Minggu, 09 September 2007

KAUM MUDA: KEBERANIAN MENDOBRAK TABU POLITIK

Keberanian Mendobrak Tabu Politik

Oleh Nurani Soyomukti

(Dimuat di Jawa Pos, Sabtu 14 Juli 2007)

KNPI sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) memang terus dikritik dari waktu ke waktu. Pada zaman Orde Baru, OKP itu dipandang sebagai alat bagi kaum muda untuk memperoleh jabatan politik (kekuasaan). Tak heran, muncul kritik dan gugatan ketika seorang ketua KNPI aktif mendirikan sebuah partai politik sekaligus menjabat ketua umum.

Saya kira, persoalannya bukan pada apakah kaum muda haram atau halal berpolitik. Bagaimana kita memaknai politik? Apakah sebagai aktivitas yang di dalamnya hanya berisi nafsu dan tindakan rakus untuk meraup kekuasaan pribadi atau politik sebagai seni dan jalan untuk melakukan perubahan?

Mudah-mudahan, dengan kasus KNPI-PPI, tidak muncul pemahaman hitam putih bahwa ketika kaum muda membangun sebuah gerakan politik (melalui alat bernama partai politik), mereka tidak dinilai telah terjebak pada pragmatisme.

Ada beberapa alasan untuk menolak anggapan semacam itu. Pertama, masih muncul pemahaman di kalangan masyarakat bahwa kaum tua memang telah dianggap gagal karena sikap politiknya konservatif, kompromis terhadap tekanan-tekanan dari luar, serta tidak mampu berpikir secara objektif tentang masalah bangsa ini. Mereka hanya mengandalkan rasa, bukan otak.

Kaum tua juga dianggap penakut untuk melakukan perubahan radikal. Dalam hal ini, kaum muda masih diharapkan karena mereka identik dengan kaum yang berjiwa progresif.

Kedua, KNPI-PPI bukan representasi kaum muda Indonesia secara keseluruhan. KNPI adalah produk lama Orde Baru. Setelah Soeharto lengser, muncul organ-organ pemuda dan mahasiswa baru dengan pola pikir serta model pembangunan organisasi yang berbeda. Sebagian organisasi baru itu menggunakan landasan ideologis, strategi-taktik, serta program sosial-politik yang berbeda.

Bahkan, kalau mau menelisik, beberapa organisasi pemuda dengan garis politik juga bermunculan dengan lebih suka melakukan pendampingan terhadap rakyat miskin (tani, buruh, kaum miskin kota, seniman, dan sebagainya) serta menjauhi sikap mengendap-endap berorganisasi untuk mencari kekuasaan.

Pragmatisme, oportunisme, dan ketidakkonsistenan idealisme kaum muda memang bisa mudah terjadi dalam situasi politik tertentu. Dengan demikian, jalan politik atau nonpolitik bukanlah suatu cara yang harus didikotomikan.

Dalam banyak kasus, setiap organisasi sosial adalah organisasi politik, meski mereka tidak mengakui. Sebab dalam percaturan politik, organisasi massa, organisasi mahasiswa, seniman, bahkan yang tidak berorganisasi pun bisa diukur peran politiknya -selama mereka dalam sikap dan tindakan membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah dan kesadaran rakyat.

Tidak ada yang netral dalam tatanan material yang telah diisi percaturan yang berhubungan dengan kekuatan produksi ekonomi dan politik. Diam adalah bagian dari gerak, demikian meminjam ungkapan Hegel.

Yang menarik sebenarnya adalah melihat sikap Hasanudin Yusuf -ketua KNPI- sebagai keberanian dan kenekatan. Yang dapat kita petik dari manuver politik dia adalah keberanian mendobrak tabu politik. Hal itu harus dilihat sebagai kasus yang menggoreskan catatan bahwa politik bagi kaum muda, mendirikan partai sebagai alat politik, bukanlah sebuah tabu.

Lihatlah, betapa gagalnya gerakan moral yang menjadi konsepsi hampir dari semua OKP dan mahasiswa. Gerakan moral, yang menganggap mahasiswa dan kaum muda seakan sebagai koboi yang datang di suatu daerah memberantas kejahatan lalu berpindah ke daerah lain, mirip petualangan (politik) -yang sebenarnya juga mewarisi watak pragmatis kaum muda.

Mahasiswa dan kaum muda juga tak lagi boleh bersikap seperti petualang politik semacam itu. Mahasiswa selalu tampil untuk menggulingkan suatu rezim, tanpa konsep ideologis, strategi-taktik, maupun program politik yang jelas. Lalu, setelah ada rezim jatuh, semua diserahkan kepada kekuatan lain. Kekuatan lain itu adalah kaum tua yang sama-sama mengandalkan moral feudal, kompromis, dan tidak tegas dalam mengambil langkah.

Karena itu, kita harus mengevaluasi apakah ada syarat-syarat bagi Partai Pemuda Indonesia (PPI) untuk menjadi alat politik yang efektif bagi kaum muda untuk memperjuangkan cita-cita sejati perubahan. Evaluasi tersebut harus didasarkan pada syarat-syarat material yang bisa diukur, apakah secara ideologis, strategi-taktik, program, dan tindakan politik para organizer-nya (termasuk Hasanudin Yusuf sebagai ketuanya) telah memenuhi kriteria partai politik yang efektif atau tidak.

Memang, kecurigaan bahwa parpol yang bertebaran menjelang pemilu (2009) hanya akan menjadi batu loncatan bagi kekuasaan tidak bisa kita tolak. Sebab, kekecewaan di kalangan rakyat sudah terlalu banyak dan kuat.

Pesimisme tersebut juga disebabkan adanya fakta bahwa yang saat ini duduk di pemerintahan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, adalah mantan-mantan pengurus organisasi pemuda dan mahasiswa (baca: OKP).

Mereka yang dulu berteriak-teriak di jalan-jalan menjatuhkan Soeharto dan seakan mendambakan perubahan ternyata kini juga duduk di jajaran lembaga-lembaga yang semakin hari justru menambah penderitaan rakyat. ***

Tidak ada komentar: