Masyarakat Anti-Teknologis
Oleh: Slamet Riyanto
Pada saat industrialisasi nasional terpuruk dan bangsa kita tergantung sepenuhnya pada asing, tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang dalam cara berpikir orang-orang
Pertama-tama, pemikiran anti-teknologis ini memang tidak semata-mata berasal dari dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis intelektual Barat yang melontarkan pentingnya kembali ke akar, alam, dan filsafat Timur. Latarbelakang pemikiran mereka memang berangkat dari persoalan lingkungan hidup di Barat yang disebabkan oleh kapitalisme yang destruktif pada lingkungan dan nilai-nilai humanisme yang menjadi cita-cita para pejuang pencerahan di era dulu.
Idealisme pemikiran ekologis tersebut memang menjadi kebutuhan masyarakat maju Barat yang memang diperlukan dalam masyarakat yang sudah berkelimpahan dan menimbulkan akibat negative pada lingkungan. Akan tetapi, sayangnya, ketika pemikiran tersebut sampai ke
Dan pada saat kita kalah dalam persaingan dengan industrialisasi Barat yang maju, sentiment nasionalisme tradisional berhembus. Hal ini sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemodal lokal agar tidak malu pada rakyatnya karena, selain kalah bersaingm mereka menyerahkan kekayaan kita untuk dijarah demi kemajuan teknologi dan keuntungan pemodal-pemodal asing.
Maka, dalam konteks kepentingan untuk menghembuskan nasionalisme sempit itulah, upaya mengagung-agungkan kearifan lokal. Sudah jelas-jelas bahwa kalahnya
Strategi Industrialisasi
Intinya jelas, komitmen untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat tergantung pada pemerintahnya. Selama ini pemerintah hanya mengilusi rakyat dengan ‘kearifan lokal’ yang menunjukkan tingka kemajuan teknologi terbatas saat menghadapi kekuatan asing yang ber-IPTEK maju. Potensi lokal dikembangkan, celakanya menolak teknologisasi modern tetapi hanya mengembangkan sentiment dan perasaan bangga pada lokalitas.
Jika masyarakat Italia bangga dengan kota Milan yang terkenal dengan produk-produk mobil mewajh dan modern, sama halnya dengan masyarakat lokal Jepang yang bangga pada penemuan teknologi yang siap bersaing dalam persaingan global, pemerintah dan bahkan kebanyakan intelektual malah mengangung-agungkan produk tradisional. Yang paling menggejala adalah, tiap-tiap daerah punya produk-produk yang dibanggakan, pada hal produk-produk berkapasitas teknologi rendah dan dengan modal yang terbatas. Kita membangga-banggakan “
Tetapi pada kenyataannya untuk teknologi utama yang mendominasi percaturan modal, kita sangat ketinggalan jauh. Pada saat masyarakat Barat dan Asia maju telah menikmati TV plasma, masyarakat kita masih menikmati TV-TV yang mungkin dipakai masyarakat maju sekitar 10 tahun lalu, bahkan masih banyak sebagian yang belum punya TV.
Bahkan untuk urusan produk budaya saja kita tidak begitu serius dan pandai dalam mengolahnya. Terbukti baru saja, seni Reog telah diklaim oleh
Kearifan lokal memang tidak bisa begitu diandalkan dalam memacu pertumbuhan, dan sayangnya
Strategi industrialisasi kita kacau. Tak heran jika saya bermaksud untuk mewaspadai bahaya pemikiran anti-teknologi. Pada saat masyarakat kita lemah dalam IPTEK, kenapa justru pemikiran anti-teknologis yang muncul dalam berbagai ekspresi (intelektual, gerakan ekologis, keagamaan, politik, dll) justru menyebar? Ini adalah bahaya besar, karena mau tak mau masyarakat kita membutuhkan upaya memacu teknologi.
IPTEK harus ditingkatkan bukan dengan mengorbankan rakyat dan hanya bersandar pada hubungan penjajahan. Kita menerima IPTEK, selama ini, dari luar hanya karena hutang. Kita mengolah industri hanya karena bersandar pada modal asing dengan tingkat pembagian proses dan hasil yang menguntungkan modal asing tersebut.
Karena terdapat fakta bahwa adanya penguasaan industri pertambangan oleh asing, yang ditegaskan sejak Orde Baru mengesahkan UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing), dan itu merupakan jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme (penjajahan). Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.
Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di
Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di
*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar