Jumat, 21 Desember 2007

Pernyataan Sikap Solidaritas JAMAN


SOLIDARITAS untuk Karyawan PLN Jatim Call Center 1 2 3


TOLAK OUTSORCING DI TUBUH PLN!!!

USUT TUNTAS KORUPSI DI TUBUH PLN!!!

ADILI KORUPTOR DI PLN!!!



Kemadirian nasional negara kita benar-benar dipertaruhkan, bahkan digadaikan. Hal ini secara nyata dapat kita lihat dari fakta bahwa pemerintahan telah mengobral kekayaan alam dan perusahaan-perusahaan negara dengan murah ke pada modal asing.

Belakangan ini kita melihat lagi terjadinya kebobrokan yang menyolok di tubuh salah satu BUMN yang kita miliki. BUMN itu adalah PT PLN (Persero) yang para pejabat-pejabatnya telah melakukan penyelewengan. Anasir-anasir adalanya mis-management dan penyelewengan yang terjadi itu telah lama dicurigai banyak pihak. Selain itu juga muncul keanehan bahwa selalu muncul laporan bahwa PT PLN selalu mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya. Jangan-jangan memang ada upaya sistematis untuk membuat PLN bankcrupt (bangkrut), lalu muncul alasan dari pihak tertentu (pemerintah) untuk menyehatkan PLN dengan cara diprivatisasi.

PLN sendiri dalam menjalankan usahanya telah menempuh kebijakan outsorcing untuk benberapa sektor usaha. Outsorcing adalah salah satu bentuk imperialisme ekonomi karena didasarkan pada pembuatan hubungan kerja antara buruh dan majikan yang longgar, artinya tidak ada ikatan antara karyawan/buruh dengan pengusaha (flexible labor market). Legitimasi outsorcing adalah UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, sebuah produk hukum yang merugikan kaum buruh/pekerja karena melemahkan mereka di hadapan pengusaha.

Alasannya adalah adanya efektifitas dan efisiensi—suatu prinsip yang seringkali digembor-gemborkan oleh tatanan neoliberalisme yang terbukti bersifat predatoris di Indonesia. Lalu efektifkan perusahaan PLN dengan adanya outsorcing ini?

Mengingat PT. PLN adalah perusahaan satu-satunya milik negara yang bergerak dibidang pembangkit listrik dan sekaligus distribusinya di Indonesia, serta seluruh bidang pekerjaan di PT. PLN sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi PT. PLN untuk menerapkan sitem kerja out sourcing terhadap sebagian pekerjanya.

Efisien kah? Ternyata malah sebaliknya. Buktinya perusahaan malah merugi. Ootsorcing yang diterapkan PLN tidak berjalan dan bahkan sarat dengan unsur KORUPSI, nepotisme, dan lain sebagainya. Perusahaan outsorcing yang ada ternyata didirikan oleh pejabat-pejabat PLN sendiri dengan prosedur yang kacau dan tidak memenuhi standar formal-legal (hukum dan peraturan yang ada), lagi-lagi karena nepotisme dan korupsi.

Untuk memilih perusahaan outsorcing yang seharusnya melalui mekanisme membuka tender terbuka, ternyata perusahaan (PLN) melakukan penunjukan langsung (PL), dan bukannya pelelangan terbuka. PLN dalam hal ini melakukan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) berkaitan dengan penunjukan langsung Penunjukan Langsung beberapa perusahaan untuk melaksanakan Proyek Outsourcing untuk beberapa sector di PLN.


Keruwetan akibat kebijakan outsorcing ini belakangan terbuka dengan adanya gerakan yang dibuat oleh karyawan PLN Jawa Timur yang menuntut bekerja tetap. Mereka menuntut dan bergerak karena pada awalnya direkrut atas nama PLN, pada saat tes masuk dan bahkan sudah ditraining. Tetapi mereka dipekerjakan di perusahaan Outsorcing (PT. Artho Ageng), pada hal mereka ingin menjadi karyawan tetap PLN (Persero).

Oleh karenanya mereka menuntut hak-haknya dan mereka sekaligus membuka apa yang terjadi di tubuh PLN, kebusukan-kebusukan yang ada akibat rusaknya manajemen dan merajanya korupsi. Secara kronologis, mereka melalui serikat buruh Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), telah mengirimkan surat permintaan untuk bertemu secara langsung dengan Direksi PLN untuk meminta kejelasan dan menuntut hak mereka sebagai karyawan tetap. Sudah dua kali kirim surat tetapi tak digubris. Oleh karenanya mereka datang ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutannya ke pemerintah pusat. Dan pada hari Jumat, tanggal 14 Desember 2007 lalu mereka terpaksa berunjuk rasa menekan agar diberi ruang-waktu untuk bertemu direksi. Tetapi tuntutan tersebut tak terpenuhi. Hingga kini ke-6 karyawan tersebut masih berada di Jakarta—mereka bertekad tak akan kembali pulang sebelum permintaan mereka dipenuhi.


Lebih jauh, tuntutan buruh/karyawan yang juga pengurus dan anggota FNPBI SBTK PLN Jatim ini juga mengungkap lebih jauh tentang adanya korupsi dan penyimpangan yang mereka temukan. Ada dua kasus utama yang kami temukan, yaitu Mark Up dan Penyimpangan dalam hal pengadaan barang yang melalui penunjukan langsung (PL) yang menyalahi ketentuan PLN dan Pemerintah.

Sebagaimana laporan Biro Hukum dan Advokasi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), mark up dilakukan dengan memberikan nilai/harga yang lebih besar (relatif sangat besar) dari harga yang sejatinya, tujuannya agar selisih harga ini daat masuk di kantong pejabat yang berwenang.

Dalam hal ini, bahkan pihak PLN sendiri membuat ketentuan pengadaan barang dan jasa yang menyimpang jauh dari KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH. Dalam Keppres ini ditetapkan bahwa pengadaan barang/jasa yang harus diadakan dengan pembentukan panitia pengadaan adalah minimal Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Tetapi PT. PLN sendiri malah mengeluarkan ketentuan tentang nilain minimal barang/jasa pengadaan dengan jumlah yang jauh lebih besar, yaitu Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Lihat Ketentuan pengadaan barang berdasarkan pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. PLN (Persero) menetapkan bahwa: “panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Dari fakta-fakta dan kondisi di atas, maka kamu yang bergabung dalam Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.AM.A.N) menyatakan mendukung dan memberikan solidaritas terhadap perjuangan kawan-kawan karyawan PT. PLN (Persero) untuk:

  1. Menuntut Hak-Haknya sebagai Karyawan Tetap PT. PLN (Persero)!!!

  2. Menolak Kebijakan Outsorcing di tubuh PLN dan di manapun!!!

  3. Mengadili para KORUPTOR di tubuh PLN!!!


Kami juga menyerukan:

  1. Selamatkan aset bangsa dari komersialisasi dan privatisasi!

  2. Cabut UUK No. 13 tahun 2003 dan buat UU Ketenagakerjaan yang Pro-Buruh dan pro-Kemandirian nasional!!!

  3. Menjadikan kasus PLN ini sebagai dasar bagi terciptanya gerakan menyelamatkan aset-aset bangsa dari jarahan kaum modal asing dan lokal yang anti-kesejahteraan rakyat, mewujudkan kemandirian nasional di bidang Ekonomi!!



Demikian pernyataan solidaritas ini kamu buat, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.


Jakarta, 18 Desember 2007


Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian nasional

(J.A.M.A.N)






Gigih Guntoro Iwan Dwi Laksono

Ketua Umum Sekretaris Jenderal



Sabtu, 15 Desember 2007

Esai Slamet Riyanto


Kaum Muda Jangan Lupa Sejarah!

Oleh: Slamet Riyanto*)

Sudahkah pendidikan kita memberikan motivasi historis pada anak didik kita dan kaum muda kita? Atau jangan-jangan kita telah terlampau mengeluarkan banyak biaya dan energi untuk membuat produk-produk budaya yang membuat remaja dan kaum muda kita cengeng. Berbagai media menyuguhkan kisah cengeng remaja dan kaum muda, tanpa memberikan stimulan kritis. Sementara, di dalam kelas, pelajaran sejarah hanya memberikan manipulasi histroris, pelajaran sejarah yang menyingkirkan nama-nama dan peran-peran para pejuang-pejuang rakyat. Tokoh penindas rakyat justru disanjung-sanjung dalam buku-buku palsu.

Kaum muda harus diberi tahu tentang masa lalu yang kelam dan peran tokoh-tokoh besar dan gerakan rakyat dalam melawan penjajahan. Mereka tak boleh lupa akan sejarah sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Jas Merah! Jangan Lupakan Sejarah!” Dengan belajar sejarah yang memfokuskan pada pemikiran dan tindakan orang-orang besar dan partisipasi perjuangan massa, kaum muda harus percaya diri dan mempunyai jiwa besar, heroisme harus dimiliki karena ia merupakan semangat yang meminimalisir pragmatisme dan oportunisme.

Sejarah Penjajahan

Satu persatu hutan kita lenyap karena pohon-pohonnya ditebang dan dijual begitu saja keluar negeri. Satu persatu tambang minyak dan mineral kita dikuras isinya oleh tangan-tangan asing karena keserakahan dan kedunguan pejabat-pejabat kita. Satu persatu tanah subur kita lenyap berganti menjadi perumahan sehingga untuk mencukupi beras bagi rakyat, negeri ini terpaksa harus membeli dari negeri tetangga. Satu persatu saudara-saudara kita pergi ke negeri manca untuk mencari penghidupan gara-gara sebagian besar pengurus negeri ini lebih sibuk mengurus diri sendiri dan keluarga sendiri. Negeri macam apakah ini? Mengapa perilaku saat kolonialisme Belanda bercokol, yaitu suka bermewah-mewah dan untuk membiayai bermewah-mewah itu, meminta bantuan kolonialisme Belanda dengan kompensasi menyerahkan sumber kekayaan alam begitu saja kepada pemerintah kolonial Belanda, masih terus hidup dan menggurita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dari sisi mana kita menyebut negeri ini merdeka?

Dalam kurun sejarah kapitalisme dan imperialisme global saat ini, negeri-negeri yang gagal membangun kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya niscaya cepat atau lambat akan berantakan di segala sektornya. Bangsa yang bodoh sadar tak sadar akan selalu berjalan dengan saling menjegal dan menghisap satu sama lain. Sehingga setiap langkah tindakannya tak akan efektif dan boros. Sementara bangsa yang tak mandiri akan selalu menjadi korban dari kekuatan-kekuatan sejarah di pentas global. Menjadi bangsa korban sejarah, bukan bangsa penentu sejarah.

Pertanyaanyang lebih dalam lagi yang penting untuk diajukan ialah: “Telah menjadi rakyat macam kita ini sehingga negeri yang kita miliki bersama menjadi sedemikian terbelakang?”

Konsepsi ‘rakyat’ memiliki arti suatu kolektivitas yang sadar dan bisa merasakan penderitaan dan keterbelakangan negerinya sehingga karena itu tumbuh kemauannya untuk berjuang membangun bangsa dan negaranya. Konsepsi ‘rakyat’ ini bisa kita bedakan dari konsep ‘priyayi’ yang hanya bisa pusing dan marah jika kepentingan diri dan keluarganya dilanggar, namun sama sekali biasa-biasa saja dengan penderitaan dan nasib bangsanya. ‘Rakyat’ adalah suatu kehendak kolektif untuk membangun suatu negeri yang mampu menegakkan dan menjaga kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Sementara ‘priyayi’ adalah sebutan bagi suatu alam kehidupan yang sibuk dengan dinding-dinding tebal kepentingannya sendiri.

Negeri ini telah terlalu penuh sesak dengan mentalitas-mentalitas priyayi yang, persis seperti pendahulunya di masa kolonialisme Belanda, suka bermewah-mewah di atas penderitaan bangsa dan negara. Mereka puas dan bangga jika kemakmuran dan ketinggian status sosialnya telah tercapai, dan sama sekali tak mau tahu dan apatis dengan keterbelakangan dan ketidakadilan sosial yang menyelimuti kehidupan rakyat. Maka, tak bisa tidak, negeri ini harus dibersihkan dari mentalitas-mentalitas kepriyayian yang korup dan manipulatif itu.

Regenerasi

Tapi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa yang punya semangat membangun bangsa dan negaranya jika anak-anak muda terus-menerus dibiarkan dibombardir oleh gaya hidup yang hedonis dan asosial seperti yang digambarkan lewat media massa saat ini? Bagaimana bisa negeri ini punya kader bangsa yang hebat-hebat jika mentalitas yang terus diajarkan dan ditanamkan lewat berbagai acara televisi adalah mentalitas yang sibuk puas dan berbangga dengan kepentingan-kepentingan diri sendiri, dengan kesenangan-kesenangan sendiri? Mengapa orang tua membiarkan hal ini berlangsung begitu saja? Atau bahkan mengapa orang tua malah mendorong anak-anak muda untuk menjadi demikian? Tak bisakah orang-orang tua di negeri ini mencari kekayaan tanpa harus merusak mental-intelektual anak-anak muda?

Institusi-institusi sosial yang seharusnya melahirkan kader-kader bangsa, seperti sekolah maupun organisasi sosial politik, dalam kenyataannya malah menjadi pusat pengkaderan mentalitas-mentalitas feodal dan kepriyayian yang baru dimana ukuran penilaian terhadap anak-anak muda diukur berdasarkan kepatuhannya secara membuta dan kebisuannya di hadapan orang-orang tua. Mentalitas dan intelektualitas yang pembisu dan pembudak justru berkembang di institusi-institusi yang seharusnya menjadi garda depan proses kemajuan mental-intelektual bangsa. Anak-anak muda justru dilatih untuk mengekor kebiasaan dan budaya orang tua. Bagaimana mungkin kecerdasan dan kemandirian anak-anak muda yang merupakan fondasi bagi kecerdasan dan kemandirian bangsa bisa tercipta dari situasi kolektif semacam itu?

Membangun banyak wadah baru bagi penggodokan kualitas-kualitas mental-intelektual anak-anak muda yang lebih cerdas dan mandiri merupakan suatu langkah kebudayaan yang mesti harus dilakukan untuk membalik nasib dan alam sejarah negeri ini. Anak-anak yang masih menjaga kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya harus bekerjasama dengan orang-orang tua yang berpikiran jauh ke depan dan egaliter untuk membangun wadah-wadah baru yang akan melahirkan kader-kader bangsa yang cerdas dan mandiri. Mereka harus bersama-sama membangun dan mengelola wadah-wadah yang akan menggembleng kualitas-kualitas mental-intelektual terbaik dalam diri anak-anak bangsa sejak dini. Proses kolektif untuk melahirkan generasi-generasi dengan kualitas mental-intelektual yang hebat harus dijalankan agar anak-anak yang muda yang cerdas dan gelisah mencari jalan tak bingung dan lenyap dalam apatisme karena merasa sendirian.

Kemandirian dan kaum muda sesungguhnya merupakan dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dirawat oleh suatu bangsa dan negara jika bangsa dan negara itu tak ingin sejarah dirinya penuh dengan perilaku-perilaku yang menggerogoti fondasi-fondasi dasar dan sumber-sumber dari kedaulatannya sendiri. Keduanya merupakan harta tak ternilai bagi suatu bangsa dan negara sebagai anugerah Ilahi. Kemandirian merupakan sumber kekuatan ruhaniah sekaligus material bagi tegak berdiri dan majunya gerak suatu bangsa. Sementara kaum muda adalah sumber energi ruhaniah dan juga material yang luar biasa berlimpah yan bisa dimobilisasi dan diorganisir untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar bangsa dan negara menuju kemajuannya.

Bangsa yang tak menghargai keduanya niscaya akan ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang mediokre dan terbelakang. Bagaikan tikus mati di lumbung padi, bahkan meski dianugerahi kekayaan dan kesuburan alam yang luar biasa berlimpah, namun jika suatu bangsa menanggalkan kemandiriannya dan membiarkan anak-anak mudanya menjadi anak-anak muda yang terasing dari sejarah negerinya dan bahkan dianggap sebagai lawan dalam dunia karir dan ekonomi, maka bangsa tersebut akan tumbuh kerdil dan merana di tengah-tengah pergaulan antar-bangsa. Paling banter akan menjadi bangsa yang suka mengeluh dan hanya pandai iri dan dengki dengan keberhasilan negara-negara lain. Suka mengkhayal tentang kebesaran masa lalunya maupun kebesaran masa kini yang semu. Padahal, terbelakang di antara bangsa-bangsa. Tak pernah serius mencipta karya dan prestasi yang hebat di atas kakinya sendiri karena memang anti-kemandirian dan menjauhkan diri dari anak-anak muda.

Maka, mari bersama-sama menjadi bangsa yang mencintai kemandirian dan anak-anak muda. Mari membangun sejarah Indonesia yang lebih gilang-gemilang dengan bekerja secara sungguh-sungguh menanamkan jiwa dan kecakapan berdikari di dalam diri pemuda Indonesia sehingga suatu saat kelak, anak-anak Indonesia di masa depan akan bangga dengan masa lalunya dan punya karakter kemandirian yang kuat.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

MASYARAKAT ANTI-TEKNOLOGIS

Masyarakat Anti-Teknologis

Oleh: Slamet Riyanto

Pada saat industrialisasi nasional terpuruk dan bangsa kita tergantung sepenuhnya pada asing, tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang dalam cara berpikir orang-orang Indonesia. Pandangan anti-teknologi itu muncul beriringan dengan romantisme nasionalisme yang dilontarkan oleh para mulut elit, politisi, ekonomi, bahkan—celakanya—kebanyakan di kalangan ilmuwan.

Pertama-tama, pemikiran anti-teknologis ini memang tidak semata-mata berasal dari dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis intelektual Barat yang melontarkan pentingnya kembali ke akar, alam, dan filsafat Timur. Latarbelakang pemikiran mereka memang berangkat dari persoalan lingkungan hidup di Barat yang disebabkan oleh kapitalisme yang destruktif pada lingkungan dan nilai-nilai humanisme yang menjadi cita-cita para pejuang pencerahan di era dulu.

Idealisme pemikiran ekologis tersebut memang menjadi kebutuhan masyarakat maju Barat yang memang diperlukan dalam masyarakat yang sudah berkelimpahan dan menimbulkan akibat negative pada lingkungan. Akan tetapi, sayangnya, ketika pemikiran tersebut sampai ke Indonesia, ternyata masyarakat kita belum berada dalam suasana berkelimpahan—bahkan memenuhi kesejahteraan hidupnya saja sulit. Kemunafikan terjadi, saat modal Barat mengeksploitasi lingkungan kita secara rakus (hingga sekarang) untuk mengambil minyak, emas, tembaga, uranium, yang digunakan untuk kemajuan teknologi Barat, kita justru terjebak untuk menerima pemikiran anti-industrialisasi dan anti-teknologi itu.

Dan pada saat kita kalah dalam persaingan dengan industrialisasi Barat yang maju, sentiment nasionalisme tradisional berhembus. Hal ini sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemodal lokal agar tidak malu pada rakyatnya karena, selain kalah bersaingm mereka menyerahkan kekayaan kita untuk dijarah demi kemajuan teknologi dan keuntungan pemodal-pemodal asing.

Maka, dalam konteks kepentingan untuk menghembuskan nasionalisme sempit itulah, upaya mengagung-agungkan kearifan lokal. Sudah jelas-jelas bahwa kalahnya Indonesia dalam persaingan global karena industrialisasinya tidak maju, dan hanya tergantung pada imperialism asing, yang dilakukan penguasa kemudian—saat mereka cuek pada nasib rakyat karena hidupnya enak sendiri—adalah justru menumpulkan tenaga produktif rakyat. Bayangkan, jika remaja dan kaum muda tak diberi akses pada pendidikan karena sekolah mahal dan dikomersialisasikan. Yang terjadi adalah jauhnya rakyat dari iilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan. Subsidi pendidikan dikurangi, anggaran pendidikan terbatas, urusan pendidikan diserahkan pada kapitalisme pendidikan. Lalu bagaimana tidak akan muncul kecintaan remaja dan kaum muda pada IPTEK?

Strategi Industrialisasi

Intinya jelas, komitmen untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat tergantung pada pemerintahnya. Selama ini pemerintah hanya mengilusi rakyat dengan ‘kearifan lokal’ yang menunjukkan tingka kemajuan teknologi terbatas saat menghadapi kekuatan asing yang ber-IPTEK maju. Potensi lokal dikembangkan, celakanya menolak teknologisasi modern tetapi hanya mengembangkan sentiment dan perasaan bangga pada lokalitas.

Jika masyarakat Italia bangga dengan kota Milan yang terkenal dengan produk-produk mobil mewajh dan modern, sama halnya dengan masyarakat lokal Jepang yang bangga pada penemuan teknologi yang siap bersaing dalam persaingan global, pemerintah dan bahkan kebanyakan intelektual malah mengangung-agungkan produk tradisional. Yang paling menggejala adalah, tiap-tiap daerah punya produk-produk yang dibanggakan, pada hal produk-produk berkapasitas teknologi rendah dan dengan modal yang terbatas. Kita membangga-banggakan “tempe kripik” (contoh makanan khas), “batik” (industri tekstil), “Reog Ponorogo” (contoh produk budaya), dan semacamnya. Hanya sisa-sisa masyarakat feudal yang berbasis pada teknologi sederhana itulah yang membuat kita bangga dan seakan bahagia, yang konon dapat digunakan untuk bersaing dengan masyarakat internasional.

Tetapi pada kenyataannya untuk teknologi utama yang mendominasi percaturan modal, kita sangat ketinggalan jauh. Pada saat masyarakat Barat dan Asia maju telah menikmati TV plasma, masyarakat kita masih menikmati TV-TV yang mungkin dipakai masyarakat maju sekitar 10 tahun lalu, bahkan masih banyak sebagian yang belum punya TV.

Bahkan untuk urusan produk budaya saja kita tidak begitu serius dan pandai dalam mengolahnya. Terbukti baru saja, seni Reog telah diklaim oleh Malaysia. Belum lagi produk budaya lokal lainnya yang banyak ditinggalkan kaum muda yang tergoda dengan rayuan-rayuan dangkal budaya Barat, yang nantinya akan banyak diklaim sebagai hak kekayaan intelektual Barat juga.

Kearifan lokal memang tidak bisa begitu diandalkan dalam memacu pertumbuhan, dan sayangnya Indonesia masih membangga-banggakan produk lokal yang tidak ada satupun hasil dari perkembangan industrialisasi. Kita hanya menjual produk budaya lama, menjual wisata, menjual seni, tetapi untuk asset dan hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber kekayaan alam yang penting (minyak, emas, tembaga, batubara, uranium, nikel, dan kekayaan alam yang mahal dan menentukan industrialisasi) tidak kita olah—tetapi justru oleh elit-elitnya diserahkan oleh asing.

Strategi industrialisasi kita kacau. Tak heran jika saya bermaksud untuk mewaspadai bahaya pemikiran anti-teknologi. Pada saat masyarakat kita lemah dalam IPTEK, kenapa justru pemikiran anti-teknologis yang muncul dalam berbagai ekspresi (intelektual, gerakan ekologis, keagamaan, politik, dll) justru menyebar? Ini adalah bahaya besar, karena mau tak mau masyarakat kita membutuhkan upaya memacu teknologi.

IPTEK harus ditingkatkan bukan dengan mengorbankan rakyat dan hanya bersandar pada hubungan penjajahan. Kita menerima IPTEK, selama ini, dari luar hanya karena hutang. Kita mengolah industri hanya karena bersandar pada modal asing dengan tingkat pembagian proses dan hasil yang menguntungkan modal asing tersebut.

Karena terdapat fakta bahwa adanya penguasaan industri pertambangan oleh asing, yang ditegaskan sejak Orde Baru mengesahkan UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing), dan itu merupakan jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme (penjajahan). Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan menegoisasi kembali kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)—semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen.

Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

Selasa, 13 November 2007

MAKALAH NURANI SOYOMUKTI DALAM BEDAH BUKU "REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"

Hugo Chavez dan Proses Kreatif-ku:
“Menulis Rakyat yang Berjuang Melawan
Penjajahan dan Penindasan
¥

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Mantan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember; kini pengurus pusat (PP) Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N).



Walaupun kami dogmatik, kami tak suka kultus individu. Kami tak mengajar orang-orang kami untuk percaya, melainkan untuk berpikir”.
(FIDEL CASTRO)
Kata-kata itu dikatakan oleh Fidel Castro suatu waktu. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menjawab tuduhan-tuduhan dan segala fitnah yang dialamatkan padanya dan pada negerinya yang menempuh jalan alternatif di luar jalan kapitalisme. Sosialisme Kuba seringkali didiskreditkan oleh Amerika Serikat (AS) dan para pendukungnya. Dengan media-media yang dikuasai oleh jaringan kapitalisme globalnya, perjuangan dan capaian rakyat Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro diisolasi dari komunitas internasional. Ditambah dengan propaganda bahwa tidak ada demokrasi di Kuba atau negara sosialis lainnya.
Yang dilakukan Castro adalah sebuah kepemimpinan revolusioner sebagai alternatif dari kepemimpinan elitis dan oligarkis sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis—oligarki modal. Sementara AS dan media propagandanya menyebarkan citra buruk terhadap kepemimpinan Castro, Paus Paulus pemimpin Vatikan yang pernah berkunjung ke Kuba justru terheran-heran tentang apa yang terjadi di negara itu. Sosialisme telah memerankan bangunan kemanusiaan yang besar hingga Kuba telah menjadi negara dengan tingkat melek huruf tertinggi di dunia, pertanian organik ramah lingkungan yang maju, pendidikan gratis dan kesehatan yang memadai.

Bandingkan dengan negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi tekanan/intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing: mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi—tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi). Lihat saja besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB.

Berbeda dengan di Kuba yang menggartiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Peneliti barat masih terheran-heran bagaimana negeri Kuba yang diisolasi dan didiskreditkan AS justru dapat menyaingi tandard pendidikan negara-negara imperialis seperti AS, Kanada, dan Inggris Raya. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kpemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba.
Apa yang terjadi di Kuba, dicontoh oleh revolusi bolivarian yang dijalankan oleh para aktivis di Venezuela yang dipimpin oleh Hugo Chavez. Keberanian dalam bertindak dan program-program alternatif sebagai jawaban atas kontradiksi pokok dan konkrit yang ada dilakukan oleh Chavez dalam para pendukungnya. Keberaniannya ditunjukkan dengan kemauannya untuk membuat seruan-seruan pada rakyat atas melencengnya pemerintahan yang pro-neoliberalisme dan propaganda berupa jalan apa yang ditempuh. Tipe semacam inilah yang dsebut sebagai pemimpin massa rakyat yang menempatkan dirinya sebagai pelopor perubahan dan pemimpin kesadaran massa. Bahkan, lebih dari itu, Chavez juga berani bertindak: pada tahun 1992 ia secara berani ingin merebut kekuasaan pro-neoliberal dengan cara melakukan kudeta.
Meskipun gagal, kudeta 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Dengan program kemandirian nasional dan anti-neoliberal, dengan dukungan riil dari rakyat, pada tahun 1998 ia memenangkan pemilu. Hugo Chavez segera dikenal sebagai presiden pembela rakyat, yang mengentaskan mereka dari kemiskinan, dan bahkan memberdayakannya secara politik. Artinya, kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik dijamin. Kesejahteraan ekonomi ditempuh dengan revolusi kebijakan ekonomi dari kapitalisme menuju sosialisme-kerakyatan.

***
Lalu siapakah yang akan menuliskan apa yang terjadi di Venezuela? Siapa yang menyebarkan adanya ”jalan lain” di luar neoliberalisme (kapitalisme, pasar bebas) yang banyak diamini oleh negara-negara yang secara ekonomi-politik masih terjajah (seperti negara kita)? Pada waktu itu, hingga memasuki tahun 2007, tidak ada yang menuliskan apa yang terjadi di Venezuela secara komprehensif dalam arti membahas konteks historis, kontradiksi, dan subjek gerakan yang mengantarkan Chavez menuju pada ”kepemimpinan alternatif” di era globalisasi neoliberal abad 21 ini. Aku ingin mengangkatnya, menuliskannya...

Dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, dengan kesengajaan maupun tidak, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan, menuliskan sesuatu dalam bentuk buku ini merupakan suatu hal yang monumental dalam hidupku. Sebagaimana muncul spirit tiba-tiba yang menyatu dengan narsisme dan gila publikasi—yang konon melekat pada psike penulis—saat tulisan kita (entah puisi, cerpen, esai, opini, dll) diterbitkan pertama kalinya di media massa, mungkin dapat dikatakan terjadi pula saat buku kita pertama kali diterbitkan.
Tetapi, proses kreatifku melampaui itu semua, ada dinamika psikis, tetapi juga ada (yang dominan) kehendak ideologis—saoal pandangan hidup, soal pilihan, dan soal konsekuensi!
Hasil studi yang kutuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besarku untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, aku kembali berusaha melanjutkan usahaku untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.

Yang aku lanjutkan sebenarnya adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisiku (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional—di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik—FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individualku yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat aku terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisiku sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.

Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya aku masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsiku, pada hal skripsiku juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS)—dan pada waktu itu pemerintahan Chavez juga telah berjalan 5 tahun. Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela, atau aku yang memang belum begitu peduli.

Dan karena kondisi itu, aku merasa bahwa aku terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kepengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, aku lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah aku lakukan saat menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.

Itulah yang kemudian mendorongku untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme-neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable dan compatible di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.
Tetapi, mungkin yang kulakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawanku lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga aku, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan aku seperti kembali menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.
Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangatku, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.

Apa yang kulakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan itu akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungiku untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Secara pribadi, terus terang aku tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang kulakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagiku untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang aku habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasanku di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.[1]

Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin aku hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang aku geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta, UI, Mas Nur Imam Subono, bahkan mengakui dan mengatakan padaku bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.

Inilah yang membuat aku agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidupku—biarlah aku dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: aku tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.
Dalam proyek ini, mungkin aku akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peranku sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utamaku adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.

Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa aku menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksudku adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan aku memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi!!

Hugo Chavez tidak sendirian, karenanya buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” akan menyusul. Buku kedua ini masih merupakan dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat di Nikaragua, sebuah negara di kawasan Karibia. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian awal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.

Ah, betapa sombongnya di sini jika kukatakan bahwa aku ingin karya-karya tersebut mengisi kekosongan literatur alternatif dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi kuakui bahwa karya-karyaku bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah aku ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Beberapa waktu lalu, selama beberapa hari, rubrik internasional media massa negara-negara di di muka bumi dihiasi berita tentang kemenangan Cristina Fernandez, perempuan yang pada tahun 1970-an aktif di organisasi Tendensi Revolusioner Argentina. Perempuan ini menang karena pendukung utamanya adalah “kaum papa” di Argentina. “Kemenangan presiden baru Argentina adalah kemenangan seluruh perempuan Amerika Latin,” kata Presiden Venezuela Hugo Chaves.[2] Hugo Chavez termasuk salah satu tokoh presiden tetangga yang pertama kali mengucapkan selamat, selain Lula Da Silva presiden Brazil. Hugo Chavez selama ini memimpin perlawanan terhadap AS dan neoliberalisme di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Fernandez terpilih dan akan menggantikan suaminya yang telah menjadi presiden yang cukup berhasil, juga sama radikalnya dengan Chavez, Morales, Ortega, dan tokoh-tokoh lainnya di kawasan ini. Suaminya adalah Neztor Kirchner yang pada 2005 menyatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas (FTAA) adalah kebohongan, dan bahkan ia menolak membayar utang yang selama ini digunakan lembaga imperialis untuk menjerat negaranya. Sulit bagi Fernandez untuk berbeda dalam garis kebijakannya dengan suaminya, apalagi dua hati dan pikiran (Kirchner dan Fernandez sebagai suami-istri) telah terpaut sejak keduanya kuliah bidang Hukum dan menjadi aktivis.

What’s next? Mempelajari kisah-kisah perlawanan—juga kepahlawanan—itu “asyik”: sebagaimana mahasiswa Hubungan Internasional (HI) yang selalu interested untuk mempelajari Negara-negara lain. Menulis kisah-kisah perlawanan itu menarik. Menulis para pemberani menarik—juga untuk mengumpat para pengecut seperti elit-elit negeri kita Indonesia yang, karena neoliberalisme, rakyatnya semakin sengsara. A Luta Continua!

“Revolusi bukanlah Chavez… Revolusi akan terjadi dengan atau tanpa dia. Chavez adalah suara dari rakyat Venezuela, tetapi rakyat Venezuela sendirilah yang akan mengubah Negara ini. Kami mengikuti ide Simon Bolivar dan gerakan proyek Bolivarian di Amerika Latin!!!”
(MERCADO, Seorang aktivis Lingkaran Bolivarian)


Jember, 15 November 2007


¥ Dipropagandakan dalam cara Bedah Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL”, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP UNEJ, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (FISIP UNEJ), Kamis 15 November 2007.
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).

[2] “Kaum Papa Dukung Fernandez: Kebijakan Ekonomi Suaminya Akan Diteruskan”, Kompas, Rabu 31 Oktober 2007

Sabtu, 10 November 2007

UNDANGAN TERBUKA SARASEHAN "SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN (?)"

JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL
(J.A.M.A.N)
Koordinator Wilayah Jawa Timur
=====================================================

UNDANGAN TERBUKA

Isu Kepemimpinan Nasional terus merebak di mana-mana. Kaum muda dan kalangan gerakan juga menuntut adanya KEPEMIMPINAN KAUM MUDA. Sejauh mana kesiapan dan efektifitas kaum Muda memimpin negeri ini?

J.A.M.A.N Jawa Timur Mengundang Bapak/Ibu/Kawan untuk hadir dalam SARASEHAN “SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN (?)”
yang akan kami selenggarakan pada:

Hari/Tanggal:
Selasa/20 November 2007

Jam:
10.00 WIB-selesai

Tempat:
Rumah Makan “TAMAN HAPSARI”
Depan Gedung Grahadi SURABAYA

Pembicara:

Gigih Guntoro,
Pengurus Pusat Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Jakarta;

ERLANGGA PRIBADI,
Pengamat Politik dan Staf Pengajar FISIP Universitas Airlangga (UNAIR SURABAYA);

Romo Gani,
Agamawan

Faslil Fuad,
Ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah Jawa Timur;

Tino Rahardian,
Ketua Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) Jawa Timur,

Amiruddin Mutaqin,
Aktifis Lingkungan Hidup (FOSSIL)


Kami jarapkan kehadiran Bapak/Ibu/Kawan/Saudara/I dimanapun anda berada, demi lancer dan subtansialnya acara tersebut.


Surabaya, 10 November 2007



Rudi
A.N. Panitia

Rabu, 31 Oktober 2007

PERNYATAAN SIKAP

PERNYATAAN SIKAP
Tentang Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia 28 – 30 Oktober 2007
Di Hotel Sahid Jaya Jakarta

Pertemuan Nasional Forum Dialog Pemuda Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28-30 Oktober 2007, dan mengambil Tema ”The New Deal” Membangun Kesepahaman Baru Pemuda Indonesia, yang dihadiri oleh Kelompok – kelompok Pemuda dan Mahasiswa. Ternyata sudah mengingkari semangat awal perjuangan kaum muda Indonesia yang berkarakter progresif-revolusio ner dan pro kerakyatan.Setelah kami mengikuti rangkaian acara tersebut, kami memandang bahwa:

1. Roh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang sejatinya adalah Anti Penjajahan (Kolonialisme- Imprialisme) , telah diturunkan kualitasnya oleh forum ini menjadi sekedar peringatan simbolik yang melegitimasi kekuasaan penjajahan gaya baru neoliberalisme.

2. Pertemuan ini yang mengambil lokasi di Hotel Sahid Jaya Jakarta, dengan fasilitas cukup mewah dan menghabiskan banyak dana, ternyata dalam pembahasannya masih sangat jauh dari kondisi sosial rakyat yang masih melarat dan tertindas. Forum ini tidak memberikan solusi jalan keluar yang konkret atas krisis kesejahteraan yang sedang dialami rakyat Indonesia.

3. Forum ini yang seharusnya dapat memberikan pencerahan kesepahaman baru bagi kaum muda, memberikan perubahan baru dan sekaligus merumuskan gerakan baru kaum muda, justru hanya menjadi alat legitimasi munculnya RUU Kepemudaan.

4. Forum ini telah menggiring peserta untuk bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menurut kami, langkah ini sungguh-sungguh keliru, karena pemerintahan SBY-JK sudah terbukti menjadi agen dan kaki tangan neoliberalisme yang telah GAGAL membawa perubahan baru bagi rakyat Indonesia yang lebih Adil, Sejahtera dan Demokratis.

Dengan pandangan kami tersebut diatas, maka kami menyerukan:

1. Menolak RUU Kepemudaan dan membuat RUU Kepemudaan baru yang lebih demokratis dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua organisasi kepemudaan, termasuk organisasi kepemudaan yang berbasiskan mahasiswa.

2. Membentuk wadah persatuan baru bagi kaum muda Indonesia.

3. Menolak hadir dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden.

4. Meminta kepada panitia ”Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia”, untuk tidak mencantumkan nama organisasi kami kedalam semua keputusan-keputusan forum tersebut. Dan kami tidak bertanggungjawab atas semua keputusan yang dikeluarkan oleh forum tersebut.

Kami juga menyatakan kepada seluruh peserta Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia dan rakyat Indonesia seluruhnya bahwa: Pemerintahan SBY-JK GAGAL MEMBAWA PERUBAHAN BARU MENUJU KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT INDONESIA!

Demikian pernyatan sikap ini kami tuliskan, demi kemenangan kedaulatan rakyat seutuh-utuhnya. Semoga sejarah perjuangan rakyat memberikan jalan keluar bagi kemenangan kemanusiaan dan kaum tertindas dengan Ridha Tuhan Yang Maha Esa.

MERDEKA!BANGUN PERSATUAN KAUM MUDA UNTUK PERUBAHAN BARU!

Jakarta, 30 Oktober 2007

Kami yang mendukung:
Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI)
Gerakan Mahasiswa Nasionalis Kerakyatan (GMNK)
Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN)
BEM-STIAMI
BEM- UNIJA
BEM-STAINUKB UIJ
Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM)

Contact person:Tino Rahardian/GMPI (081 333 333 216)

"Adillah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan!"
Jalan Baru Menuju Perubahan Baru!Bangun Persatuan Nasional, Rebut Demokrasi dan Kesejahteraan!

PEREMPUAN DAN POLITIK

G 30 S/PKI dan Hancurnya Politik Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Sudah 42 tahun peristiwa yang disebut G 30 S/PKI itu berlangsung. Namun luka sejarah dari tragedi itu masih membekas hingga sekarang. Betapa tidak, dalam tragedi itu tidak hanya terjadi pembantaian massal atas kurang lebih 500.000 orang yang dituduh antek G30S/PKI, serta awal berdirinya rejim militeristik orde baru. Lebih daripada itu, tragedi tersebut juga merupakan awal hancurnya politik kaum perempuan.
Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa orde baru. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.

Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.

Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.

Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.

Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.

Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.

Bahkan ketika kita bicara mengenai gejolak politik di Myanmar, mengesampingkan perempuan bernama Aung San Suu Kyi adalah hal yang mustahil. Karena lewat pemikiran dan perlawanannya, gerakan pro demokrasi di Myanmar dibawah perlawanan para biksu memiliki keberanian untuk melawan Junta Militer.
Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.

Nah, mestinya di era reformasi ini kaum perempuan bisa kembali bangkit dan menunjukkan kemampuan pada dunia bahwa tanpa perempuan peradaban manusia tak akan pernah ada. Belenggu-belenggu yang ditancapkan dalam kening perempuan melalui politik massa mengambang mestinya sudah hancur lebur tergantikan perempuan yang anti penindasan. Sehingga mampu menumbuhkan kembali feminitas sebagai sebuah ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan sebagai lawan dari maskulinitas yang artinya sebuah penyelenggaraan ideologi dengan repesif, keras, macho dan top down.

Tapi apa lacur. Kehidupan politik kaum perempuan tak jauh beda ketika rejim orde baru berkuasa. Memang banyak perempuan yang tak lagi aktif di PKK, Dasa Wisma, serta organisasi perempuan bentukan Orba. Tapi kebanyakan mereka tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan. Sungguh ironis!***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Penulis Lepas media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), KOMPAS edisi Jatim, SURABAYA PAGI, RADAR SURABAYA, KORAN PAK OLES (KPO), BANJARMASIN POST, BATAM POS, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, www.cybersastra.net, dll.
Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah Blok D-23 Pamekasan-Madura 69371.
No HP : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau edyfirmansyah@yahoo.co.id

KAUM MUDA SEBAGAI AGEN BUDAYA TANDING

Kaum Muda Sebagai Agen
Counter-Culture (Budaya Tanding)


[Dimuat di KOMPAS Jawa Timur, Senin 29 Oktober 2007)

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Juara Umum I Lomba Esai Pemuda Menteri Pemuda dan Olahraga 2007; Ketua Komunikasi Massa JAMAN.


Momentum Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum budaya tanding karena pada waktu itu kaum muda menggulirkan garis kebudayaan secara tegas. Pertama, mereka berupaya menggarisbawahi budaya persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat dengan maksud untuk membuat garis yang berbeda dari kaum tua yang feudal, yang kebanyakan mendukung hegemoni kolonialisme terhadap kalangan istana untuk melanggengkan penjajahan. Kedua, kaum muda menyatakan pandangan politiknya terhadap independensi suatu masyarakat bangsa dari penjajahan asing.
Semangat menggulirkan budaya tanding itulah yang kini harus kita warisi karena kaum muda memang dikenal sebagai kalangan yang kritis dan berani, yang kadang juga berani berbeda dari budaya mainstream yang digunakan oleh kekuasaan sebagai topeng menyembunyikan penindasan.

Tantangan Globalisasi
Dewasa ini kaum muda memang menghadapi sebuah kekuasaan global yang menginginkan kaum muda tidak bisa kritis. Dalam kapitalisme global, ada dua hal yang bertentangan dalam segi kebudayaan: antara kebutuhan rakyat dan kaum muda untuk mencari-cari kreatifitas kebudayaaan pada saat hakekat manusia adalah menyalurkan aktualisasi dirinya melalui budaya (seni, gaya hidup, sastra, dan lain-lain) dengan konsepsi dan praktek kebudayan kapitalis yang cenderung menuju proses homogenisasi—yang melanggengkan penindasan pada aras hubungan ekonomi.
Dari sinilah kemudian kita masih saja dapat menemukan kaum muda yang kritis dan tidak semata-mata menuruti apa yang diarahkan oleh kebudayaan kapitalis yang represif. Kalangan kaum muda ini menciptakan suatu kebudayaan yang bahkan mencoba mendefinsikan realitas untuk melawan kecenderungan umum yang berkembang dan dikembangkan untuk menyangga tatanan ekonomi kapitalis. Inilah yang dalam istilah kebudayaan dapat disebut counter-culture (budaya tanding).
Istilah “budaya tandingan” (counter-culture) itu sendiri berasal masyarakat Barat. Rozak, dalam bukunya yang amat berpengaruh The Making of Counter Culture, menenkankan aspek oposisi dari budaya tandingan terhadap susunan masyarakat teknokratis-kapitalis yang mendominasi kebudayaan Barat di era tahun 1960-an. Masyarakat kapitalis waktu itu dianggap koruptif karena menekankan rasionalitas yang represif; rasionalitas yang membuat manusia terasing, homeless mind, serta—sekali lagi, apa yang disebut Herbert Marcuse—one-dimensional. John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinsikan istilah “budaya tandingan” sebagai “seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat di mana kelompok itu menjadi bagiannya”.
Di Barat, para agen budaya tanding adalah kaum muda yang mengalami keresahan terhadap krisis kapitalisme yang memiskinkan dan juga dilakukan tak manusiawi dengan jalan perang. Para kaum muda ini menciptakan gaya hidup dan menciptakan produk seni, sastra, dan budaya yang kritis terhadap perkembangan kebudayaan dominan yang dianggap mengasingkan (alienating). Mereka seringkali disebut sebagai “generasi bunga” (flower generation) yang memperjuangkan kesetaraan.
Kaum muda berani menyatakan pikiran dan orientasi gerakan yang berbeda. Pertanyaan tersebut diwakili oleh syair lagu The Police yang berjudul “Born in the 50’s”: “We are the class, they couldn’t teach, cause we know better!” (Kami adalah generasi yang tak dapat mereka didik, karena kami memahami lebih baik). Budaya dominan yang menyebar dianggap tidak mampu memberikan apa-apa karena hanya dangkal dan beku, sedangkan kaum muda yang mampu merasakan dan mengetahui lebih baik ini menginginkan gaya hidup yang berbeda.
Di Indonesia budaya tanding juga menjadi ciri khas dari gerakan kaum muda yang dimuali dengan kemampuan untuk merasakan kontradiksi yang muncul. Gerakan mahasiswa melawan Orde Baru merupakan fakta sejarah yang paling menonjol. Pengaruh budaya tanding tahun 1960-an di Barat juga berimbas pada kaum muda yang mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan ini. Gerakan kaum muda pun harus selalu tampil dalam setiap sejarah di mana kebudayaan dijadikan topeng kekuasaan yang menindas.
Sekarang ini, banyak orang yang pesimis pada kaum muda. Mereka diarahkan oleh media dan idola semacam “artis-selebritis” yang hanya menegaskan peradaban gosip, peradaban lisan yang selama berabad-abad membuat rakyat nusantara dibodohi oleh kekuasaan (feodal) di istana. Idola itu menghambat kemajuan peradaban literer (baca-tulis) yang diwariskan oleh aktivis pergerakan melawan penjajah melalui pers dan kesusastraan.
Pahlawan masa lalu mengajarkan pentingnya pena dan organisasi dalam menjawab perubahan dalam masyarakat kita yang berada dalam cengkeraman penindasan. Kebesaran R.A.Kartini, Ki Hajar Dewantoro dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Mas Marco Kartodikromo, Tirto Adisuryo, Semaoen, Haji Misbach; lalu Sutan Takdir Ali Syahbana (STA), Chairil Anwar; lalu Pramoedya Ananta Toer, WS. Rendra, Umar Khayam, Widji Thukul, dan lain-lain; semua menegaskan cita-cita pencerahan dan pembebasan rakyat melalui tulisan-tulisan dan gerakan kebudayaan.
Pahlawan masa kini justru membodohi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dan menggiring mereka pada kehidupan satu dimensi: Pasar. Sekarang ini, di tengah-tengah masyarakat yang masih menggunakan bahasa dan kata-kata sekedar untuk menghafal nama-nama pemain sinetron dan sepakbola, sekedar untuk melihat berapa persen diskon harga baju yang lagi “ngetrend”, para pahlawan sejati masa kini karus mendekatkan bahasa dan sastra pada dunia kemanusiaan.
Lalu di manakah celah bagi munculnya budaya tanding di era sekarang ini? Kita harus percaya bahwa sejarah berjalan dengan berbagai macam konjungturnya. Akan ada epos di mana kaum muda dapat tampil kembali saat sistem yang dijalankan oleh kaum tua dan konservatif mengalami kebuntuan. Mereka akan memainkan perannya, sebagaimana selalu terjadi dalam sejarah.***

KAUM MUDA DAN LINGKUNGAN HIDUP

Gerak Pikir dan Tindak Kaum Muda
dalam Memandang Kehancuran LH & SDA


Oleh :
Khalisah Khalid
Penulis saat ini bekerja sebagai Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Jakarta, sekaligus aktif di Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia



Gagalnya Arus Utama Lingkungan Hidup di Indonesia
Selama satu dasawarsa, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumber daya alam demi alasan pertumbuhan perekonomian. Sayangnya, paradigma ekonomi sentries dalam pembangunan ini, telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di Negara ini, digadaikan kepada kekuatan modal, dengan menjual ide globalisasi. Selama Pengurus negara menempatkan sumber daya alam (SDA) semata-mata barang eksploitasi sebesar-besarnya guna mendapatkan devisa sebanyak-banyaknya, pelanggaran HAM akan terus meningkat tak terselesaikan. Banyaknya perijinan eksploitasi dimiliki pelaku industri ekstraktif membuktikan pengurus negara mengabaikan fungsi pentingnya alam melayani kebutuhan ekologis manusia.

Globalisasi sebagai jargon yang telah dihembuskan oleh neoliberalisme paling tidak telah menggunakan perangkat-perangkat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir negara-negara maju yang konon katanya “sudah” mengalami masa “tradisional” sehingga saat ini sudah harus bergerak pada arus yang mengglobal dengan cara menggenggam dunia dengan hukum pasar dan dikarenakan globalisasi dimainkan oleh kekuatan pemilik modal hingga untuk masuk kedalam satu negara, tidak segan-segan mengebiri kekuatan negara lewat lembaga keuangan seperti World Bank, ADB, IMF, serta perusahaan Trans Nasional Corporates (TNc’s) dan Multinasional Corporates (MNcs). Lewat agenda privatisasi dan liberalisasi, kekuatan negara perlahan telah diambil alih oleh kekuatan kapitalis, antara lain privatisasi air, liberalisasi pertanian dan juga liberalisasi di sector perikanan.

Perubahan bukan tidak pernah ingin dilakukan oleh bangsa ini untuk keluar dari krisis yang melandanya, mulai dari masa revolusi hingga reformasi, angin perubahan dihembuskan dengan kelompok muda yang menjadi sandaran utamanya. Tapi sayangnya perubahan dalam konteks memandang lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak dengan serta merta membawa perubahan yang signifikan, khususnya bagi rakyat yang selama ini justru banyak berkorban untuk perubahan.

Ada beberapa sebab utama mengapa perubahan negeri ini didalam mengurus negaranya tidak pernah sesuai dengan harapan rakyat, antara lain:

Pertama, pasca reformasi 1998 kelompok pro demokrasi dan gerakan social progressif gagal mendeterminasi arah pembangunan lingkungan hidup, sementara kekuasaan justru dibajak oleh kelompok-kelompok status quo yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi liberal yang meninggalkan agenda-agenda dan kepentingan rakyat kebanyakan, termasuk mengabaikan semua tuntutan masyarakat korban akibat otoritarianisme orde baru.
Kedua, transisi demokrasi justru lebih menjadi kuda tunggangan bagi kekuatan-kekuatan pro pasar bebas (kapitalisme neo-liberal), ketika kelompok pro perubahan tidak ada signifikansinya terhadap cita-cita demokrasi kerakyatan. Sebab Indonesia masih menjadi bangsa jajahan melalui sistem penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh negara-negara industri maju dan lembaga keuangan Internasional yang mengakibatkan kemiskinan dan bencana ekologi terus terjadi di Indonesia.
Ketiga, Gerakan lingkungan hidup berada di jantung perlawanan atas penghisapan penjajahan baru (eksploitasi sumber-sumber kehidupan), dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme lainnya (buruh, nasionalis, sosialis dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada kekuatan massa kritis yang massif, terorganisir, terpimpin untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.

Ketiga penyebab utama inilah yang menggambarkan Indonesia menuju proses penghancuran karena lingkungan hidupnya dirusak, dan kebangkrutan karena sumber daya alamnya diobral murah.

Gagal dan Bangkrutnya Rezim Sumber Daya Alam
Sejak bangsa ini dipimpin oleh kaum tua, watak yang mesti diingat adalah watak eksploitatif. Ini bisa kita lihat dari cara pandang pemimpin didalam membangun bangsanya dalam kurun waktu yang cukup panjang, rezim tua menjadi potret rezim yang hanya mewariskan kehancuran dan kebangrutan. Inilah yang dinamakan cara pandang yang eksploitatif, karena didalam prinsipnya yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi yang bersifat akumulatif, dan tidak terdistribusi secara adil dan merata kepada rakyat, dan tentu saja mengabaikan keberlanjutan kehidupan generasi berikutnya.

Dimulai dari masa orde baru, Soeharto menempatkan landasan pembangunan tepat pada cita-cita mengejar pertumbuhan ekonomi. Undang-undang yang pertama digulirkan adalah undang-undang penanaman modal asing (PMA) yang memberikan konsesi pertambangan kepada PT. Freeport Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang, 30 tahun lamanya, tanpa pernah ada renegosiasi terhadap kontrak karya disepanjang perjalanan PT. Freeport beroperasi mengeruk sumber daya alam di Papua.

Di sektor migas, dampak liberalisasi di sektor migas dikuasai 85% oleh asing dan hanya 15% dikuasi oleh Pertamina. Sektor pertambangan merupakan industri paling tertutup yang melebihi rahasia negara, dimana rakyat tidak bisa mengakses informasi terkait dengan sumber daya migas yang tersedia. Industri ekstraktif ini kemudian menjadi primadona setelah kekayaan alam dari sektor hutan mulai menipis. Dampak yang ditimbulkan dari industri ekstraktif ini bukan hanya kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga tindak pelanggaran hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun sipil dan politik (sipol). Di sektor ini juga sangat kental dengan bisnis militer dan polisi, terutama dengan jasa pengamanan (security) bagi industri ekstraktif.

Setelah jatuhnya masa orba dan berganti menjadi masa reformasi, paradigma dalam melihat persoalan lingkungan hidup bahkan cenderung lebih eksploitatif. Ini bisa dilihat dari produk undang-undang baru yang dihasilkan antara lain UU Penanaman Modal Asing yang menambah panjang hak investor untuk menanamkan invstasinya di Indonesia, tidak kurang dari 90 tahun lamanya dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang lebih berpihak kepada modal dan menegasikan hak politik rakyat miskin atas ruang.

Krisis berbangsa yang multidimensional dan kondisi riil yang dihadapi oleh bangsa inilah yang kemudian mendorong kegelisahan kaum muda yang concern bekerja pada isu lingkungan hidup untuk merubah strategi dan orientasi gerakannya didalam memperjuangkan keberlanjutan kehidupan lewat sebuah gerakan politik alternatif, yang akan memberikan ruang kepada kaum muda untuk memimpin Indonesia dan keluar dari krisis kedaulatan dan keadilan ekologi yang diakibatkan oleh salah urusnya negara didalam mengelola sumber daya alamnya.

Saatnya Kaum Muda Memimpin Indonesia
Kita tentu tidak mau lagi dipimpin kelompok dari rezim yang eksploitatif ini, dan perubahan ini hendak diciptakan oleh sejumlah aktifis muda lingkungan hidup yang selama ini lebih banyak bermain pada ranah advokasi, mencoba mendobrak tradisi lama, dimana tidak cukup hanya dengan gerakan advokasi untuk merubah sebuah kebijakan politik. Kita berkali-kali mengalami kekalahan didalam memperjuangkan konflik sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam selalu dimulai dari kebijakan politik.

Melihat kondisi bangsa Indonesia yang berada diambang kehancuran dan kebangkrutan akibat salah urus didalam mengelola sumber daya alam, kaum muda yang selama ini bergerak didalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, yang selama kurang lebih 26 tahun telah bermain didalam ranah advokasi kebijakan, menjadi salah satu kelompok civil society yang belakangan ini secara serius tengah mendorong lahirnya kekuatan politik alternatif rakyat, yang bekerja berdasarkan platform perjuangan serta konsep alternatif tentang penataan pengaturan kehidupan masyarakat yang komprehensif dan menyeluruh. Tujuan politiknya tidak saja berusaha mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, tetapi berusaha mendeterminasi perubahan tatanan politik-ekonomi dan sosial serta perubahan paradigma dalam penataan kehidupan masyarakat.


Menghadapi putaran pergantian rezim yang sebentar lagi akan terjadi, kita tentu tidak berharap kekuatan status quo yang dikuasai oleh kelompok tua atau kelompok muda yang berpikir konvensional dalam melihat lingkungan hidup dan sumber daya alam. Untuk itu, kekuatan politik alteratif baru dengan bercirikan meletakkan tonggak-tonggak kekuatannya pada kader-kader muda dan kader-kader perempuan yang akan menjadi motor dalam gerakan pembaharuan lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang mendesak, sehingga agenda perubahan mendasar bagi bangsa ini untuk mewujudkan keadilan ekologi dan lingkungan dapat dicapai.

Ditengah-tengah apatisnya rakyat terhadap sebuah partai politik, kita tentu yakin dan ingin membuktikan bahwa kita dapat menjawab tantangan realitas politik ini dengan sebuah kekuatan baru, kaum muda yang berpikir progressif untuk membuaat perubahan, dan kaum muda yang berorientasi jangka panjang untuk memikirkan konsep pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Semoga kaum muda progressif ini dapat mengambil kepeloporan untuk mewujudkan tantangan atas perubahan bangsa ini.***

Selasa, 02 Oktober 2007

PERNYATAAN SIKAP
JARIANGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL

(JAMAN)

============================================

Mengutuk Junta Militer Myanmar
Tolak Kekerasan oleh Junta Militer di Myanmar !!!
Galang Solidaritas untuk Oposisi Demokrasi Sipil Rakyat Myanmar!!!


Salam Kemandirian,

Sepanjang muncul penindasan dan kebijakan yang menyengsarakan, ternyata reaksi protes dari rakyat juga akan selalu muncul. Perlawanan rakyat seakan menjadi gejala universal akhir-akhir ini. Bukan hanya di Indonesia yang tiap hari ada perlawanan dan protes dari rakyat, tetapi juga di Myanmar yang bahkan diperintah oleh rezim yang anti-demokrasi.

Hari-hari terakhir ini, rakyat Myanmar melakukan protes menentang kenaikan harga BBM sebesar 500 %, di mana pada akhirnya aksi memakan korban. Kenaikan BBM sebesar itu sungguh luar biasa menyengsarakan. Bayangkan, di Indonesia saja yang tingkat kenaikannya 100% saja telah menimbulkan keresahan di mana-mana.

Tapi apa lacur, pemerintahan junta militer dengan sadisnya menghadapi protes rakyat dengan cara-cara kekerasan. Diketahui 9 orang tewas dan ratusan orang ditangkap oleh junta militer karena dianggap tidak mematuhi peraturan yang dibuat oleh Junta Militer Myanmar. Dan itu bukanlah kekerasan yang pertama kali kejamnya. Dulu pada tahun 1988, sekitar 3000 orang dibantai saat demonstrasi massa. Maka dari itu, tidak seorangpun dapat meragukan kebrutalan rejim ini dan apa yang rejim ini mampu lakukan di dalam usahanya untuk menekan gelombang protes.

Junta Militer Myanmar, yang sudah berkuasa selama 19 tahun, jelas-jelas masih ingin melanggengkan kekuasaan politiknya di Myanmar. Sejarah junta militer Myanmar dimulai dengan kudeta yang dipimpin Ne Win pada tahun 1962 yang kemudian berusaha menerapkan model Maois RRC, dengan melakukan nasionalisasi tanah, industri, perdagangan, tetapi tidak terjadi proses demokratisasi untuk memastikan sosialisasi proses produksi melalui kontrol demokratis pada rakyat. Kekuasaan tidak berada di tangan rakyat, tetapi di tangan segelintir elit birokrasi yang kebanyakan adalah militer.

Yang harus diperjelas di sini adalah kenapa junta militer yang anti-demokrasi dengan tindakan kekerasan yang ada (yang kebanyakan juga ditutup-tutupi) terjadi? Kepentingan negara-negara mitra kapitalis tentu saja adalah sebab utamanya, disamping karena gerakan oposisi demokratik tak juga mampu menyusun strategi-taktik perjuangannya. Hiangga saat ini di belakang junta militer Myanmar ada Cina, Rusia dan India. Negara-negara ini memiliki kepentingan modal yang sangat besar dengan menanamkan modalnya di Myanmar. Bahkan para kapitalis di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura juga memiliki kepentingan yang sama dalam hal ekonomi. Para pengusaha Thailand menampung dan memasok kebutuhan pokok Myanmar. Petronas (Malaisya) pun menggantikan posisi Premier, perusahaan minyak Inggris, untuk mengerjakan proyek jalur pipa minyak di negeri yang dikuasai junta militer itu. Kenyataan ini yang diduga menjadi sebab mengapa ASEAN tidak begitu keras memperlakukan junta Myanmar.

Dari kejadian yang terjadi di Myanmar tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa di manapun gerakan rakyat akan terjadi saat rezim melanggar hak-hak asasi manusia. Bahkan aksi yang melibatkan ribuan Biksu menunjukkan bahwa kalangan agamawan yang selama ini dianggap sebagai kekuatan moral (moral force) terpaksa harus turun-tangan dalam menghadapi wilayah politik yang menggerus wilayah kemanuaasaiaan.

Konon dalam ajaran Budha, semangat sosialisme juga bisa kita temukan. Semangat inilah yang membuat para Biksu bergerak. Lihatlah misalnya, dalam ajaran Budha dikenal laku-laku: kebaikan keseluruhan, pengekangan diri, kemurahan hati, penghormatan dan keramahan penuh kasih. Sosialisme dharma berpandangan semua mahluk dihadapan Budha sama. Budha sangat gigih mengritik kapitalisme serta kediktatoran politik, karena keduanya mengancam kehancuran dunia.

Dalam agama Budha ada kisah bahwa kedermawanan merupakan kebajikan terakhir yang perlu disempurnakan sebelum mencapai nirwana. Ajaran Budha menekankan bahwa belas kasih hidup dalam semangat kebersamaan akan menghilangkan ketidak adilan sosial. Ajaran Hindhu Ahimsa menghubungkan antara keadilan dan kesejahteraan. Bahwa amal merupakan jalan untuk menciptakan keamanan masa depan dan bahwa derma menjamin kesejahteraan.

Oleha karena ini, kami Jaringan Nasional untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) menyatakan:

1. Menuntut mundur junta militer Myanmar dan segera dibentuk pemerintahan demokratis yang berasal dari kelompok demokrasi;

2. Menolak cara-cara kekerasan dan tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer dan mengadili perbuatan HAM selama ini di depan mahkamah internasional;

3. Mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung gerakan oposisi demokratik rakyat Myanmar dalam menciptakan tatanan yang demokratis, adil dan makmur.

Jakarta, 29 September 2007

JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL (JAMAN),

Nurani Soyomukti

Ketua Komunikasi Maassa

Minggu, 30 September 2007

TIGA JALAN, SATU TUJUAN


Tiga Jalan,
Satu Tujuan

Oleh:
Ragil Nugroho, S.Fil
(Sejarawan dan Filsuf Swasta,
Alumus Fakultas Filsafat UGM)

Hakikat Manusia
Berbicara tentang kemandirian berarti membicarakan tentang kebebasan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, terlebih dahulu dibutuhkan uraian tentang hakikat manusia. Diharapkan dari penjelasan tersebut akan diketahui sebab-sebab yang menyebabkan manusia bisa memiliki dan sekaligus bisa kehilangan kebebasannya.

Manusia Antara Apa….
Manusia bukan hanya “apa”. Apa maksud kalimat tersebut? Dalam bahasa Indonesia kata “apa” digunakan untuk bertanya tentang benda. Misalnya: “Kursi itu terbuat dari apa?” atau “Meja itu terbuat dari apa?” atau “Itu padi jenis apa?” Dll. Sehingga kata “apa” tidak akan cocok jika digunakan untuk bertanya tentang manusia. Misalnya: “Apa Iwan itu?” Pertanyaan tersebut menurut kaidah kebahasaan jelas tidak tepat.
Kalau begitu, apakah manusia bukan benda material?
Badan manusia—dari ujung rambut sampai ujung kaki—jelas benda material. Sebagai barang material ia harus mengikuti hukum-hukum barang material, yang artinya badan manusia sebagaimana benda-benda yang lain juga mempunyai keterbatasan. Sebagai contonya, organ-organ manusia bisa rusak sebagaimana benda.

…Dan Siapa
Akan tetapi, manusia bukan hanya “apa” melainkan juga “siapa.” Kata “siapa” ini hanya bisa dilekatkan pada manusia dan tidak bisa dilekatkan pada makhluk yang lain. Misalnya: “Siapa kambing itu?” Pertanyaan tersebut bila jelas tidak tepat dalam kaidah kebahasaan. Akan tetapi, pertanyaan ini akan tepat: “Siapa Iwan?” Karena apa? Karena kata “siapa” tersebut dilekatkan pada manusia yang bernama Iwan.
Dari kata “siapa” tersebut secara sadar maupun tidak sadar manusia telah membedakan diri dengan makhluk yang lain. Perbedaan tersebut menyangkut akal budi yang dimilikinya. Hewan mempunyai badan sebagaimana manusia, tapi mereka tidak mempunyai akal sehingga tidak layak disebut “siapa”. Meja, kursi dan lain-lain merupakan benda-benda material seperti halnya tubuh manusia, tapi mereka tidak mempunyai akal sehingga tak layak disebut “siapa”. Hanya manusia-lah yang layak disebut “siapa”.

Manusia Sebagai Siapa
Sebagai “siapa” manusia mempunyai kebebasan yang tak terbatas. Dengan akal budi yang dimilikinya ia bisa menentukan pilihan sesuai dengan yang diinginkannya. Bisa dikatakan manusia mempunyai kebebasan yang tak terbatas.
Dalam ranah filsafat kebebasan manusia memang menjadi pokok perdebatan yang terjadi hingga kini. Dalam filsafat Islam misalnya, terdapat silang pandangan antara kaum Mu’tazilah dan Jabariah mengenai kebebasan manusia. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kebebasan manusia tak terbatas. Dengan akal yang dimilikinya ia bisa menentukan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, dengan kebebasan yang dimilikinya manusia harus mempertanggungjawabkan kebebasannya tersebut. Sedangkan kaum Jabariyah berpendapat sebaliknya, bahwa kebebasan manusia adalah terbatas karena harus tunduk pada kemauan Tuhan. Dalam pandangan mereka manusia tak ubahnya seperti robot, yang bisa bergerak kalau digerakkan atau dengan kata lain apa yang dijalani manusia di bumi ini sudah ditentukan oleh Tuhan.
Perdebatan tentang kebebasan juga terdapat dalam filsafat Barat. Filsuf eksitensialisme seperti Sartre menganggap kebebasan manusia tidak terbatas. Manusia merupakan subjek bukan objek. Pandangan mereka ini kemudian berimbas pada penegasian terhadap Tuhan, karena sebagai subjek manusia tak membutuhkan kehandiran Tuhan. Sedangkan para filsuf idealis seperti Plato menganggap manusia hanya objek yang tunduk pada kemanuan sang Subjek (Tuhan).

Kenyataan Tentang Kebebasan
Kebebasan manusia memang tak terbatas, tetapi sering kali manusia tidak bebas. Sebagai contoh adalah kehidupan para budak. Sebagai manusia sebetulnya ia mempunyai kebebasan tetapi dalam kenyataannya ia tidak bebas karena hidupnya ditentukan pemilik budak. Begitu juga sebuah bangsa yang sebetulnya mempunyai kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri, tetapi bangsa yang terjajah tidak akan mempunyai kebebasan seperti itu.
Itulah kenyataannya, seringkali kebebasan itu terpasung, baik oleh sebab dari dalam maupun dari luar. Keterpasungan ini menyebabkan manusia tidak mampu untuk mandiri. Keterpasungan itu pula yang menyebabkan sebuah bangsa kehilangan kemerdekaannya.
Lalu apa yang bisa dilakukan?

Tiga Jalan, Satu Tujuan
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan manusia mempunyai kebebasan tetapi seringkali kebebasannya terampas. Adanya kenyataan ini mengharuskan manusia harus berjuang agar ia bisa memperoleh kebebasannya sendiri sehingga bisa menentukan segala keinginannya. Begitu pula dengan sebuah negara.
Lantas apa yang bisa dilakukan manusia untuk memperoleh kebebasannya?
Ada tiga jalan yang bisa ditempuh. Dalam menguarikan tiga jalan tersebut penulis akan menggunakan pemaparan yang digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya ada tiga macam revolusi agar manusia bisa bebas. Pertama, revolusi sebagai perjuangan fisik. Tokoh rekaan dalam karya Pramoedya, khususnya dalam masa-masa revolusi kemerdekaan seperti dalam Perburuan, Di Tepi Kali Bekasi, Dendam, Keluarga Gerilya, Mereka Yang Dilumpuhkan, terlibat dalam sebuah perjuangan yang berbentuk revolusi fisik rakyat Indonesia melawan kolonialisme. Lewat tokoh-tokohnya tersebut Pram ingin mengatakan bahwa kemerdekaan bukanlah suatu barang gratisan yang bisa diperoleh begitu saja, melainkan harus diperjuangkan bahkan sering meminta pengorbanan yang paling besar yang dimiliki oleh manusia.
Revolusi kedua, yaitu revolusi sebagai perjuangan batin. Revolusi dalam makna ini, menurut Pramoedya, adalah sebuah revolusi yang harus bisa mengubah jiwa manusia dari jiwa yang terjajah menjadi jiwa yang merdeka. Revolusi jiwa ini meliputi perjuangan manusia untuk memperoleh keadilan, bebas dari ketakutan, dan memiliki kesamaan hak, sehingga bisa lahir menjadi manusia yang benar-benar merdeka jiwanya.
Adapun revolusi ketiga yaitu revolusi sosial. Dalam pemikiran Pramoedya, keadaan masyarakat perlu diubah melalui sebuah revolusi sosial. Yaitu, mengubah tatanan masyarakat yang menindas menjadi masyarakat yang membebaskan. Ini berarti, revolusi pembebasan nasional saja tidak cukup. Menurutnya, revolusi pembebasan nasional belum bisa menghasilkan sebuah perubahan yang bersifat fundamental, yang kemudian untuk selanjutnya dapat mengubah Indonesia menjadi rumah kemanusiaan yang diharapkan—hanya bersifat reforisme belaka. Dalam tulisan yang berjudul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pram mengatakan dibutuhkan sebuah revolusi proletariat untuk menyempurnakan revolusi pembebasan nasional. Tujuan revolusi ini adalah merebut alat produksi dari tangan borjuasi sehingga bisa mengubah masyarakat kapitalis yang menghisap menjadi masyarakat sosialis yang membebaskan.
Bagi Pram, ketika revolusi berjalan secara dialektik—dan apabila ketiga revolusi ini berhasil—maka akan terciptalah rumah kemanusian yang ideal, yaitu sebagai rumah yang bisa menaungi manusia tanpa adanya penindasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang diatapi oleh kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, yang berdiri di atas dunia baru: dunia yang dibangun di atas landasan keadilan yang merata.
Dengan tiga jalan di atas tersebut maka manusia/bangsa akan mencapai satu tujuan: kemerdekaan.

Kekuatan Pengubah; Memetakan Musuh
Sebelum berbicara tentang kekuatan pengubah maka terlebih dahulu diperlukan mengurai tentang kekuatan-kekuatan yang merantai kemandirian suatu bangsa, yang menurut pandangan penulis dapat dipetakan menjadi dua, yaitu sebab dari dalam dan dari luar.
Sebab dari dalam merupakan kekuatan-kekuatan di dalam bangsa itu sendiri, yang karena adanya mereka kemandirian tersebut menjadi hilang. Dalam sebuah bangsa mereka bisa direpresentasikan sebagai kelas yang berkuasa—bila mengikuti trias politika mereka tercermin dalam kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Mereka ini sebetulnya merupakan kelas yang minoritas, akan tetapi karena menguasai alat-alat produksi maka mereka menjadi dominan dalam menentukan warna pelanginya sebuah bangsa. Dalam terminologi Marxist mereka ini dikenal dengan sebutan kelas borjuasi.
Dalam sejarahnya, kelas borjuasi ini bisa dikatakan revolusioner—dalam artian mereka mampu mengubah corak produksi dan merombak tatatan masyarakat. Mereka inilah yang berhasil menumbangkan kekuasaan kelas feodal dalam masa revolusi borjuis. Kisah-kisah revolusioner mereka bisa dibaca dari buku-buku sejarah yang mengisahkan tentang revolusi Prancis, atau buku-buku sastra, misalnya karya Victor Hugo, “Si Bongkok dari Notherdam”. Dari bumi Prancis tersebut mereka menjalarkan revolusi ke berbagai tempat. Selanjuntnya, setelah mereka menjadi kelas yang berkuasa élan revolusi mereka menjadi hilang, dan mereka pun berubah menjadi kelas yang anti revolusi.
Berbicara tentang borjuasi dalam konteks Indonesia, mereka tiak dapat dipersamakan dengan borjuasi yang tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat. Borjuasi Indonesia bukanlah kelas yang lahir dengan sendirinya, mereka merupakan kelas yang tumbuh dari cangkokan. Mereka pada awalnya merupakan para feodal-feodal pada masa kolonialisme Belanda, yang karena kemuruhan hati Belanda berubah menjadi borjuasi. Sifatnya yang demikian inilah yang membuat mereka tak pernah menjadi mandiri karena tulang-tulang dalam diri mereka tak pernah beranjak dari tulang rawan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka selalu tergantung pada kekuatan yang lebih kuat agar bisa berdiri tegak, artinya mereka tak akan mampu bisa mandiri. Sehingga, berharap agar mereka mengantarkan bangsa ini menuju kemandirian sama halnya menunggu Godot.
Sekerang jelaslah siapa musuh yang pertama: Borjuasi Indonesia, yang saat ini tercermin dari pemerintahan SBY-JK beserta kroni-kroninya. Mereka inilah kepanjangan tangan dari kapitalisme internasional. Sehingga jelaslah bahwa agar tidak merintangi jalan menuju kemandirian Indonesia, mereka harus digulingkan.
Siapakah musuh selanjutnya?
Musuh yang kedua ini sudah merasuk dalam segala aspek kehidupan manusia. Wajah mereka ada dalam sistem ekonomi, politik, budaya, agama, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Sebagaimana halnya dengan Dasamuka dalam kisah Ramayana, mereka itu satu tetapi berwajah banyak. Mereka inilah yang dikenal dalam terminologi Marxist sebagai kapitalisme, yang merupakan anak kandung dari borjuasi.
Sebagaimana halnya borjuasi, sebagai sistem ekonomi mereka pada awalnya revolusioner, di mana berhasil merombak tatanan ekonomi feodal menjadi tatanan ekonomi kapitalis. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya sistem ekonomi ini akahirnya menjadi sistem yang menindas akibat ciri khasnya yang eksploitatif—baik terhadap sumber daya alam maupun terhadap kelas proletar.
Tentang sistem kapitalisme ini JJ Rousseau berpandangan bahwa sistem ini telah mencabut keadaan bahagia manusia di Taman Eden, sehingga manusia mengalami keterasingan (alienasi). Sedangkan Karl Marx mempunyai penadapat serupa tetapi lebih menekankan pada kepemilikan hal milik sebagai penyebab keterasaingan, dan perjuangan kelas sebagai jalan untuk melepaskan diri dari alienasi (istilah ini bisa dicaca sebagai ketidakmandirian). Sedangkan Gothe memberikan jalan keluar agar manusia bisa terbebas dari alienasi tersebut melalui tiga penghargaan, yaitu penghargaan kepada yang ada di bawah manusia (mineral, flora dan fauna); penghargaan terhadap Dzat yang berada di atas manusia (Tuhan dan alam akhirat); dan penghargaan kepada sesama manusia.
Di antara pendapat-pendapat tersebut di atas memang Karl Marx yang paling gigih dalam memberikan jalan keluar—baik melalui teori maupun pratek. Konsep Marx agar manusia menjadi bebas tercermin dalam karya-karyanya—baik dalam Das Kapital maupun karya-karya yang lain. Dalam karya-karya tersebut secara garis besarnya ia memaparkan bahwa manusia hidup dalam ketidakmandirian karena adanya kepemilikan pribadi. Bagi Marx agar manusia bisa kembali mandiri maka harus melakukan perjuangan kelas yang dipimpin oleh kelas proletar, dengan tujuan akhir menciptakan masyarakat komunis. Sedangkan dalam tataran praktek, konsep Marx bisa dilihat dari kerja-kerja politiknya dalam pembangunan kekuatan politik proletar pada abad ke-19. Dalam tataran praktis ini ia mengusulkan terbentuknya sebuah partai proletar.
Nah, sekarang musuh yang kedua sudah kita ketahui: kapitalis internasional, yang sekarang ini mereka mewujud dalam istilah pada aktivis dengan sebutan neoliberalisme.

Satu Kata Yang Hilang
Bicara tentang kekuatan pengubah tentu saja berbicara tentang kekuatan-kekuatan politik yang sekarang ada di Indonesia. Bila dicermati tentang kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh berkembang saat ini—dalam hal ini yang dimaksud tentang kekuatan-kekuatan politik tentu saja kekuatan yang berlawan, atau awam sering menyebutnya sebagai kekuatan opoisi—ada satu kata yang hilang dari mereka. Yiatu, “Gulingkan”. “Gulingkan” yang dimaksudkan di sini adalah “gulingkan” rezim borjuasi (SBY-JK).
Sebelum era revolusi demokratik yang terinterupsi (baca:revolusi Mei ’98) kata “gulingkan” ini menjadi kata yang sangat ditakuti baik oleh berbagai kekuatan yang berlawan maupun oleh rezim ketika itu (Soerharta, Golkar dan tentara). Sepengetahuan penulis, kata “gulingkan” pertama kali diperkenalkan oleh PRD (Partai Rakyat Demokratis), yang kemudian kata tersebut menjelma menjadi program ideologi, politik maupun organisasi mereka. Sampai pada masa pemerintahan Megawati Sukarno Putri, kata “gulingkan” ini masih ada dalam program PRD. Akan tetapi, sejak SBY-JK mulai berkuasa, kata “gulingkan” tersebut melenyap dari PRD maupun Papernas (partai yang kelihatannya dipersiapkan untuk pemilu 2009, yang merupakan gabungan dari PRD dan kekuatan-kekuatan politik yang lain)—baik menghilang dalam tataran program maupun pratek di lapangan (mungkin saja dicantumkan dalam program untuk menunjukkan bahwa mereka masih konsisten, tapi hanya untuk kalangan internal, tanpa pernah dikampayekan (propagandakan) secara luas.
Hilangnya kata “gulingkan” dari PRD rupanya juga diikuti oleh kekuatan-kekuatan politik yang berlawan lainnya. Kekuatan mahasiswa yang walaupun seringkali naif tapi cukup “berani” dalam melontarkan program politik dan metode perjuangan, saat ini sudah jarang (mungkin tidak pernah) mengangkat meneriakkan kata “gulingkan” ini. Mereka lebih sibuk mengurusi isu-isu “dosmetik” yang tidak memberikan perspektif perjuangan jangka panjang.
Kondisi yang sama juga terjadi pada organisasi-organisasi Kaum Miskin Perkotaan (KMK), yang gagal menghubungkan misalnya, antara program penggusuran dengan pengulingan rezim SBY-JK. Akibatnya, mereka hanya memperoleh “kemenangan-kemenangan kecil” yang seringkali mengilusi. Padahal, bila organisasi-organisasi KMK ini mampu menghubungkan program-program mereka dengan penggulingan SBY-JK, energi revolusi mereka sangat besar, karena di samping kaum proletar, KMK-lah yang paling banyak mendapat dampak langsung dari kebijakan SBY-JK yang menghamba pada kekuatan kapitalisme internasional. Menurut hemat penulis kegagalan organisasi-organisisasi KMK tersebut terjadi karena sebuah kekuatan yang sebetulnya bisa menjadi “picu ledak” bagi proses revolusi justru dipimpin oleh orang-orang yang moderet, yang tidak mengetahui karakter sejati dari kelas yang dipimpinnya.
Gerakan buruh pun setali tiga uang. Secara potensi massa yang bisa dikerahkan memang mengali peningkatan, tapi secara program perjuangan mereka mengalami kemunduran. Para pemimpin gerakan buruh yang sebagian besar kaum buruh berdasi ini mengarahkan gerakan buruh ke arah yang moderat. Akibatnya, seradikal apapun metode perjuangannya, tak banyak membawa dampak yang cukup berarti.
Dalam pandangan penulis, hilangnya kata “gulingkan” ini membuat rezim SBY-JK pun bisa melenggang kangkung dengan leluasa. Bisa dikatakan inilah keberhasilan dari SBY-JK dalam memoderasi program penggulingan borjuasi dari kekuatan-kekuatan politik yang berlawan yang ada saat ini.
Penulis sendiri belum bisa melihat akar penyebab dari hilangnya kata “gulingkan” tersebut. Akan tetapi, bila melihat dari perkembangan politik kekinian dapat dilihat bahwa hilangnya kata “gulingkan” lebih banyak disebabkan oleh pramagtisme dari kekuatan-kekuatan politik yang berlawan. Setelah gagal menuntaskan revolusi demokratik yang terinterupsi, kekuatan-kekuatan politik yang berlawan menjadi patah arang—disebabkan oleh kesalahan mereka dalam melihat proses kemajuan maupun kekurangan dalam perjuangan—sehingga mereka lebih memilih cara-cara yang pragmatis, yaitu parlementerisme.
Bagi penulis, jalan parlementer sama dengan kisah Musa dalam Bible maupun al Qur’an. Ketika Musa terusir dari Mesir konon kabarnya Tuhan menjanjikan pada Musa dan kaumnya “tanah yang dijanjikan”, yaitu Yerusalem. Adanya janji tersebut membuat pengikut Musa rela menempuh marabahaya dan berjalan ratusan kilometer untuk melakukan eksodus dari Mesir menuju “tanah yang dijanjikan”.
Jalan parlementer juga seperti “tanah yang dijanjadikan”. Kondisi kekuatan-kekuatan politik berlawan yang patah arang (demoralisasi) membuat mereka membutuhkan harapan baru berupa jalan parlementer—yang dengan jalan ini mereka berharap dapat mencapai segala sesuatunya. Di satu sisi jalan keluar ini memenang mampu menghasilkan suatu harapan baru, tetapi harapan ini justru menjerumuskan mereka keliang kubur karena hanya merupakan ilusi—sebagaimana manusia yang berbuat kebaikan mengilusikan mendapat surga yang di dalamnya terdapat bidari-bidari yang terus-menerus perawan, maka manusia seperti ini menurut seorang sufi kenamaan Baghdad (Irak), Rabiah Adawiyah, hanya akan mendapatkan kesia-siaan, maka ia bermaksud membakar surga agar manusia tak tertipu lagi, Rabiah juga mengajukan satu pertanyaan yang menarik, “Apakah kalau tak ada iming-iming surga engkau masih mau menyembah Tuhan, wahai saudaraku? Dalam konteks kekinian pertanyaan tersebut bisa diubah, “Apakah kalau tidak ada iming-iming parlemen engkau masih mau berjuang, wahai kawanku?”. Inilah dampak dari jalan parlementer: munculnya ilusi di antara kekuatan-kekuatan politik yang berlawan. Akibat tersebut masih bisa ditambah dengan munculnya makelar politik dan koruptor serta dampak-damak negatif lainnya.
Sedangkan bagi perkembangan politik yang luas jalan parlementer tidak mengajarkan apa-apa bagi massa rakyat. Selama ini massa rakyat sudah teracuni kesadarannya (terhegemoni) bahwa perubahan hanya bisa ditempuh dengan jalan parlementer—sebagai jalan yang paling demokratis bagi ukuran borjuasi—maka akan semakin teracuni dengan pilihan politik kekuatan-kekuatan yang berlawan, mereka pun tidak lagi bisa melihat jalan alternatif—karena guru mereka mengkhianati jalan mereka sendiri.
Bila menilik ke belekang sejarah Indonesia, jalan parlementer ini sudah ditempuh oleh kekuatan politik yang berlawan ketika itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Strategi mereka ini memang berhasil memperluas struktur ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dicapai, namun struktur yang mereka hasilkan ini merupakan struktur tulang rawan yang mudah dipatahkan oleh kekuatan kontrarevolusi. Dan, takdir sejarah pun telah mencacat bahwa mereka—PKI dan kekuatan-kekuatan politik yang beralifiasi dengannya—hancur dan tak mampu bangkit lagi. Kalaupun mau mengambil nilai-nilai positif yang bisa didapat dari sejarah PKI tersebut adalah kemampuan mereka dalam memperluas struktur—yang seandainya mereka tidak menempuh cara-cara yang pragmatis, tentu saja struktur mereka akan kuat—selain hal tersebut apa yang dihasilkan PKI hanya sampah dan ampas.
Munurut pandangan penulis, yang dibutuhkan massa rakyat saat ini adalah cara dan jalan yang benar untuk mengapai kebebasan. Fakta-fakta yang terekam selama ini menunjukkan bahwa mereka sebetulnya mempunyai energi yang besar untuk melawan, tetapi mereka tidak mengetahui cara dan jalan yang benar. Untuk itu kekuatan-kekuatan politik yang berlawan perlu mengajarkan cara dan jalan yang benar tersebut, sehingga massa rakyat sadar bahwa bukan cara dan jalan parlementer yang bisa melepaskan mereka dari belenggu ketidakmandirian, tetapi revolusi-lah—revolusi dalam konteks ini adalah ketiga macam revolusi yang telah dipaparkan di atas— yang bisa membebaskan.

Memunculkan Kembali Kekuatan Yang Hilang
Penulis tidak yakin kalau komunitas seperti Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional—walaupun mungkin di dalamnya berisi orang-orang progresif-revolusioner—akan mampu memimpin proses perjuangan yang telah dipaparkan di atas. Penulis juga tidak yakin kalau LSM maupun organisasi sejenisnya mampu melakukan tugas sejarah ini. Karena apa? Organisi-organisi tersebut tak akan mampu memikul beban sejarah yang harus ditanggung. Menurut pandangan penulis, hanya sebuah organisasi yang rapi, yang dipimpin oleh para profesional, dan bertulangpunggungkan kekuatan revolusionerlah yang akan mampu menanggung beban sejarah tersebut. Kekuatan tersebut hanya bisa mewujud dalam bentuk partai politik yang revolusioner.
Lantas partai politik apa yang bisa memimpinnya?
Sejarah bangsa Indonesia sebenarnya sudah melahirkan sebuah partai politik yang mampu menanggung beban sejarah tersebut, yaitu PRD. Partai ini lahir sebagai kebutuhan sejarah untuk melahirkan sebuah organisasi revolusioner guna memimpin proses perubahan di Indonesia. Sebagai bagian dari proses sejarah, PRD bukan lahir tiba-tiba, akan tetapi melalui proses yang panjang, yang bila dirunut ke belakang merupakan kelanjutan dari kekuatan-kekuatan politik revolusioner yang ada dalam sejarah Indonesia; ia merupakan sintesis dari gerakan revolusioner itu sendiri—yang tidak hanya melahirkan kader-kader yang revolusioner tetapi juga ideologi revolusioner. Bagi yang tidak mengerti sejarah maka PRD akan dianggap sebagai kumpulan anak muda yang kekiri-kirian, sedangkan bagi penguasa ia akan dianggap sebagai mimpi buruk.
Sebagai bagian dari proses sejarah dari kekuatan revolusioner di Indonesia, potensi yang dimiliki PRD cukup besar. Ini yang membuat kekuatan borjuasi (termasuk tentara) berkali-kali mencoba menghancurkannya—mulai dari penangkapan, penculikan sampai pembunuhan. Menghadapi hantaman-hantaman tersebut PRD mampu melaluinya. Ia terus bertumbuh di antara musuh-musuh politik yang terus-menerus mengincar. Akan tetapi, begitu menghadapi ruang demokratik yang dibukanya sendiri, kader-kadernya menjadi gagap. Sebagai kader-kader yang seringkali bergerak di bawah tanah mereka silau melihat hasil perjuangan sendiri. Mereka menjadi tak mampu mengeja yang terjadi, mengurai yang tersirat maupun tersurat. Akibatnya, mereka menjadi larut dan lupa akan jati dirinya sendiri. Maka tak mengherankan kalau kemudian muncul petualang-petualang politik yang menggerogoti PRD dari dalam. Dengan kata lain, ia kalah oleh dirinya sendirinya, bukan oleh lawan-lawan politiknya.
Sebetulnya dengan munculnya kader-kader baru keadaan tersebut bisa diatasi. Akan tetapi sayang, kader-kader baru tersebut hanya mengelus-ngelus masa lalu PRD; PRD dulu revolusioner, PRD dulu memelopori pengulingan Suharta, PRD dulu ini dan itu. Mereka hanya mengelap kejayaan masa lalu tanpa mampu melahirkan kejayaannya sendiri. Tak mengherankan kalau dalam perkembangan terkini, PRD justru menjadi kuda troya bagi petualang-petualang politik yang ada di dalamnya bukan sebagai pelopor dari kekuatan-kekuatan yang berlawan. Situasi ini memang membawa kemunduran dari PRD, tetapi di sisi lain merupakan berkah karena para kader-kadernya akan bisa melihat mana yang loyong dan mana yang emas.
Proses kemunduran tersebut merupakan takdir sejarah PRD yang bukan berarti tidak bisa diubah. Ia bisa keluar dari masa-masa kemundurannya ini, keluar menjadi kekuatan baru yang lebih kuat dari sejarah masa lalunya, dengan syarat ia mampu merevolusi dirinya sendiri, mampu melihat dirinya pada titik yang benar, mampu menghargai apa yang telah dihasilkan, mampu mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja seperti kelahirannya, proses ini tidak semudah membalik telapak tangan, ia membutuhkan proses yang panjang. Sebagai partai yang lahir dari “kehendak zaman” ia harus bekerja keras agar maqom (kedudukannya) dalam pentas perjuangan revolusioner Indonesia bisa didapatkan kembali.
Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini penulis ingin mengajukan satu pertanyaan: Apakah “kekuatan yang hilang tersebut” bisa muncul kembali? [*]

Lereng Gunung Merapi, 19 September 2007
(Tanggapan atas tulisan ini
bisa ditujukan
pada alamat: ragil_nugroho1@yahoo.com.
Tentu saja tanggapan yang cerdas yang ditunggu)