Jumat, 21 Desember 2007

Pernyataan Sikap Solidaritas JAMAN


SOLIDARITAS untuk Karyawan PLN Jatim Call Center 1 2 3


TOLAK OUTSORCING DI TUBUH PLN!!!

USUT TUNTAS KORUPSI DI TUBUH PLN!!!

ADILI KORUPTOR DI PLN!!!



Kemadirian nasional negara kita benar-benar dipertaruhkan, bahkan digadaikan. Hal ini secara nyata dapat kita lihat dari fakta bahwa pemerintahan telah mengobral kekayaan alam dan perusahaan-perusahaan negara dengan murah ke pada modal asing.

Belakangan ini kita melihat lagi terjadinya kebobrokan yang menyolok di tubuh salah satu BUMN yang kita miliki. BUMN itu adalah PT PLN (Persero) yang para pejabat-pejabatnya telah melakukan penyelewengan. Anasir-anasir adalanya mis-management dan penyelewengan yang terjadi itu telah lama dicurigai banyak pihak. Selain itu juga muncul keanehan bahwa selalu muncul laporan bahwa PT PLN selalu mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya. Jangan-jangan memang ada upaya sistematis untuk membuat PLN bankcrupt (bangkrut), lalu muncul alasan dari pihak tertentu (pemerintah) untuk menyehatkan PLN dengan cara diprivatisasi.

PLN sendiri dalam menjalankan usahanya telah menempuh kebijakan outsorcing untuk benberapa sektor usaha. Outsorcing adalah salah satu bentuk imperialisme ekonomi karena didasarkan pada pembuatan hubungan kerja antara buruh dan majikan yang longgar, artinya tidak ada ikatan antara karyawan/buruh dengan pengusaha (flexible labor market). Legitimasi outsorcing adalah UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, sebuah produk hukum yang merugikan kaum buruh/pekerja karena melemahkan mereka di hadapan pengusaha.

Alasannya adalah adanya efektifitas dan efisiensi—suatu prinsip yang seringkali digembor-gemborkan oleh tatanan neoliberalisme yang terbukti bersifat predatoris di Indonesia. Lalu efektifkan perusahaan PLN dengan adanya outsorcing ini?

Mengingat PT. PLN adalah perusahaan satu-satunya milik negara yang bergerak dibidang pembangkit listrik dan sekaligus distribusinya di Indonesia, serta seluruh bidang pekerjaan di PT. PLN sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi PT. PLN untuk menerapkan sitem kerja out sourcing terhadap sebagian pekerjanya.

Efisien kah? Ternyata malah sebaliknya. Buktinya perusahaan malah merugi. Ootsorcing yang diterapkan PLN tidak berjalan dan bahkan sarat dengan unsur KORUPSI, nepotisme, dan lain sebagainya. Perusahaan outsorcing yang ada ternyata didirikan oleh pejabat-pejabat PLN sendiri dengan prosedur yang kacau dan tidak memenuhi standar formal-legal (hukum dan peraturan yang ada), lagi-lagi karena nepotisme dan korupsi.

Untuk memilih perusahaan outsorcing yang seharusnya melalui mekanisme membuka tender terbuka, ternyata perusahaan (PLN) melakukan penunjukan langsung (PL), dan bukannya pelelangan terbuka. PLN dalam hal ini melakukan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) berkaitan dengan penunjukan langsung Penunjukan Langsung beberapa perusahaan untuk melaksanakan Proyek Outsourcing untuk beberapa sector di PLN.


Keruwetan akibat kebijakan outsorcing ini belakangan terbuka dengan adanya gerakan yang dibuat oleh karyawan PLN Jawa Timur yang menuntut bekerja tetap. Mereka menuntut dan bergerak karena pada awalnya direkrut atas nama PLN, pada saat tes masuk dan bahkan sudah ditraining. Tetapi mereka dipekerjakan di perusahaan Outsorcing (PT. Artho Ageng), pada hal mereka ingin menjadi karyawan tetap PLN (Persero).

Oleh karenanya mereka menuntut hak-haknya dan mereka sekaligus membuka apa yang terjadi di tubuh PLN, kebusukan-kebusukan yang ada akibat rusaknya manajemen dan merajanya korupsi. Secara kronologis, mereka melalui serikat buruh Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), telah mengirimkan surat permintaan untuk bertemu secara langsung dengan Direksi PLN untuk meminta kejelasan dan menuntut hak mereka sebagai karyawan tetap. Sudah dua kali kirim surat tetapi tak digubris. Oleh karenanya mereka datang ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutannya ke pemerintah pusat. Dan pada hari Jumat, tanggal 14 Desember 2007 lalu mereka terpaksa berunjuk rasa menekan agar diberi ruang-waktu untuk bertemu direksi. Tetapi tuntutan tersebut tak terpenuhi. Hingga kini ke-6 karyawan tersebut masih berada di Jakarta—mereka bertekad tak akan kembali pulang sebelum permintaan mereka dipenuhi.


Lebih jauh, tuntutan buruh/karyawan yang juga pengurus dan anggota FNPBI SBTK PLN Jatim ini juga mengungkap lebih jauh tentang adanya korupsi dan penyimpangan yang mereka temukan. Ada dua kasus utama yang kami temukan, yaitu Mark Up dan Penyimpangan dalam hal pengadaan barang yang melalui penunjukan langsung (PL) yang menyalahi ketentuan PLN dan Pemerintah.

Sebagaimana laporan Biro Hukum dan Advokasi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), mark up dilakukan dengan memberikan nilai/harga yang lebih besar (relatif sangat besar) dari harga yang sejatinya, tujuannya agar selisih harga ini daat masuk di kantong pejabat yang berwenang.

Dalam hal ini, bahkan pihak PLN sendiri membuat ketentuan pengadaan barang dan jasa yang menyimpang jauh dari KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH. Dalam Keppres ini ditetapkan bahwa pengadaan barang/jasa yang harus diadakan dengan pembentukan panitia pengadaan adalah minimal Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Tetapi PT. PLN sendiri malah mengeluarkan ketentuan tentang nilain minimal barang/jasa pengadaan dengan jumlah yang jauh lebih besar, yaitu Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Lihat Ketentuan pengadaan barang berdasarkan pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. PLN (Persero) menetapkan bahwa: “panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Dari fakta-fakta dan kondisi di atas, maka kamu yang bergabung dalam Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.AM.A.N) menyatakan mendukung dan memberikan solidaritas terhadap perjuangan kawan-kawan karyawan PT. PLN (Persero) untuk:

  1. Menuntut Hak-Haknya sebagai Karyawan Tetap PT. PLN (Persero)!!!

  2. Menolak Kebijakan Outsorcing di tubuh PLN dan di manapun!!!

  3. Mengadili para KORUPTOR di tubuh PLN!!!


Kami juga menyerukan:

  1. Selamatkan aset bangsa dari komersialisasi dan privatisasi!

  2. Cabut UUK No. 13 tahun 2003 dan buat UU Ketenagakerjaan yang Pro-Buruh dan pro-Kemandirian nasional!!!

  3. Menjadikan kasus PLN ini sebagai dasar bagi terciptanya gerakan menyelamatkan aset-aset bangsa dari jarahan kaum modal asing dan lokal yang anti-kesejahteraan rakyat, mewujudkan kemandirian nasional di bidang Ekonomi!!



Demikian pernyataan solidaritas ini kamu buat, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.


Jakarta, 18 Desember 2007


Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian nasional

(J.A.M.A.N)






Gigih Guntoro Iwan Dwi Laksono

Ketua Umum Sekretaris Jenderal



Sabtu, 15 Desember 2007

Esai Slamet Riyanto


Kaum Muda Jangan Lupa Sejarah!

Oleh: Slamet Riyanto*)

Sudahkah pendidikan kita memberikan motivasi historis pada anak didik kita dan kaum muda kita? Atau jangan-jangan kita telah terlampau mengeluarkan banyak biaya dan energi untuk membuat produk-produk budaya yang membuat remaja dan kaum muda kita cengeng. Berbagai media menyuguhkan kisah cengeng remaja dan kaum muda, tanpa memberikan stimulan kritis. Sementara, di dalam kelas, pelajaran sejarah hanya memberikan manipulasi histroris, pelajaran sejarah yang menyingkirkan nama-nama dan peran-peran para pejuang-pejuang rakyat. Tokoh penindas rakyat justru disanjung-sanjung dalam buku-buku palsu.

Kaum muda harus diberi tahu tentang masa lalu yang kelam dan peran tokoh-tokoh besar dan gerakan rakyat dalam melawan penjajahan. Mereka tak boleh lupa akan sejarah sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Jas Merah! Jangan Lupakan Sejarah!” Dengan belajar sejarah yang memfokuskan pada pemikiran dan tindakan orang-orang besar dan partisipasi perjuangan massa, kaum muda harus percaya diri dan mempunyai jiwa besar, heroisme harus dimiliki karena ia merupakan semangat yang meminimalisir pragmatisme dan oportunisme.

Sejarah Penjajahan

Satu persatu hutan kita lenyap karena pohon-pohonnya ditebang dan dijual begitu saja keluar negeri. Satu persatu tambang minyak dan mineral kita dikuras isinya oleh tangan-tangan asing karena keserakahan dan kedunguan pejabat-pejabat kita. Satu persatu tanah subur kita lenyap berganti menjadi perumahan sehingga untuk mencukupi beras bagi rakyat, negeri ini terpaksa harus membeli dari negeri tetangga. Satu persatu saudara-saudara kita pergi ke negeri manca untuk mencari penghidupan gara-gara sebagian besar pengurus negeri ini lebih sibuk mengurus diri sendiri dan keluarga sendiri. Negeri macam apakah ini? Mengapa perilaku saat kolonialisme Belanda bercokol, yaitu suka bermewah-mewah dan untuk membiayai bermewah-mewah itu, meminta bantuan kolonialisme Belanda dengan kompensasi menyerahkan sumber kekayaan alam begitu saja kepada pemerintah kolonial Belanda, masih terus hidup dan menggurita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dari sisi mana kita menyebut negeri ini merdeka?

Dalam kurun sejarah kapitalisme dan imperialisme global saat ini, negeri-negeri yang gagal membangun kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya niscaya cepat atau lambat akan berantakan di segala sektornya. Bangsa yang bodoh sadar tak sadar akan selalu berjalan dengan saling menjegal dan menghisap satu sama lain. Sehingga setiap langkah tindakannya tak akan efektif dan boros. Sementara bangsa yang tak mandiri akan selalu menjadi korban dari kekuatan-kekuatan sejarah di pentas global. Menjadi bangsa korban sejarah, bukan bangsa penentu sejarah.

Pertanyaanyang lebih dalam lagi yang penting untuk diajukan ialah: “Telah menjadi rakyat macam kita ini sehingga negeri yang kita miliki bersama menjadi sedemikian terbelakang?”

Konsepsi ‘rakyat’ memiliki arti suatu kolektivitas yang sadar dan bisa merasakan penderitaan dan keterbelakangan negerinya sehingga karena itu tumbuh kemauannya untuk berjuang membangun bangsa dan negaranya. Konsepsi ‘rakyat’ ini bisa kita bedakan dari konsep ‘priyayi’ yang hanya bisa pusing dan marah jika kepentingan diri dan keluarganya dilanggar, namun sama sekali biasa-biasa saja dengan penderitaan dan nasib bangsanya. ‘Rakyat’ adalah suatu kehendak kolektif untuk membangun suatu negeri yang mampu menegakkan dan menjaga kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Sementara ‘priyayi’ adalah sebutan bagi suatu alam kehidupan yang sibuk dengan dinding-dinding tebal kepentingannya sendiri.

Negeri ini telah terlalu penuh sesak dengan mentalitas-mentalitas priyayi yang, persis seperti pendahulunya di masa kolonialisme Belanda, suka bermewah-mewah di atas penderitaan bangsa dan negara. Mereka puas dan bangga jika kemakmuran dan ketinggian status sosialnya telah tercapai, dan sama sekali tak mau tahu dan apatis dengan keterbelakangan dan ketidakadilan sosial yang menyelimuti kehidupan rakyat. Maka, tak bisa tidak, negeri ini harus dibersihkan dari mentalitas-mentalitas kepriyayian yang korup dan manipulatif itu.

Regenerasi

Tapi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa yang punya semangat membangun bangsa dan negaranya jika anak-anak muda terus-menerus dibiarkan dibombardir oleh gaya hidup yang hedonis dan asosial seperti yang digambarkan lewat media massa saat ini? Bagaimana bisa negeri ini punya kader bangsa yang hebat-hebat jika mentalitas yang terus diajarkan dan ditanamkan lewat berbagai acara televisi adalah mentalitas yang sibuk puas dan berbangga dengan kepentingan-kepentingan diri sendiri, dengan kesenangan-kesenangan sendiri? Mengapa orang tua membiarkan hal ini berlangsung begitu saja? Atau bahkan mengapa orang tua malah mendorong anak-anak muda untuk menjadi demikian? Tak bisakah orang-orang tua di negeri ini mencari kekayaan tanpa harus merusak mental-intelektual anak-anak muda?

Institusi-institusi sosial yang seharusnya melahirkan kader-kader bangsa, seperti sekolah maupun organisasi sosial politik, dalam kenyataannya malah menjadi pusat pengkaderan mentalitas-mentalitas feodal dan kepriyayian yang baru dimana ukuran penilaian terhadap anak-anak muda diukur berdasarkan kepatuhannya secara membuta dan kebisuannya di hadapan orang-orang tua. Mentalitas dan intelektualitas yang pembisu dan pembudak justru berkembang di institusi-institusi yang seharusnya menjadi garda depan proses kemajuan mental-intelektual bangsa. Anak-anak muda justru dilatih untuk mengekor kebiasaan dan budaya orang tua. Bagaimana mungkin kecerdasan dan kemandirian anak-anak muda yang merupakan fondasi bagi kecerdasan dan kemandirian bangsa bisa tercipta dari situasi kolektif semacam itu?

Membangun banyak wadah baru bagi penggodokan kualitas-kualitas mental-intelektual anak-anak muda yang lebih cerdas dan mandiri merupakan suatu langkah kebudayaan yang mesti harus dilakukan untuk membalik nasib dan alam sejarah negeri ini. Anak-anak yang masih menjaga kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya harus bekerjasama dengan orang-orang tua yang berpikiran jauh ke depan dan egaliter untuk membangun wadah-wadah baru yang akan melahirkan kader-kader bangsa yang cerdas dan mandiri. Mereka harus bersama-sama membangun dan mengelola wadah-wadah yang akan menggembleng kualitas-kualitas mental-intelektual terbaik dalam diri anak-anak bangsa sejak dini. Proses kolektif untuk melahirkan generasi-generasi dengan kualitas mental-intelektual yang hebat harus dijalankan agar anak-anak yang muda yang cerdas dan gelisah mencari jalan tak bingung dan lenyap dalam apatisme karena merasa sendirian.

Kemandirian dan kaum muda sesungguhnya merupakan dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dirawat oleh suatu bangsa dan negara jika bangsa dan negara itu tak ingin sejarah dirinya penuh dengan perilaku-perilaku yang menggerogoti fondasi-fondasi dasar dan sumber-sumber dari kedaulatannya sendiri. Keduanya merupakan harta tak ternilai bagi suatu bangsa dan negara sebagai anugerah Ilahi. Kemandirian merupakan sumber kekuatan ruhaniah sekaligus material bagi tegak berdiri dan majunya gerak suatu bangsa. Sementara kaum muda adalah sumber energi ruhaniah dan juga material yang luar biasa berlimpah yan bisa dimobilisasi dan diorganisir untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar bangsa dan negara menuju kemajuannya.

Bangsa yang tak menghargai keduanya niscaya akan ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang mediokre dan terbelakang. Bagaikan tikus mati di lumbung padi, bahkan meski dianugerahi kekayaan dan kesuburan alam yang luar biasa berlimpah, namun jika suatu bangsa menanggalkan kemandiriannya dan membiarkan anak-anak mudanya menjadi anak-anak muda yang terasing dari sejarah negerinya dan bahkan dianggap sebagai lawan dalam dunia karir dan ekonomi, maka bangsa tersebut akan tumbuh kerdil dan merana di tengah-tengah pergaulan antar-bangsa. Paling banter akan menjadi bangsa yang suka mengeluh dan hanya pandai iri dan dengki dengan keberhasilan negara-negara lain. Suka mengkhayal tentang kebesaran masa lalunya maupun kebesaran masa kini yang semu. Padahal, terbelakang di antara bangsa-bangsa. Tak pernah serius mencipta karya dan prestasi yang hebat di atas kakinya sendiri karena memang anti-kemandirian dan menjauhkan diri dari anak-anak muda.

Maka, mari bersama-sama menjadi bangsa yang mencintai kemandirian dan anak-anak muda. Mari membangun sejarah Indonesia yang lebih gilang-gemilang dengan bekerja secara sungguh-sungguh menanamkan jiwa dan kecakapan berdikari di dalam diri pemuda Indonesia sehingga suatu saat kelak, anak-anak Indonesia di masa depan akan bangga dengan masa lalunya dan punya karakter kemandirian yang kuat.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

MASYARAKAT ANTI-TEKNOLOGIS

Masyarakat Anti-Teknologis

Oleh: Slamet Riyanto

Pada saat industrialisasi nasional terpuruk dan bangsa kita tergantung sepenuhnya pada asing, tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang dalam cara berpikir orang-orang Indonesia. Pandangan anti-teknologi itu muncul beriringan dengan romantisme nasionalisme yang dilontarkan oleh para mulut elit, politisi, ekonomi, bahkan—celakanya—kebanyakan di kalangan ilmuwan.

Pertama-tama, pemikiran anti-teknologis ini memang tidak semata-mata berasal dari dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis intelektual Barat yang melontarkan pentingnya kembali ke akar, alam, dan filsafat Timur. Latarbelakang pemikiran mereka memang berangkat dari persoalan lingkungan hidup di Barat yang disebabkan oleh kapitalisme yang destruktif pada lingkungan dan nilai-nilai humanisme yang menjadi cita-cita para pejuang pencerahan di era dulu.

Idealisme pemikiran ekologis tersebut memang menjadi kebutuhan masyarakat maju Barat yang memang diperlukan dalam masyarakat yang sudah berkelimpahan dan menimbulkan akibat negative pada lingkungan. Akan tetapi, sayangnya, ketika pemikiran tersebut sampai ke Indonesia, ternyata masyarakat kita belum berada dalam suasana berkelimpahan—bahkan memenuhi kesejahteraan hidupnya saja sulit. Kemunafikan terjadi, saat modal Barat mengeksploitasi lingkungan kita secara rakus (hingga sekarang) untuk mengambil minyak, emas, tembaga, uranium, yang digunakan untuk kemajuan teknologi Barat, kita justru terjebak untuk menerima pemikiran anti-industrialisasi dan anti-teknologi itu.

Dan pada saat kita kalah dalam persaingan dengan industrialisasi Barat yang maju, sentiment nasionalisme tradisional berhembus. Hal ini sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemodal lokal agar tidak malu pada rakyatnya karena, selain kalah bersaingm mereka menyerahkan kekayaan kita untuk dijarah demi kemajuan teknologi dan keuntungan pemodal-pemodal asing.

Maka, dalam konteks kepentingan untuk menghembuskan nasionalisme sempit itulah, upaya mengagung-agungkan kearifan lokal. Sudah jelas-jelas bahwa kalahnya Indonesia dalam persaingan global karena industrialisasinya tidak maju, dan hanya tergantung pada imperialism asing, yang dilakukan penguasa kemudian—saat mereka cuek pada nasib rakyat karena hidupnya enak sendiri—adalah justru menumpulkan tenaga produktif rakyat. Bayangkan, jika remaja dan kaum muda tak diberi akses pada pendidikan karena sekolah mahal dan dikomersialisasikan. Yang terjadi adalah jauhnya rakyat dari iilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan. Subsidi pendidikan dikurangi, anggaran pendidikan terbatas, urusan pendidikan diserahkan pada kapitalisme pendidikan. Lalu bagaimana tidak akan muncul kecintaan remaja dan kaum muda pada IPTEK?

Strategi Industrialisasi

Intinya jelas, komitmen untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat tergantung pada pemerintahnya. Selama ini pemerintah hanya mengilusi rakyat dengan ‘kearifan lokal’ yang menunjukkan tingka kemajuan teknologi terbatas saat menghadapi kekuatan asing yang ber-IPTEK maju. Potensi lokal dikembangkan, celakanya menolak teknologisasi modern tetapi hanya mengembangkan sentiment dan perasaan bangga pada lokalitas.

Jika masyarakat Italia bangga dengan kota Milan yang terkenal dengan produk-produk mobil mewajh dan modern, sama halnya dengan masyarakat lokal Jepang yang bangga pada penemuan teknologi yang siap bersaing dalam persaingan global, pemerintah dan bahkan kebanyakan intelektual malah mengangung-agungkan produk tradisional. Yang paling menggejala adalah, tiap-tiap daerah punya produk-produk yang dibanggakan, pada hal produk-produk berkapasitas teknologi rendah dan dengan modal yang terbatas. Kita membangga-banggakan “tempe kripik” (contoh makanan khas), “batik” (industri tekstil), “Reog Ponorogo” (contoh produk budaya), dan semacamnya. Hanya sisa-sisa masyarakat feudal yang berbasis pada teknologi sederhana itulah yang membuat kita bangga dan seakan bahagia, yang konon dapat digunakan untuk bersaing dengan masyarakat internasional.

Tetapi pada kenyataannya untuk teknologi utama yang mendominasi percaturan modal, kita sangat ketinggalan jauh. Pada saat masyarakat Barat dan Asia maju telah menikmati TV plasma, masyarakat kita masih menikmati TV-TV yang mungkin dipakai masyarakat maju sekitar 10 tahun lalu, bahkan masih banyak sebagian yang belum punya TV.

Bahkan untuk urusan produk budaya saja kita tidak begitu serius dan pandai dalam mengolahnya. Terbukti baru saja, seni Reog telah diklaim oleh Malaysia. Belum lagi produk budaya lokal lainnya yang banyak ditinggalkan kaum muda yang tergoda dengan rayuan-rayuan dangkal budaya Barat, yang nantinya akan banyak diklaim sebagai hak kekayaan intelektual Barat juga.

Kearifan lokal memang tidak bisa begitu diandalkan dalam memacu pertumbuhan, dan sayangnya Indonesia masih membangga-banggakan produk lokal yang tidak ada satupun hasil dari perkembangan industrialisasi. Kita hanya menjual produk budaya lama, menjual wisata, menjual seni, tetapi untuk asset dan hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber kekayaan alam yang penting (minyak, emas, tembaga, batubara, uranium, nikel, dan kekayaan alam yang mahal dan menentukan industrialisasi) tidak kita olah—tetapi justru oleh elit-elitnya diserahkan oleh asing.

Strategi industrialisasi kita kacau. Tak heran jika saya bermaksud untuk mewaspadai bahaya pemikiran anti-teknologi. Pada saat masyarakat kita lemah dalam IPTEK, kenapa justru pemikiran anti-teknologis yang muncul dalam berbagai ekspresi (intelektual, gerakan ekologis, keagamaan, politik, dll) justru menyebar? Ini adalah bahaya besar, karena mau tak mau masyarakat kita membutuhkan upaya memacu teknologi.

IPTEK harus ditingkatkan bukan dengan mengorbankan rakyat dan hanya bersandar pada hubungan penjajahan. Kita menerima IPTEK, selama ini, dari luar hanya karena hutang. Kita mengolah industri hanya karena bersandar pada modal asing dengan tingkat pembagian proses dan hasil yang menguntungkan modal asing tersebut.

Karena terdapat fakta bahwa adanya penguasaan industri pertambangan oleh asing, yang ditegaskan sejak Orde Baru mengesahkan UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing), dan itu merupakan jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme (penjajahan). Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan menegoisasi kembali kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)—semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen.

Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

Selasa, 13 November 2007

MAKALAH NURANI SOYOMUKTI DALAM BEDAH BUKU "REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"

Hugo Chavez dan Proses Kreatif-ku:
“Menulis Rakyat yang Berjuang Melawan
Penjajahan dan Penindasan
¥

Oleh:
Nurani Soyomukti,
Mantan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember; kini pengurus pusat (PP) Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N).



Walaupun kami dogmatik, kami tak suka kultus individu. Kami tak mengajar orang-orang kami untuk percaya, melainkan untuk berpikir”.
(FIDEL CASTRO)
Kata-kata itu dikatakan oleh Fidel Castro suatu waktu. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menjawab tuduhan-tuduhan dan segala fitnah yang dialamatkan padanya dan pada negerinya yang menempuh jalan alternatif di luar jalan kapitalisme. Sosialisme Kuba seringkali didiskreditkan oleh Amerika Serikat (AS) dan para pendukungnya. Dengan media-media yang dikuasai oleh jaringan kapitalisme globalnya, perjuangan dan capaian rakyat Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro diisolasi dari komunitas internasional. Ditambah dengan propaganda bahwa tidak ada demokrasi di Kuba atau negara sosialis lainnya.
Yang dilakukan Castro adalah sebuah kepemimpinan revolusioner sebagai alternatif dari kepemimpinan elitis dan oligarkis sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis—oligarki modal. Sementara AS dan media propagandanya menyebarkan citra buruk terhadap kepemimpinan Castro, Paus Paulus pemimpin Vatikan yang pernah berkunjung ke Kuba justru terheran-heran tentang apa yang terjadi di negara itu. Sosialisme telah memerankan bangunan kemanusiaan yang besar hingga Kuba telah menjadi negara dengan tingkat melek huruf tertinggi di dunia, pertanian organik ramah lingkungan yang maju, pendidikan gratis dan kesehatan yang memadai.

Bandingkan dengan negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi tekanan/intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing: mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi—tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi). Lihat saja besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB.

Berbeda dengan di Kuba yang menggartiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Peneliti barat masih terheran-heran bagaimana negeri Kuba yang diisolasi dan didiskreditkan AS justru dapat menyaingi tandard pendidikan negara-negara imperialis seperti AS, Kanada, dan Inggris Raya. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kpemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba.
Apa yang terjadi di Kuba, dicontoh oleh revolusi bolivarian yang dijalankan oleh para aktivis di Venezuela yang dipimpin oleh Hugo Chavez. Keberanian dalam bertindak dan program-program alternatif sebagai jawaban atas kontradiksi pokok dan konkrit yang ada dilakukan oleh Chavez dalam para pendukungnya. Keberaniannya ditunjukkan dengan kemauannya untuk membuat seruan-seruan pada rakyat atas melencengnya pemerintahan yang pro-neoliberalisme dan propaganda berupa jalan apa yang ditempuh. Tipe semacam inilah yang dsebut sebagai pemimpin massa rakyat yang menempatkan dirinya sebagai pelopor perubahan dan pemimpin kesadaran massa. Bahkan, lebih dari itu, Chavez juga berani bertindak: pada tahun 1992 ia secara berani ingin merebut kekuasaan pro-neoliberal dengan cara melakukan kudeta.
Meskipun gagal, kudeta 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Dengan program kemandirian nasional dan anti-neoliberal, dengan dukungan riil dari rakyat, pada tahun 1998 ia memenangkan pemilu. Hugo Chavez segera dikenal sebagai presiden pembela rakyat, yang mengentaskan mereka dari kemiskinan, dan bahkan memberdayakannya secara politik. Artinya, kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik dijamin. Kesejahteraan ekonomi ditempuh dengan revolusi kebijakan ekonomi dari kapitalisme menuju sosialisme-kerakyatan.

***
Lalu siapakah yang akan menuliskan apa yang terjadi di Venezuela? Siapa yang menyebarkan adanya ”jalan lain” di luar neoliberalisme (kapitalisme, pasar bebas) yang banyak diamini oleh negara-negara yang secara ekonomi-politik masih terjajah (seperti negara kita)? Pada waktu itu, hingga memasuki tahun 2007, tidak ada yang menuliskan apa yang terjadi di Venezuela secara komprehensif dalam arti membahas konteks historis, kontradiksi, dan subjek gerakan yang mengantarkan Chavez menuju pada ”kepemimpinan alternatif” di era globalisasi neoliberal abad 21 ini. Aku ingin mengangkatnya, menuliskannya...

Dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, dengan kesengajaan maupun tidak, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan, menuliskan sesuatu dalam bentuk buku ini merupakan suatu hal yang monumental dalam hidupku. Sebagaimana muncul spirit tiba-tiba yang menyatu dengan narsisme dan gila publikasi—yang konon melekat pada psike penulis—saat tulisan kita (entah puisi, cerpen, esai, opini, dll) diterbitkan pertama kalinya di media massa, mungkin dapat dikatakan terjadi pula saat buku kita pertama kali diterbitkan.
Tetapi, proses kreatifku melampaui itu semua, ada dinamika psikis, tetapi juga ada (yang dominan) kehendak ideologis—saoal pandangan hidup, soal pilihan, dan soal konsekuensi!
Hasil studi yang kutuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besarku untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, aku kembali berusaha melanjutkan usahaku untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.

Yang aku lanjutkan sebenarnya adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisiku (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional—di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik—FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individualku yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat aku terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisiku sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.

Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya aku masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsiku, pada hal skripsiku juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS)—dan pada waktu itu pemerintahan Chavez juga telah berjalan 5 tahun. Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela, atau aku yang memang belum begitu peduli.

Dan karena kondisi itu, aku merasa bahwa aku terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kepengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, aku lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah aku lakukan saat menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.

Itulah yang kemudian mendorongku untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme-neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable dan compatible di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.
Tetapi, mungkin yang kulakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawanku lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga aku, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan aku seperti kembali menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.
Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangatku, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.

Apa yang kulakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan itu akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungiku untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Secara pribadi, terus terang aku tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang kulakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagiku untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang aku habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasanku di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.[1]

Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin aku hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang aku geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta, UI, Mas Nur Imam Subono, bahkan mengakui dan mengatakan padaku bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.

Inilah yang membuat aku agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidupku—biarlah aku dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: aku tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.
Dalam proyek ini, mungkin aku akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peranku sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utamaku adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.

Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa aku menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksudku adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan aku memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi!!

Hugo Chavez tidak sendirian, karenanya buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” akan menyusul. Buku kedua ini masih merupakan dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat di Nikaragua, sebuah negara di kawasan Karibia. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian awal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.

Ah, betapa sombongnya di sini jika kukatakan bahwa aku ingin karya-karya tersebut mengisi kekosongan literatur alternatif dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi kuakui bahwa karya-karyaku bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah aku ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Beberapa waktu lalu, selama beberapa hari, rubrik internasional media massa negara-negara di di muka bumi dihiasi berita tentang kemenangan Cristina Fernandez, perempuan yang pada tahun 1970-an aktif di organisasi Tendensi Revolusioner Argentina. Perempuan ini menang karena pendukung utamanya adalah “kaum papa” di Argentina. “Kemenangan presiden baru Argentina adalah kemenangan seluruh perempuan Amerika Latin,” kata Presiden Venezuela Hugo Chaves.[2] Hugo Chavez termasuk salah satu tokoh presiden tetangga yang pertama kali mengucapkan selamat, selain Lula Da Silva presiden Brazil. Hugo Chavez selama ini memimpin perlawanan terhadap AS dan neoliberalisme di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Fernandez terpilih dan akan menggantikan suaminya yang telah menjadi presiden yang cukup berhasil, juga sama radikalnya dengan Chavez, Morales, Ortega, dan tokoh-tokoh lainnya di kawasan ini. Suaminya adalah Neztor Kirchner yang pada 2005 menyatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas (FTAA) adalah kebohongan, dan bahkan ia menolak membayar utang yang selama ini digunakan lembaga imperialis untuk menjerat negaranya. Sulit bagi Fernandez untuk berbeda dalam garis kebijakannya dengan suaminya, apalagi dua hati dan pikiran (Kirchner dan Fernandez sebagai suami-istri) telah terpaut sejak keduanya kuliah bidang Hukum dan menjadi aktivis.

What’s next? Mempelajari kisah-kisah perlawanan—juga kepahlawanan—itu “asyik”: sebagaimana mahasiswa Hubungan Internasional (HI) yang selalu interested untuk mempelajari Negara-negara lain. Menulis kisah-kisah perlawanan itu menarik. Menulis para pemberani menarik—juga untuk mengumpat para pengecut seperti elit-elit negeri kita Indonesia yang, karena neoliberalisme, rakyatnya semakin sengsara. A Luta Continua!

“Revolusi bukanlah Chavez… Revolusi akan terjadi dengan atau tanpa dia. Chavez adalah suara dari rakyat Venezuela, tetapi rakyat Venezuela sendirilah yang akan mengubah Negara ini. Kami mengikuti ide Simon Bolivar dan gerakan proyek Bolivarian di Amerika Latin!!!”
(MERCADO, Seorang aktivis Lingkaran Bolivarian)


Jember, 15 November 2007


¥ Dipropagandakan dalam cara Bedah Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL”, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP UNEJ, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (FISIP UNEJ), Kamis 15 November 2007.
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).

[2] “Kaum Papa Dukung Fernandez: Kebijakan Ekonomi Suaminya Akan Diteruskan”, Kompas, Rabu 31 Oktober 2007

Sabtu, 10 November 2007

UNDANGAN TERBUKA SARASEHAN "SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN (?)"

JARINGAN KAUM MUDA UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL
(J.A.M.A.N)
Koordinator Wilayah Jawa Timur
=====================================================

UNDANGAN TERBUKA

Isu Kepemimpinan Nasional terus merebak di mana-mana. Kaum muda dan kalangan gerakan juga menuntut adanya KEPEMIMPINAN KAUM MUDA. Sejauh mana kesiapan dan efektifitas kaum Muda memimpin negeri ini?

J.A.M.A.N Jawa Timur Mengundang Bapak/Ibu/Kawan untuk hadir dalam SARASEHAN “SAATNYA KAUM MUDA MEMIMPIN (?)”
yang akan kami selenggarakan pada:

Hari/Tanggal:
Selasa/20 November 2007

Jam:
10.00 WIB-selesai

Tempat:
Rumah Makan “TAMAN HAPSARI”
Depan Gedung Grahadi SURABAYA

Pembicara:

Gigih Guntoro,
Pengurus Pusat Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Jakarta;

ERLANGGA PRIBADI,
Pengamat Politik dan Staf Pengajar FISIP Universitas Airlangga (UNAIR SURABAYA);

Romo Gani,
Agamawan

Faslil Fuad,
Ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah Jawa Timur;

Tino Rahardian,
Ketua Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) Jawa Timur,

Amiruddin Mutaqin,
Aktifis Lingkungan Hidup (FOSSIL)


Kami jarapkan kehadiran Bapak/Ibu/Kawan/Saudara/I dimanapun anda berada, demi lancer dan subtansialnya acara tersebut.


Surabaya, 10 November 2007



Rudi
A.N. Panitia

Rabu, 31 Oktober 2007

PERNYATAAN SIKAP

PERNYATAAN SIKAP
Tentang Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia 28 – 30 Oktober 2007
Di Hotel Sahid Jaya Jakarta

Pertemuan Nasional Forum Dialog Pemuda Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28-30 Oktober 2007, dan mengambil Tema ”The New Deal” Membangun Kesepahaman Baru Pemuda Indonesia, yang dihadiri oleh Kelompok – kelompok Pemuda dan Mahasiswa. Ternyata sudah mengingkari semangat awal perjuangan kaum muda Indonesia yang berkarakter progresif-revolusio ner dan pro kerakyatan.Setelah kami mengikuti rangkaian acara tersebut, kami memandang bahwa:

1. Roh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang sejatinya adalah Anti Penjajahan (Kolonialisme- Imprialisme) , telah diturunkan kualitasnya oleh forum ini menjadi sekedar peringatan simbolik yang melegitimasi kekuasaan penjajahan gaya baru neoliberalisme.

2. Pertemuan ini yang mengambil lokasi di Hotel Sahid Jaya Jakarta, dengan fasilitas cukup mewah dan menghabiskan banyak dana, ternyata dalam pembahasannya masih sangat jauh dari kondisi sosial rakyat yang masih melarat dan tertindas. Forum ini tidak memberikan solusi jalan keluar yang konkret atas krisis kesejahteraan yang sedang dialami rakyat Indonesia.

3. Forum ini yang seharusnya dapat memberikan pencerahan kesepahaman baru bagi kaum muda, memberikan perubahan baru dan sekaligus merumuskan gerakan baru kaum muda, justru hanya menjadi alat legitimasi munculnya RUU Kepemudaan.

4. Forum ini telah menggiring peserta untuk bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menurut kami, langkah ini sungguh-sungguh keliru, karena pemerintahan SBY-JK sudah terbukti menjadi agen dan kaki tangan neoliberalisme yang telah GAGAL membawa perubahan baru bagi rakyat Indonesia yang lebih Adil, Sejahtera dan Demokratis.

Dengan pandangan kami tersebut diatas, maka kami menyerukan:

1. Menolak RUU Kepemudaan dan membuat RUU Kepemudaan baru yang lebih demokratis dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua organisasi kepemudaan, termasuk organisasi kepemudaan yang berbasiskan mahasiswa.

2. Membentuk wadah persatuan baru bagi kaum muda Indonesia.

3. Menolak hadir dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden.

4. Meminta kepada panitia ”Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia”, untuk tidak mencantumkan nama organisasi kami kedalam semua keputusan-keputusan forum tersebut. Dan kami tidak bertanggungjawab atas semua keputusan yang dikeluarkan oleh forum tersebut.

Kami juga menyatakan kepada seluruh peserta Pertemuan Nasional Pemuda Indonesia dan rakyat Indonesia seluruhnya bahwa: Pemerintahan SBY-JK GAGAL MEMBAWA PERUBAHAN BARU MENUJU KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT INDONESIA!

Demikian pernyatan sikap ini kami tuliskan, demi kemenangan kedaulatan rakyat seutuh-utuhnya. Semoga sejarah perjuangan rakyat memberikan jalan keluar bagi kemenangan kemanusiaan dan kaum tertindas dengan Ridha Tuhan Yang Maha Esa.

MERDEKA!BANGUN PERSATUAN KAUM MUDA UNTUK PERUBAHAN BARU!

Jakarta, 30 Oktober 2007

Kami yang mendukung:
Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI)
Gerakan Mahasiswa Nasionalis Kerakyatan (GMNK)
Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN)
BEM-STIAMI
BEM- UNIJA
BEM-STAINUKB UIJ
Relawan Perjuangan Demokrasi (REPDEM)

Contact person:Tino Rahardian/GMPI (081 333 333 216)

"Adillah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan!"
Jalan Baru Menuju Perubahan Baru!Bangun Persatuan Nasional, Rebut Demokrasi dan Kesejahteraan!

PEREMPUAN DAN POLITIK

G 30 S/PKI dan Hancurnya Politik Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Sudah 42 tahun peristiwa yang disebut G 30 S/PKI itu berlangsung. Namun luka sejarah dari tragedi itu masih membekas hingga sekarang. Betapa tidak, dalam tragedi itu tidak hanya terjadi pembantaian massal atas kurang lebih 500.000 orang yang dituduh antek G30S/PKI, serta awal berdirinya rejim militeristik orde baru. Lebih daripada itu, tragedi tersebut juga merupakan awal hancurnya politik kaum perempuan.
Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa orde baru. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.

Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.

Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.

Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.

Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.

Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.

Bahkan ketika kita bicara mengenai gejolak politik di Myanmar, mengesampingkan perempuan bernama Aung San Suu Kyi adalah hal yang mustahil. Karena lewat pemikiran dan perlawanannya, gerakan pro demokrasi di Myanmar dibawah perlawanan para biksu memiliki keberanian untuk melawan Junta Militer.
Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.

Nah, mestinya di era reformasi ini kaum perempuan bisa kembali bangkit dan menunjukkan kemampuan pada dunia bahwa tanpa perempuan peradaban manusia tak akan pernah ada. Belenggu-belenggu yang ditancapkan dalam kening perempuan melalui politik massa mengambang mestinya sudah hancur lebur tergantikan perempuan yang anti penindasan. Sehingga mampu menumbuhkan kembali feminitas sebagai sebuah ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan sebagai lawan dari maskulinitas yang artinya sebuah penyelenggaraan ideologi dengan repesif, keras, macho dan top down.

Tapi apa lacur. Kehidupan politik kaum perempuan tak jauh beda ketika rejim orde baru berkuasa. Memang banyak perempuan yang tak lagi aktif di PKK, Dasa Wisma, serta organisasi perempuan bentukan Orba. Tapi kebanyakan mereka tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan. Sungguh ironis!***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Penulis Lepas media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), KOMPAS edisi Jatim, SURABAYA PAGI, RADAR SURABAYA, KORAN PAK OLES (KPO), BANJARMASIN POST, BATAM POS, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, www.cybersastra.net, dll.
Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah Blok D-23 Pamekasan-Madura 69371.
No HP : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau edyfirmansyah@yahoo.co.id