerja di suatu perusahaan dan mengabdikan diri pada penumpuk modal.

Karenanya, kami yang tergabung dalam Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N) menyatakan:

·Menyerukan pada mahasiswa baik secara individu maupun yang tergabung dalam organisasi untuk menyatukan diri dalam satu front dan melancarkan serangan ofensif untuk merebut kembali demokrasi didalam kampus!!!

· Mencabut semua produk hukum yang menindas kebebasan akademik dan demokrasi dalam kampus!!!

· Tolak Komersialisasi Kampus! Tolak Privatisasi Kampus! Tolak RUU BHP!

· Tuntut pendidikan Gratis, Ilmiah, dan Demokratis untuk rakyat!!!



Jakarta, 10 September 2007



Nurani Soyomukti

Kordinator Komunikasi Massa

JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional)

Tidak ada komentar: