Rabu, 31 Oktober 2007

PERNYATAAN SIKAP

PERNYATAAN SIKAP
Tentang Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia 28 – 30 Oktober 2007
Di Hotel Sahid Jaya Jakarta

Pertemuan Nasional Forum Dialog Pemuda Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28-30 Oktober 2007, dan mengambil Tema ”The New Deal” Membangun Kesepahaman Baru Pemuda Indonesia, yang dihadiri oleh Kelompok – kelompok Pemuda dan Mahasiswa. Ternyata sudah mengingkari semangat awal perjuangan kaum muda Indonesia yang berkarakter progresif-revolusio ner dan pro kerakyatan.Setelah kami mengikuti rangkaian acara tersebut, kami memandang bahwa:

1. Roh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang sejatinya adalah Anti Penjajahan (Kolonialisme- Imprialisme) , telah diturunkan kualitasnya oleh forum ini menjadi sekedar peringatan simbolik yang melegitimasi kekuasaan penjajahan gaya baru neoliberalisme.

2. Pertemuan ini yang mengambil lokasi di Hotel Sahid Jaya Jakarta, dengan fasilitas cukup mewah dan menghabiskan banyak dana, ternyata dalam pembahasannya masih sangat jauh dari kondisi sosial rakyat yang masih melarat dan tertindas. Forum ini tidak memberikan solusi jalan keluar yang konkret atas krisis kesejahteraan yang sedang dialami rakyat Indonesia.

3. Forum ini yang seharusnya dapat memberikan pencerahan kesepahaman baru bagi kaum muda, memberikan perubahan baru dan sekaligus merumuskan gerakan baru kaum muda, justru hanya menjadi alat legitimasi munculnya RUU Kepemudaan.

4. Forum ini telah menggiring peserta untuk bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menurut kami, langkah ini sungguh-sungguh keliru, karena pemerintahan SBY-JK sudah terbukti menjadi agen dan kaki tangan neoliberalisme yang telah GAGAL membawa perubahan baru bagi rakyat Indonesia yang lebih Adil, Sejahtera dan Demokratis.

Dengan pandangan kami tersebut diatas, maka kami menyerukan:

1. Menolak RUU Kepemudaan dan membuat RUU Kepemudaan baru yang lebih demokratis dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua organisasi kepemudaan, termasuk organisasi kepemudaan yang berbasiskan mahasiswa.

2. Membentuk wadah persatuan baru bagi kaum muda Indonesia.

3. Menolak hadir dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden.

4. Meminta kepada panitia ”Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia”, untuk tidak mencantumkan nama organisasi kami kedalam semua keputusan-keputusan forum tersebut. Dan kami tidak bertanggungjawab atas semua keputusan yang dikeluarkan oleh forum tersebut.

Kami juga menyatakan kepada seluruh peserta Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia dan rakyat Indonesia seluruhnya bahwa: Pemerintahan SBY-JK GAGAL MEMBAWA PERUBAHAN BARU MENUJU KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT INDONESIA!

Demikian pernyatan sikap ini kami tuliskan, demi kemenangan kedaulatan rakyat seutuh-utuhnya. Semoga sejarah perjuangan rakyat memberikan jalan keluar bagi kemenangan kemanusiaan dan kaum tertindas dengan Ridha Tuhan Yang Maha Esa.

MERDEKA!BANGUN PERSATUAN KAUM MUDA UNTUK PERUBAHAN BARU!

Jakarta, 30 Oktober 2007

Kami yang mendukung:
Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI)
Gerakan Mahasiswa Nasionalis Kerakyatan (GMNK)
Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN)
BEM-STIAMI
BEM- UNIJA
BEM-STAINUKB UIJ
Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM)

Contact person:Tino Rahardian/GMPI (081 333 333 216)

"Adillah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan!"
Jalan Baru Menuju Perubahan Baru!Bangun Persatuan Nasional, Rebut Demokrasi dan Kesejahteraan!

PEREMPUAN DAN POLITIK

G 30 S/PKI dan Hancurnya Politik Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Sudah 42 tahun peristiwa yang disebut G 30 S/PKI itu berlangsung. Namun luka sejarah dari tragedi itu masih membekas hingga sekarang. Betapa tidak, dalam tragedi itu tidak hanya terjadi pembantaian massal atas kurang lebih 500.000 orang yang dituduh antek G30S/PKI, serta awal berdirinya rejim militeristik orde baru. Lebih daripada itu, tragedi tersebut juga merupakan awal hancurnya politik kaum perempuan.
Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa orde baru. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.

Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.

Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.

Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.

Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.

Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.

Bahkan ketika kita bicara mengenai gejolak politik di Myanmar, mengesampingkan perempuan bernama Aung San Suu Kyi adalah hal yang mustahil. Karena lewat pemikiran dan perlawanannya, gerakan pro demokrasi di Myanmar dibawah perlawanan para biksu memiliki keberanian untuk melawan Junta Militer.
Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.

Nah, mestinya di era reformasi ini kaum perempuan bisa kembali bangkit dan menunjukkan kemampuan pada dunia bahwa tanpa perempuan peradaban manusia tak akan pernah ada. Belenggu-belenggu yang ditancapkan dalam kening perempuan melalui politik massa mengambang mestinya sudah hancur lebur tergantikan perempuan yang anti penindasan. Sehingga mampu menumbuhkan kembali feminitas sebagai sebuah ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan sebagai lawan dari maskulinitas yang artinya sebuah penyelenggaraan ideologi dengan repesif, keras, macho dan top down.

Tapi apa lacur. Kehidupan politik kaum perempuan tak jauh beda ketika rejim orde baru berkuasa. Memang banyak perempuan yang tak lagi aktif di PKK, Dasa Wisma, serta organisasi perempuan bentukan Orba. Tapi kebanyakan mereka tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan. Sungguh ironis!***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Penulis Lepas media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), KOMPAS edisi Jatim, SURABAYA PAGI, RADAR SURABAYA, KORAN PAK OLES (KPO), BANJARMASIN POST, BATAM POS, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, www.cybersastra.net, dll.
Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah Blok D-23 Pamekasan-Madura 69371.
No HP : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau edyfirmansyah@yahoo.co.id

KAUM MUDA SEBAGAI AGEN BUDAYA TANDING

Kaum Muda Sebagai Agen
Counter-Culture (Budaya Tanding)


[Dimuat di KOMPAS Jawa Timur, Senin 29 Oktober 2007)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007; Ketua Komunikasi Massa JAMAN.


Momentum Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum budaya tanding karena pada waktu itu kaum muda menggulirkan garis kebudayaan secara tegas. Pertama, mereka berupaya menggarisbawahi budaya persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat dengan maksud untuk membuat garis yang berbeda dari kaum tua yang feudal, yang kebanyakan mendukung hegemoni kolonialisme terhadap kalangan istana untuk melanggengkan penjajahan. Kedua, kaum muda menyatakan pandangan politiknya terhadap independensi suatu masyarakat bangsa dari penjajahan asing.
Semangat menggulirkan budaya tanding itulah yang kini harus kita warisi karena kaum muda memang dikenal sebagai kalangan yang kritis dan berani, yang kadang juga berani berbeda dari budaya mainstream yang digunakan oleh kekuasaan sebagai topeng menyembunyikan penindasan.

Tantangan Globalisasi
Dewasa ini kaum muda memang menghadapi sebuah kekuasaan global yang menginginkan kaum muda tidak bisa kritis. Dalam kapitalisme global, ada dua hal yang bertentangan dalam segi kebudayaan: antara kebutuhan rakyat dan kaum muda untuk mencari-cari kreatifitas kebudayaaan pada saat hakekat manusia adalah menyalurkan aktualisasi dirinya melalui budaya (seni, gaya hidup, sastra, dan lain-lain) dengan konsepsi dan praktek kebudayan kapitalis yang cenderung menuju proses homogenisasi—yang melanggengkan penindasan pada aras hubungan ekonomi.
Dari sinilah kemudian kita masih saja dapat menemukan kaum muda yang kritis dan tidak semata-mata menuruti apa yang diarahkan oleh kebudayaan kapitalis yang represif. Kalangan kaum muda ini menciptakan suatu kebudayaan yang bahkan mencoba mendefinsikan realitas untuk melawan kecenderungan umum yang berkembang dan dikembangkan untuk menyangga tatanan ekonomi kapitalis. Inilah yang dalam istilah kebudayaan dapat disebut counter-culture (budaya tanding).
Istilah “budaya tandingan” (counter-culture) itu sendiri berasal masyarakat Barat. Rozak, dalam bukunya yang amat berpengaruh The Making of Counter Culture, menenkankan aspek oposisi dari budaya tandingan terhadap susunan masyarakat teknokratis-kapitalis yang mendominasi kebudayaan Barat di era tahun 1960-an. Masyarakat kapitalis waktu itu dianggap koruptif karena menekankan rasionalitas yang represif; rasionalitas yang membuat manusia terasing, homeless mind, serta—sekali lagi, apa yang disebut Herbert Marcuse—one-dimensional. John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinsikan istilah “budaya tandingan” sebagai “seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat di mana kelompok itu menjadi bagiannya”.
Di Barat, para agen budaya tanding adalah kaum muda yang mengalami keresahan terhadap krisis kapitalisme yang memiskinkan dan juga dilakukan tak manusiawi dengan jalan perang. Para kaum muda ini menciptakan gaya hidup dan menciptakan produk seni, sastra, dan budaya yang kritis terhadap perkembangan kebudayaan dominan yang dianggap mengasingkan (alienating). Mereka seringkali disebut sebagai “generasi bunga” (flower generation) yang memperjuangkan kesetaraan.
Kaum muda berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Pertanyaan tersebut diwakili oleh syair lagu The Police yang berjudul “Born in the 50’s”: “We are the class, they couldn’t teach, cause we know better!” (Kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami lebih baik). Budaya dominan yang menyebar dianggap tidak mampu memberikan apa-apa karena hanya dangkal dan beku, sedangkan kaum muda yang mampu merasakan dan mengetahui lebih baik ini menginginkan gaya hidup yang berbeda.
Di Indonesia budaya tanding juga menjadi ciri khas dari gerakan kaum muda yang dimuali dengan kemampuan untuk merasakan kontradiksi yang muncul. Gerakan mahasiswa melawan Orde Baru merupakan fakta sejarah yang paling menonjol. Pengaruh budaya tanding tahun 1960-an di Barat juga berimbas pada kaum muda yang mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan ini. Gerakan kaum muda pun harus selalu tampil dalam setiap sejarah di mana kebudayaan dijadikan topeng kekuasaan yang menindas.
Sekarang ini, banyak orang yang pesimis pada kaum muda. Mereka diarahkan oleh media dan idola semacam “artis-selebritis” yang hanya menegaskan peradaban gosip, peradaban lisan yang selama berabad-abad membuat rakyat nusantara dibodohi oleh kekuasaan (feodal) di istana. Idola itu menghambat kemajuan peradaban literer (baca-tulis) yang diwariskan oleh aktivis pergerakan melawan penjajah melalui pers dan kesusastraan.
Pahlawan masa lalu mengajarkan pentingnya pena dan organisasi dalam menjawab perubahan dalam masyarakat kita yang berada dalam cengkeraman penindasan. Kebesaran R.A.Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, Semaoen, Haji Misbach; lalu Sutan Takdir Ali Syahbana (STA), Chairil Anwar; lalu Pramoedya Ananta Toer, WS. Rendra, Umar Khayam, Widji Thukul, dan lain-lain; semua menegaskan cita-cita pencerahan dan pembebasan rakyat melalui tulisan-tulisan dan gerakan kebudayaan.
Pahlawan masa kini justru membodohi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dan menggiring mereka pada kehidupan satu dimensi: Pasar. Sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat yang masih menggunakan bahasa dan kata-kata sekedar untuk menghafal nama-nama pemain sinetron dan sepakbola, sekedar untuk melihat berapa persen diskon harga baju yang lagi “ngetrend”, para pahlawan sejati masa kini karus mendekatkan bahasa dan sastra pada dunia kemanusiaan.
Lalu di manakah celah bagi munculnya budaya tanding di era sekarang ini? Kita harus percaya bahwa sejarah berjalan dengan berbagai macam konjungturnya. Akan ada epos di mana kaum muda dapat tampil kembali saat sistem yang dijalankan oleh kaum tua dan konservatif mengalami kebuntuan. Mereka akan memainkan perannya, sebagaimana selalu terjadi dalam sejarah.***

KAUM MUDA DAN LINGKUNGAN HIDUP

Gerak Pikir dan Tindak Kaum Muda
dalam Memandang Kehancuran LH & SDA


Oleh :
Khalisah Khalid
Penulis saat ini bekerja sebagai Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Jakarta, sekaligus aktif di Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia



Gagalnya Arus Utama Lingkungan Hidup di Indonesia
Selama satu dasawarsa, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumber daya alam demi alasan pertumbuhan perekonomian. Sayangnya, paradigma ekonomi sentries dalam pembangunan ini, telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di Negara ini, digadaikan kepada kekuatan modal, dengan menjual ide globalisasi. Selama Pengurus negara menempatkan sumber daya alam (SDA) semata-mata barang eksploitasi sebesar-besarnya guna mendapatkan devisa sebanyak-banyaknya, pelanggaran HAM akan terus meningkat tak terselesaikan. Banyaknya perijinan eksploitasi dimiliki pelaku industri ekstraktif membuktikan pengurus negara mengabaikan fungsi pentingnya alam melayani kebutuhan ekologis manusia.

Globalisasi sebagai jargon yang telah dihembuskan oleh neoliberalisme paling tidak telah menggunakan perangkat-perangkat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir negara-negara maju yang konon katanya “sudah” mengalami masa “tradisional” sehingga saat ini sudah harus bergerak pada arus yang mengglobal dengan cara menggenggam dunia dengan hukum pasar dan dikarenakan globalisasi dimainkan oleh kekuatan pemilik modal hingga untuk masuk kedalam satu negara, tidak segan-segan mengebiri kekuatan negara lewat lembaga keuangan seperti World Bank, ADB, IMF, serta perusahaan Trans Nasional Corporates (TNc’s) dan Multinasional Corporates (MNcs). Lewat agenda privatisasi dan liberalisasi, kekuatan negara perlahan telah diambil alih oleh kekuatan kapitalis, antara lain privatisasi air, liberalisasi pertanian dan juga liberalisasi di sector perikanan.

Perubahan bukan tidak pernah ingin dilakukan oleh bangsa ini untuk keluar dari krisis yang melandanya, mulai dari masa revolusi hingga reformasi, angin perubahan dihembuskan dengan kelompok muda yang menjadi sandaran utamanya. Tapi sayangnya perubahan dalam konteks memandang lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak dengan serta merta membawa perubahan yang signifikan, khususnya bagi rakyat yang selama ini justru banyak berkorban untuk perubahan.

Ada beberapa sebab utama mengapa perubahan negeri ini didalam mengurus negaranya tidak pernah sesuai dengan harapan rakyat, antara lain:

Pertama, pasca reformasi 1998 kelompok pro demokrasi dan gerakan social progressif gagal mendeterminasi arah pembangunan lingkungan hidup, sementara kekuasaan justru dibajak oleh kelompok-kelompok status quo yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi liberal yang meninggalkan agenda-agenda dan kepentingan rakyat kebanyakan, termasuk mengabaikan semua tuntutan masyarakat korban akibat otoritarianisme orde baru.
Kedua, transisi demokrasi justru lebih menjadi kuda tunggangan bagi kekuatan-kekuatan pro pasar bebas (kapitalisme neo-liberal), ketika kelompok pro perubahan tidak ada signifikansinya terhadap cita-cita demokrasi kerakyatan. Sebab Indonesia masih menjadi bangsa jajahan melalui sistem penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh negara-negara industri maju dan lembaga keuangan Internasional yang mengakibatkan kemiskinan dan bencana ekologi terus terjadi di Indonesia.
Ketiga, Gerakan lingkungan hidup berada di jantung perlawanan atas penghisapan penjajahan baru (eksploitasi sumber-sumber kehidupan), dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme lainnya (buruh, nasionalis, sosialis dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada kekuatan massa kritis yang massif, terorganisir, terpimpin untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.

Ketiga penyebab utama inilah yang menggambarkan Indonesia menuju proses penghancuran karena lingkungan hidupnya dirusak, dan kebangkrutan karena sumber daya alamnya diobral murah.

Gagal dan Bangkrutnya Rezim Sumber Daya Alam
Sejak bangsa ini dipimpin oleh kaum tua, watak yang mesti diingat adalah watak eksploitatif. Ini bisa kita lihat dari cara pandang pemimpin didalam membangun bangsanya dalam kurun waktu yang cukup panjang, rezim tua menjadi potret rezim yang hanya mewariskan kehancuran dan kebangrutan. Inilah yang dinamakan cara pandang yang eksploitatif, karena didalam prinsipnya yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi yang bersifat akumulatif, dan tidak terdistribusi secara adil dan merata kepada rakyat, dan tentu saja mengabaikan keberlanjutan kehidupan generasi berikutnya.

Dimulai dari masa orde baru, Soeharto menempatkan landasan pembangunan tepat pada cita-cita mengejar pertumbuhan ekonomi. Undang-undang yang pertama digulirkan adalah undang-undang penanaman modal asing (PMA) yang memberikan konsesi pertambangan kepada PT. Freeport Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang, 30 tahun lamanya, tanpa pernah ada renegosiasi terhadap kontrak karya disepanjang perjalanan PT. Freeport beroperasi mengeruk sumber daya alam di Papua.

Di sektor migas, dampak liberalisasi di sektor migas dikuasai 85% oleh asing dan hanya 15% dikuasi oleh Pertamina. Sektor pertambangan merupakan industri paling tertutup yang melebihi rahasia negara, dimana rakyat tidak bisa mengakses informasi terkait dengan sumber daya migas yang tersedia. Industri ekstraktif ini kemudian menjadi primadona setelah kekayaan alam dari sektor hutan mulai menipis. Dampak yang ditimbulkan dari industri ekstraktif ini bukan hanya kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga tindak pelanggaran hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun sipil dan politik (sipol). Di sektor ini juga sangat kental dengan bisnis militer dan polisi, terutama dengan jasa pengamanan (security) bagi industri ekstraktif.

Setelah jatuhnya masa orba dan berganti menjadi masa reformasi, paradigma dalam melihat persoalan lingkungan hidup bahkan cenderung lebih eksploitatif. Ini bisa dilihat dari produk undang-undang baru yang dihasilkan antara lain UU Penanaman Modal Asing yang menambah panjang hak investor untuk menanamkan invstasinya di Indonesia, tidak kurang dari 90 tahun lamanya dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang lebih berpihak kepada modal dan menegasikan hak politik rakyat miskin atas ruang.

Krisis berbangsa yang multidimensional dan kondisi riil yang dihadapi oleh bangsa inilah yang kemudian mendorong kegelisahan kaum muda yang concern bekerja pada isu lingkungan hidup untuk merubah strategi dan orientasi gerakannya didalam memperjuangkan keberlanjutan kehidupan lewat sebuah gerakan politik alternatif, yang akan memberikan ruang kepada kaum muda untuk memimpin Indonesia dan keluar dari krisis kedaulatan dan keadilan ekologi yang diakibatkan oleh salah urusnya negara didalam mengelola sumber daya alamnya.

Saatnya Kaum Muda Memimpin Indonesia
Kita tentu tidak mau lagi dipimpin kelompok dari rezim yang eksploitatif ini, dan perubahan ini hendak diciptakan oleh sejumlah aktifis muda lingkungan hidup yang selama ini lebih banyak bermain pada ranah advokasi, mencoba mendobrak tradisi lama, dimana tidak cukup hanya dengan gerakan advokasi untuk merubah sebuah kebijakan politik. Kita berkali-kali mengalami kekalahan didalam memperjuangkan konflik sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam selalu dimulai dari kebijakan politik.

Melihat kondisi bangsa Indonesia yang berada diambang kehancuran dan kebangkrutan akibat salah urus didalam mengelola sumber daya alam, kaum muda yang selama ini bergerak didalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, yang selama kurang lebih 26 tahun telah bermain didalam ranah advokasi kebijakan, menjadi salah satu kelompok civil society yang belakangan ini secara serius tengah mendorong lahirnya kekuatan politik alternatif rakyat, yang bekerja berdasarkan platform perjuangan serta konsep alternatif tentang penataan pengaturan kehidupan masyarakat yang komprehensif dan menyeluruh. Tujuan politiknya tidak saja berusaha mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, tetapi berusaha mendeterminasi perubahan tatanan politik-ekonomi dan sosial serta perubahan paradigma dalam penataan kehidupan masyarakat.


Menghadapi putaran pergantian rezim yang sebentar lagi akan terjadi, kita tentu tidak berharap kekuatan status quo yang dikuasai oleh kelompok tua atau kelompok muda yang berpikir konvensional dalam melihat lingkungan hidup dan sumber daya alam. Untuk itu, kekuatan politik alteratif baru dengan bercirikan meletakkan tonggak-tonggak kekuatannya pada kader-kader muda dan kader-kader perempuan yang akan menjadi motor dalam gerakan pembaharuan lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang mendesak, sehingga agenda perubahan mendasar bagi bangsa ini untuk mewujudkan keadilan ekologi dan lingkungan dapat dicapai.

Ditengah-tengah apatisnya rakyat terhadap sebuah partai politik, kita tentu yakin dan ingin membuktikan bahwa kita dapat menjawab tantangan realitas politik ini dengan sebuah kekuatan baru, kaum muda yang berpikir progressif untuk membuaat perubahan, dan kaum muda yang berorientasi jangka panjang untuk memikirkan konsep pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Semoga kaum muda progressif ini dapat mengambil kepeloporan untuk mewujudkan tantangan atas perubahan bangsa ini.***

Selasa, 02 Oktober 2007

PERNYATAAN SIKAP
JARIANGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL

(JAMAN)

============================================

Mengutuk Junta Militer Myanmar
Tolak Kekerasan oleh Junta Militer di Myanmar !!!
Galang Solidaritas untuk Oposisi Demokrasi Sipil Rakyat Myanmar!!!


Salam Kemandirian,

Sepanjang muncul penindasan dan kebijakan yang menyengsarakan, ternyata reaksi protes dari rakyat juga akan selalu muncul. Perlawanan rakyat seakan menjadi gejala universal akhir-akhir ini. Bukan hanya di Indonesia yang tiap hari ada perlawanan dan protes dari rakyat, tetapi juga di Myanmar yang bahkan diperintah oleh rezim yang anti-demokrasi.

Hari-hari terakhir ini, rakyat Myanmar melakukan protes menentang kenaikan harga BBM sebesar 500 %, di mana pada akhirnya aksi memakan korban. Kenaikan BBM sebesar itu sungguh luar biasa menyengsarakan. Bayangkan, di Indonesia saja yang tingkat kenaikannya 100% saja telah menimbulkan keresahan di mana-mana.

Tapi apa lacur, pemerintahan junta militer dengan sadisnya menghadapi protes rakyat dengan cara-cara kekerasan. Diketahui 9 orang tewas dan ratusan orang ditangkap oleh junta militer karena dianggap tidak mematuhi peraturan yang dibuat oleh Junta Militer Myanmar. Dan itu bukanlah kekerasan yang pertama kali kejamnya. Dulu pada tahun 1988, sekitar 3000 orang dibantai saat demonstrasi massa. Maka dari itu, tidak seorangpun dapat meragukan kebrutalan rejim ini dan apa yang rejim ini mampu lakukan di dalam usahanya untuk menekan gelombang protes.

Junta Militer Myanmar, yang sudah berkuasa selama 19 tahun, jelas-jelas masih ingin melanggengkan kekuasaan politiknya di Myanmar. Sejarah junta militer Myanmar dimulai dengan kudeta yang dipimpin Ne Win pada tahun 1962 yang kemudian berusaha menerapkan model Maois RRC, dengan melakukan nasionalisasi tanah, industri, perdagangan, tetapi tidak terjadi proses demokratisasi untuk memastikan sosialisasi proses produksi melalui kontrol demokratis pada rakyat. Kekuasaan tidak berada di tangan rakyat, tetapi di tangan segelintir elit birokrasi yang kebanyakan adalah militer.

Yang harus diperjelas di sini adalah kenapa junta militer yang anti-demokrasi dengan tindakan kekerasan yang ada (yang kebanyakan juga ditutup-tutupi) terjadi? Kepentingan negara-negara mitra kapitalis tentu saja adalah sebab utamanya, disamping karena gerakan oposisi demokratik tak juga mampu menyusun strategi-taktik perjuangannya. Hiangga saat ini di belakang junta militer Myanmar ada Cina, Rusia dan India. Negara-negara ini memiliki kepentingan modal yang sangat besar dengan menanamkan modalnya di Myanmar. Bahkan para kapitalis di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura juga memiliki kepentingan yang sama dalam hal ekonomi. Para pengusaha Thailand menampung dan memasok kebutuhan pokok Myanmar. Petronas (Malaisya) pun menggantikan posisi Premier, perusahaan minyak Inggris, untuk mengerjakan proyek jalur pipa minyak di negeri yang dikuasai junta militer itu. Kenyataan ini yang diduga menjadi sebab mengapa ASEAN tidak begitu keras memperlakukan junta Myanmar.

Dari kejadian yang terjadi di Myanmar tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa di manapun gerakan rakyat akan terjadi saat rezim melanggar hak-hak asasi manusia. Bahkan aksi yang melibatkan ribuan Biksu menunjukkan bahwa kalangan agamawan yang selama ini dianggap sebagai kekuatan moral (moral force) terpaksa harus turun-tangan dalam menghadapi wilayah politik yang menggerus wilayah kemanuaasaiaan.

Konon dalam ajaran Budha, semangat sosialisme juga bisa kita temukan. Semangat inilah yang membuat para Biksu bergerak. Lihatlah misalnya, dalam ajaran Budha dikenal laku-laku: kebaikan keseluruhan, pengekangan diri, kemurahan hati, penghormatan dan keramahan penuh kasih. Sosialisme dharma berpandangan semua mahluk dihadapan Budha sama. Budha sangat gigih mengritik kapitalisme serta kediktatoran politik, karena keduanya mengancam kehancuran dunia.

Dalam agama Budha ada kisah bahwa kedermawanan merupakan kebajikan terakhir yang perlu disempurnakan sebelum mencapai nirwana. Ajaran Budha menekankan bahwa belas kasih hidup dalam semangat kebersamaan akan menghilangkan ketidak adilan sosial. Ajaran Hindhu Ahimsa menghubungkan antara keadilan dan kesejahteraan. Bahwa amal merupakan jalan untuk menciptakan keamanan masa depan dan bahwa derma menjamin kesejahteraan.

Oleha karena ini, kami Jaringan Nasional untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) menyatakan:

1. Menuntut mundur junta militer Myanmar dan segera dibentuk pemerintahan demokratis yang berasal dari kelompok demokrasi;

2. Menolak cara-cara kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer dan mengadili perbuatan HAM selama ini di depan mahkamah internasional;

3. Mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung gerakan oposisi demokratik rakyat Myanmar dalam menciptakan tatanan yang demokratis, adil dan makmur.

Jakarta, 29 September 2007

JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (JAMAN),

Nurani Soyomukti

Ketua Komunikasi Maassa