G 30 S/PKI dan Hancurnya Politik Perempuan
Oleh: Edy Firmansyah
Sudah 42 tahun peristiwa yang disebut G 30 S/PKI itu berlangsung. Namun luka sejarah dari tragedi itu masih membekas hingga sekarang. Betapa tidak, dalam tragedi itu tidak hanya terjadi pembantaian massal atas kurang lebih 500.000 orang yang dituduh antek G30S/PKI, serta awal berdirinya rejim militeristik orde baru. Lebih daripada itu, tragedi tersebut juga merupakan awal hancurnya politik kaum perempuan.
Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.
Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.
Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa orde baru. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.
Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.
Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.
Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.
Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.
Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.
Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.
Bahkan ketika kita bicara mengenai gejolak politik di Myanmar, mengesampingkan perempuan bernama Aung San Suu Kyi adalah hal yang mustahil. Karena lewat pemikiran dan perlawanannya, gerakan pro demokrasi di Myanmar dibawah perlawanan para biksu memiliki keberanian untuk melawan Junta Militer.
Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.
Nah, mestinya di era reformasi ini kaum perempuan bisa kembali bangkit dan menunjukkan kemampuan pada dunia bahwa tanpa perempuan peradaban manusia tak akan pernah ada. Belenggu-belenggu yang ditancapkan dalam kening perempuan melalui politik massa mengambang mestinya sudah hancur lebur tergantikan perempuan yang anti penindasan. Sehingga mampu menumbuhkan kembali feminitas sebagai sebuah ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan sebagai lawan dari maskulinitas yang artinya sebuah penyelenggaraan ideologi dengan repesif, keras, macho dan top down.
Tapi apa lacur. Kehidupan politik kaum perempuan tak jauh beda ketika rejim orde baru berkuasa. Memang banyak perempuan yang tak lagi aktif di PKK, Dasa Wisma, serta organisasi perempuan bentukan Orba. Tapi kebanyakan mereka tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan. Sungguh ironis!***
TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Ketua FORDEM (Forum Demokrasi) Madura. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Penulis Lepas media lokal maupun Nasional. Diantaranya; ; JAWA POS, MEDIA INDONESIA, SURYA, SEPUTAR INDONESIA (SINDO), KOMPAS edisi Jatim, SURABAYA PAGI, RADAR SURABAYA, KORAN PAK OLES (KPO), BANJARMASIN POST, BATAM POS, KALTENG POS, RIAU POS, RADAR JEMBER, RADAR MADURA, www.cybersastra.net, dll.
Saat ini berdomisili di Perumnas Tlanakan Indah Blok D-23 Pamekasan-Madura 69371.
No HP : 08563032033
Email : stapers2002@yahoo.com atau edyfirmansyah@yahoo.co.id
Rabu, 31 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar