Sabtu, 15 Desember 2007

MASYARAKAT ANTI-TEKNOLOGIS

Masyarakat Anti-Teknologis

Oleh: Slamet Riyanto

Pada saat industrialisasi nasional terpuruk dan bangsa kita tergantung sepenuhnya pada asing, tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang dalam cara berpikir orang-orang Indonesia. Pandangan anti-teknologi itu muncul beriringan dengan romantisme nasionalisme yang dilontarkan oleh para mulut elit, politisi, ekonomi, bahkan—celakanya—kebanyakan di kalangan ilmuwan.

Pertama-tama, pemikiran anti-teknologis ini memang tidak semata-mata berasal dari dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis intelektual Barat yang melontarkan pentingnya kembali ke akar, alam, dan filsafat Timur. Latarbelakang pemikiran mereka memang berangkat dari persoalan lingkungan hidup di Barat yang disebabkan oleh kapitalisme yang destruktif pada lingkungan dan nilai-nilai humanisme yang menjadi cita-cita para pejuang pencerahan di era dulu.

Idealisme pemikiran ekologis tersebut memang menjadi kebutuhan masyarakat maju Barat yang memang diperlukan dalam masyarakat yang sudah berkelimpahan dan menimbulkan akibat negative pada lingkungan. Akan tetapi, sayangnya, ketika pemikiran tersebut sampai ke Indonesia, ternyata masyarakat kita belum berada dalam suasana berkelimpahan—bahkan memenuhi kesejahteraan hidupnya saja sulit. Kemunafikan terjadi, saat modal Barat mengeksploitasi lingkungan kita secara rakus (hingga sekarang) untuk mengambil minyak, emas, tembaga, uranium, yang digunakan untuk kemajuan teknologi Barat, kita justru terjebak untuk menerima pemikiran anti-industrialisasi dan anti-teknologi itu.

Dan pada saat kita kalah dalam persaingan dengan industrialisasi Barat yang maju, sentiment nasionalisme tradisional berhembus. Hal ini sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemodal lokal agar tidak malu pada rakyatnya karena, selain kalah bersaingm mereka menyerahkan kekayaan kita untuk dijarah demi kemajuan teknologi dan keuntungan pemodal-pemodal asing.

Maka, dalam konteks kepentingan untuk menghembuskan nasionalisme sempit itulah, upaya mengagung-agungkan kearifan lokal. Sudah jelas-jelas bahwa kalahnya Indonesia dalam persaingan global karena industrialisasinya tidak maju, dan hanya tergantung pada imperialism asing, yang dilakukan penguasa kemudian—saat mereka cuek pada nasib rakyat karena hidupnya enak sendiri—adalah justru menumpulkan tenaga produktif rakyat. Bayangkan, jika remaja dan kaum muda tak diberi akses pada pendidikan karena sekolah mahal dan dikomersialisasikan. Yang terjadi adalah jauhnya rakyat dari iilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan. Subsidi pendidikan dikurangi, anggaran pendidikan terbatas, urusan pendidikan diserahkan pada kapitalisme pendidikan. Lalu bagaimana tidak akan muncul kecintaan remaja dan kaum muda pada IPTEK?

Strategi Industrialisasi

Intinya jelas, komitmen untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat tergantung pada pemerintahnya. Selama ini pemerintah hanya mengilusi rakyat dengan ‘kearifan lokal’ yang menunjukkan tingka kemajuan teknologi terbatas saat menghadapi kekuatan asing yang ber-IPTEK maju. Potensi lokal dikembangkan, celakanya menolak teknologisasi modern tetapi hanya mengembangkan sentiment dan perasaan bangga pada lokalitas.

Jika masyarakat Italia bangga dengan kota Milan yang terkenal dengan produk-produk mobil mewajh dan modern, sama halnya dengan masyarakat lokal Jepang yang bangga pada penemuan teknologi yang siap bersaing dalam persaingan global, pemerintah dan bahkan kebanyakan intelektual malah mengangung-agungkan produk tradisional. Yang paling menggejala adalah, tiap-tiap daerah punya produk-produk yang dibanggakan, pada hal produk-produk berkapasitas teknologi rendah dan dengan modal yang terbatas. Kita membangga-banggakan “tempe kripik” (contoh makanan khas), “batik” (industri tekstil), “Reog Ponorogo” (contoh produk budaya), dan semacamnya. Hanya sisa-sisa masyarakat feudal yang berbasis pada teknologi sederhana itulah yang membuat kita bangga dan seakan bahagia, yang konon dapat digunakan untuk bersaing dengan masyarakat internasional.

Tetapi pada kenyataannya untuk teknologi utama yang mendominasi percaturan modal, kita sangat ketinggalan jauh. Pada saat masyarakat Barat dan Asia maju telah menikmati TV plasma, masyarakat kita masih menikmati TV-TV yang mungkin dipakai masyarakat maju sekitar 10 tahun lalu, bahkan masih banyak sebagian yang belum punya TV.

Bahkan untuk urusan produk budaya saja kita tidak begitu serius dan pandai dalam mengolahnya. Terbukti baru saja, seni Reog telah diklaim oleh Malaysia. Belum lagi produk budaya lokal lainnya yang banyak ditinggalkan kaum muda yang tergoda dengan rayuan-rayuan dangkal budaya Barat, yang nantinya akan banyak diklaim sebagai hak kekayaan intelektual Barat juga.

Kearifan lokal memang tidak bisa begitu diandalkan dalam memacu pertumbuhan, dan sayangnya Indonesia masih membangga-banggakan produk lokal yang tidak ada satupun hasil dari perkembangan industrialisasi. Kita hanya menjual produk budaya lama, menjual wisata, menjual seni, tetapi untuk asset dan hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber kekayaan alam yang penting (minyak, emas, tembaga, batubara, uranium, nikel, dan kekayaan alam yang mahal dan menentukan industrialisasi) tidak kita olah—tetapi justru oleh elit-elitnya diserahkan oleh asing.

Strategi industrialisasi kita kacau. Tak heran jika saya bermaksud untuk mewaspadai bahaya pemikiran anti-teknologi. Pada saat masyarakat kita lemah dalam IPTEK, kenapa justru pemikiran anti-teknologis yang muncul dalam berbagai ekspresi (intelektual, gerakan ekologis, keagamaan, politik, dll) justru menyebar? Ini adalah bahaya besar, karena mau tak mau masyarakat kita membutuhkan upaya memacu teknologi.

IPTEK harus ditingkatkan bukan dengan mengorbankan rakyat dan hanya bersandar pada hubungan penjajahan. Kita menerima IPTEK, selama ini, dari luar hanya karena hutang. Kita mengolah industri hanya karena bersandar pada modal asing dengan tingkat pembagian proses dan hasil yang menguntungkan modal asing tersebut.

Karena terdapat fakta bahwa adanya penguasaan industri pertambangan oleh asing, yang ditegaskan sejak Orde Baru mengesahkan UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing), dan itu merupakan jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme (penjajahan). Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan menegoisasi kembali kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)—semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen.

Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

Tidak ada komentar: