Jumat, 21 Desember 2007

Pernyataan Sikap Solidaritas JAMAN


SOLIDARITAS untuk Karyawan PLN Jatim Call Center 1 2 3


TOLAK OUTSORCING DI TUBUH PLN!!!

USUT TUNTAS KORUPSI DI TUBUH PLN!!!

ADILI KORUPTOR DI PLN!!!



Kemadirian nasional negara kita benar-benar dipertaruhkan, bahkan digadaikan. Hal ini secara nyata dapat kita lihat dari fakta bahwa pemerintahan telah mengobral kekayaan alam dan perusahaan-perusahaan negara dengan murah ke pada modal asing.

Belakangan ini kita melihat lagi terjadinya kebobrokan yang menyolok di tubuh salah satu BUMN yang kita miliki. BUMN itu adalah PT PLN (Persero) yang para pejabat-pejabatnya telah melakukan penyelewengan. Anasir-anasir adalanya mis-management dan penyelewengan yang terjadi itu telah lama dicurigai banyak pihak. Selain itu juga muncul keanehan bahwa selalu muncul laporan bahwa PT PLN selalu mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya. Jangan-jangan memang ada upaya sistematis untuk membuat PLN bankcrupt (bangkrut), lalu muncul alasan dari pihak tertentu (pemerintah) untuk menyehatkan PLN dengan cara diprivatisasi.

PLN sendiri dalam menjalankan usahanya telah menempuh kebijakan outsorcing untuk benberapa sektor usaha. Outsorcing adalah salah satu bentuk imperialisme ekonomi karena didasarkan pada pembuatan hubungan kerja antara buruh dan majikan yang longgar, artinya tidak ada ikatan antara karyawan/buruh dengan pengusaha (flexible labor market). Legitimasi outsorcing adalah UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, sebuah produk hukum yang merugikan kaum buruh/pekerja karena melemahkan mereka di hadapan pengusaha.

Alasannya adalah adanya efektifitas dan efisiensi—suatu prinsip yang seringkali digembor-gemborkan oleh tatanan neoliberalisme yang terbukti bersifat predatoris di Indonesia. Lalu efektifkan perusahaan PLN dengan adanya outsorcing ini?

Mengingat PT. PLN adalah perusahaan satu-satunya milik negara yang bergerak dibidang pembangkit listrik dan sekaligus distribusinya di Indonesia, serta seluruh bidang pekerjaan di PT. PLN sebenarnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi PT. PLN untuk menerapkan sitem kerja out sourcing terhadap sebagian pekerjanya.

Efisien kah? Ternyata malah sebaliknya. Buktinya perusahaan malah merugi. Ootsorcing yang diterapkan PLN tidak berjalan dan bahkan sarat dengan unsur KORUPSI, nepotisme, dan lain sebagainya. Perusahaan outsorcing yang ada ternyata didirikan oleh pejabat-pejabat PLN sendiri dengan prosedur yang kacau dan tidak memenuhi standar formal-legal (hukum dan peraturan yang ada), lagi-lagi karena nepotisme dan korupsi.

Untuk memilih perusahaan outsorcing yang seharusnya melalui mekanisme membuka tender terbuka, ternyata perusahaan (PLN) melakukan penunjukan langsung (PL), dan bukannya pelelangan terbuka. PLN dalam hal ini melakukan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) berkaitan dengan penunjukan langsung Penunjukan Langsung beberapa perusahaan untuk melaksanakan Proyek Outsourcing untuk beberapa sector di PLN.


Keruwetan akibat kebijakan outsorcing ini belakangan terbuka dengan adanya gerakan yang dibuat oleh karyawan PLN Jawa Timur yang menuntut bekerja tetap. Mereka menuntut dan bergerak karena pada awalnya direkrut atas nama PLN, pada saat tes masuk dan bahkan sudah ditraining. Tetapi mereka dipekerjakan di perusahaan Outsorcing (PT. Artho Ageng), pada hal mereka ingin menjadi karyawan tetap PLN (Persero).

Oleh karenanya mereka menuntut hak-haknya dan mereka sekaligus membuka apa yang terjadi di tubuh PLN, kebusukan-kebusukan yang ada akibat rusaknya manajemen dan merajanya korupsi. Secara kronologis, mereka melalui serikat buruh Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), telah mengirimkan surat permintaan untuk bertemu secara langsung dengan Direksi PLN untuk meminta kejelasan dan menuntut hak mereka sebagai karyawan tetap. Sudah dua kali kirim surat tetapi tak digubris. Oleh karenanya mereka datang ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutannya ke pemerintah pusat. Dan pada hari Jumat, tanggal 14 Desember 2007 lalu mereka terpaksa berunjuk rasa menekan agar diberi ruang-waktu untuk bertemu direksi. Tetapi tuntutan tersebut tak terpenuhi. Hingga kini ke-6 karyawan tersebut masih berada di Jakarta—mereka bertekad tak akan kembali pulang sebelum permintaan mereka dipenuhi.


Lebih jauh, tuntutan buruh/karyawan yang juga pengurus dan anggota FNPBI SBTK PLN Jatim ini juga mengungkap lebih jauh tentang adanya korupsi dan penyimpangan yang mereka temukan. Ada dua kasus utama yang kami temukan, yaitu Mark Up dan Penyimpangan dalam hal pengadaan barang yang melalui penunjukan langsung (PL) yang menyalahi ketentuan PLN dan Pemerintah.

Sebagaimana laporan Biro Hukum dan Advokasi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), mark up dilakukan dengan memberikan nilai/harga yang lebih besar (relatif sangat besar) dari harga yang sejatinya, tujuannya agar selisih harga ini daat masuk di kantong pejabat yang berwenang.

Dalam hal ini, bahkan pihak PLN sendiri membuat ketentuan pengadaan barang dan jasa yang menyimpang jauh dari KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH. Dalam Keppres ini ditetapkan bahwa pengadaan barang/jasa yang harus diadakan dengan pembentukan panitia pengadaan adalah minimal Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Tetapi PT. PLN sendiri malah mengeluarkan ketentuan tentang nilain minimal barang/jasa pengadaan dengan jumlah yang jauh lebih besar, yaitu Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Lihat Ketentuan pengadaan barang berdasarkan pengadaan barang/jasa di lingkungan PT. PLN (Persero) menetapkan bahwa: “panitia pengadaan wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Dari fakta-fakta dan kondisi di atas, maka kamu yang bergabung dalam Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.AM.A.N) menyatakan mendukung dan memberikan solidaritas terhadap perjuangan kawan-kawan karyawan PT. PLN (Persero) untuk:

  1. Menuntut Hak-Haknya sebagai Karyawan Tetap PT. PLN (Persero)!!!

  2. Menolak Kebijakan Outsorcing di tubuh PLN dan di manapun!!!

  3. Mengadili para KORUPTOR di tubuh PLN!!!


Kami juga menyerukan:

  1. Selamatkan aset bangsa dari komersialisasi dan privatisasi!

  2. Cabut UUK No. 13 tahun 2003 dan buat UU Ketenagakerjaan yang Pro-Buruh dan pro-Kemandirian nasional!!!

  3. Menjadikan kasus PLN ini sebagai dasar bagi terciptanya gerakan menyelamatkan aset-aset bangsa dari jarahan kaum modal asing dan lokal yang anti-kesejahteraan rakyat, mewujudkan kemandirian nasional di bidang Ekonomi!!



Demikian pernyataan solidaritas ini kamu buat, atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.


Jakarta, 18 Desember 2007


Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian nasional

(J.A.M.A.N)






Gigih Guntoro Iwan Dwi Laksono

Ketua Umum Sekretaris Jenderal



Sabtu, 15 Desember 2007

Esai Slamet Riyanto


Kaum Muda Jangan Lupa Sejarah!

Oleh: Slamet Riyanto*)

Sudahkah pendidikan kita memberikan motivasi historis pada anak didik kita dan kaum muda kita? Atau jangan-jangan kita telah terlampau mengeluarkan banyak biaya dan energi untuk membuat produk-produk budaya yang membuat remaja dan kaum muda kita cengeng. Berbagai media menyuguhkan kisah cengeng remaja dan kaum muda, tanpa memberikan stimulan kritis. Sementara, di dalam kelas, pelajaran sejarah hanya memberikan manipulasi histroris, pelajaran sejarah yang menyingkirkan nama-nama dan peran-peran para pejuang-pejuang rakyat. Tokoh penindas rakyat justru disanjung-sanjung dalam buku-buku palsu.

Kaum muda harus diberi tahu tentang masa lalu yang kelam dan peran tokoh-tokoh besar dan gerakan rakyat dalam melawan penjajahan. Mereka tak boleh lupa akan sejarah sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Jas Merah! Jangan Lupakan Sejarah!” Dengan belajar sejarah yang memfokuskan pada pemikiran dan tindakan orang-orang besar dan partisipasi perjuangan massa, kaum muda harus percaya diri dan mempunyai jiwa besar, heroisme harus dimiliki karena ia merupakan semangat yang meminimalisir pragmatisme dan oportunisme.

Sejarah Penjajahan

Satu persatu hutan kita lenyap karena pohon-pohonnya ditebang dan dijual begitu saja keluar negeri. Satu persatu tambang minyak dan mineral kita dikuras isinya oleh tangan-tangan asing karena keserakahan dan kedunguan pejabat-pejabat kita. Satu persatu tanah subur kita lenyap berganti menjadi perumahan sehingga untuk mencukupi beras bagi rakyat, negeri ini terpaksa harus membeli dari negeri tetangga. Satu persatu saudara-saudara kita pergi ke negeri manca untuk mencari penghidupan gara-gara sebagian besar pengurus negeri ini lebih sibuk mengurus diri sendiri dan keluarga sendiri. Negeri macam apakah ini? Mengapa perilaku saat kolonialisme Belanda bercokol, yaitu suka bermewah-mewah dan untuk membiayai bermewah-mewah itu, meminta bantuan kolonialisme Belanda dengan kompensasi menyerahkan sumber kekayaan alam begitu saja kepada pemerintah kolonial Belanda, masih terus hidup dan menggurita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dari sisi mana kita menyebut negeri ini merdeka?

Dalam kurun sejarah kapitalisme dan imperialisme global saat ini, negeri-negeri yang gagal membangun kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya niscaya cepat atau lambat akan berantakan di segala sektornya. Bangsa yang bodoh sadar tak sadar akan selalu berjalan dengan saling menjegal dan menghisap satu sama lain. Sehingga setiap langkah tindakannya tak akan efektif dan boros. Sementara bangsa yang tak mandiri akan selalu menjadi korban dari kekuatan-kekuatan sejarah di pentas global. Menjadi bangsa korban sejarah, bukan bangsa penentu sejarah.

Pertanyaanyang lebih dalam lagi yang penting untuk diajukan ialah: “Telah menjadi rakyat macam kita ini sehingga negeri yang kita miliki bersama menjadi sedemikian terbelakang?”

Konsepsi ‘rakyat’ memiliki arti suatu kolektivitas yang sadar dan bisa merasakan penderitaan dan keterbelakangan negerinya sehingga karena itu tumbuh kemauannya untuk berjuang membangun bangsa dan negaranya. Konsepsi ‘rakyat’ ini bisa kita bedakan dari konsep ‘priyayi’ yang hanya bisa pusing dan marah jika kepentingan diri dan keluarganya dilanggar, namun sama sekali biasa-biasa saja dengan penderitaan dan nasib bangsanya. ‘Rakyat’ adalah suatu kehendak kolektif untuk membangun suatu negeri yang mampu menegakkan dan menjaga kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Sementara ‘priyayi’ adalah sebutan bagi suatu alam kehidupan yang sibuk dengan dinding-dinding tebal kepentingannya sendiri.

Negeri ini telah terlalu penuh sesak dengan mentalitas-mentalitas priyayi yang, persis seperti pendahulunya di masa kolonialisme Belanda, suka bermewah-mewah di atas penderitaan bangsa dan negara. Mereka puas dan bangga jika kemakmuran dan ketinggian status sosialnya telah tercapai, dan sama sekali tak mau tahu dan apatis dengan keterbelakangan dan ketidakadilan sosial yang menyelimuti kehidupan rakyat. Maka, tak bisa tidak, negeri ini harus dibersihkan dari mentalitas-mentalitas kepriyayian yang korup dan manipulatif itu.

Regenerasi

Tapi, bagaimana bisa membangun sebuah bangsa yang punya semangat membangun bangsa dan negaranya jika anak-anak muda terus-menerus dibiarkan dibombardir oleh gaya hidup yang hedonis dan asosial seperti yang digambarkan lewat media massa saat ini? Bagaimana bisa negeri ini punya kader bangsa yang hebat-hebat jika mentalitas yang terus diajarkan dan ditanamkan lewat berbagai acara televisi adalah mentalitas yang sibuk puas dan berbangga dengan kepentingan-kepentingan diri sendiri, dengan kesenangan-kesenangan sendiri? Mengapa orang tua membiarkan hal ini berlangsung begitu saja? Atau bahkan mengapa orang tua malah mendorong anak-anak muda untuk menjadi demikian? Tak bisakah orang-orang tua di negeri ini mencari kekayaan tanpa harus merusak mental-intelektual anak-anak muda?

Institusi-institusi sosial yang seharusnya melahirkan kader-kader bangsa, seperti sekolah maupun organisasi sosial politik, dalam kenyataannya malah menjadi pusat pengkaderan mentalitas-mentalitas feodal dan kepriyayian yang baru dimana ukuran penilaian terhadap anak-anak muda diukur berdasarkan kepatuhannya secara membuta dan kebisuannya di hadapan orang-orang tua. Mentalitas dan intelektualitas yang pembisu dan pembudak justru berkembang di institusi-institusi yang seharusnya menjadi garda depan proses kemajuan mental-intelektual bangsa. Anak-anak muda justru dilatih untuk mengekor kebiasaan dan budaya orang tua. Bagaimana mungkin kecerdasan dan kemandirian anak-anak muda yang merupakan fondasi bagi kecerdasan dan kemandirian bangsa bisa tercipta dari situasi kolektif semacam itu?

Membangun banyak wadah baru bagi penggodokan kualitas-kualitas mental-intelektual anak-anak muda yang lebih cerdas dan mandiri merupakan suatu langkah kebudayaan yang mesti harus dilakukan untuk membalik nasib dan alam sejarah negeri ini. Anak-anak yang masih menjaga kecerdasan dan kemandirian mental-intelektualnya harus bekerjasama dengan orang-orang tua yang berpikiran jauh ke depan dan egaliter untuk membangun wadah-wadah baru yang akan melahirkan kader-kader bangsa yang cerdas dan mandiri. Mereka harus bersama-sama membangun dan mengelola wadah-wadah yang akan menggembleng kualitas-kualitas mental-intelektual terbaik dalam diri anak-anak bangsa sejak dini. Proses kolektif untuk melahirkan generasi-generasi dengan kualitas mental-intelektual yang hebat harus dijalankan agar anak-anak yang muda yang cerdas dan gelisah mencari jalan tak bingung dan lenyap dalam apatisme karena merasa sendirian.

Kemandirian dan kaum muda sesungguhnya merupakan dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dirawat oleh suatu bangsa dan negara jika bangsa dan negara itu tak ingin sejarah dirinya penuh dengan perilaku-perilaku yang menggerogoti fondasi-fondasi dasar dan sumber-sumber dari kedaulatannya sendiri. Keduanya merupakan harta tak ternilai bagi suatu bangsa dan negara sebagai anugerah Ilahi. Kemandirian merupakan sumber kekuatan ruhaniah sekaligus material bagi tegak berdiri dan majunya gerak suatu bangsa. Sementara kaum muda adalah sumber energi ruhaniah dan juga material yang luar biasa berlimpah yan bisa dimobilisasi dan diorganisir untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar bangsa dan negara menuju kemajuannya.

Bangsa yang tak menghargai keduanya niscaya akan ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang mediokre dan terbelakang. Bagaikan tikus mati di lumbung padi, bahkan meski dianugerahi kekayaan dan kesuburan alam yang luar biasa berlimpah, namun jika suatu bangsa menanggalkan kemandiriannya dan membiarkan anak-anak mudanya menjadi anak-anak muda yang terasing dari sejarah negerinya dan bahkan dianggap sebagai lawan dalam dunia karir dan ekonomi, maka bangsa tersebut akan tumbuh kerdil dan merana di tengah-tengah pergaulan antar-bangsa. Paling banter akan menjadi bangsa yang suka mengeluh dan hanya pandai iri dan dengki dengan keberhasilan negara-negara lain. Suka mengkhayal tentang kebesaran masa lalunya maupun kebesaran masa kini yang semu. Padahal, terbelakang di antara bangsa-bangsa. Tak pernah serius mencipta karya dan prestasi yang hebat di atas kakinya sendiri karena memang anti-kemandirian dan menjauhkan diri dari anak-anak muda.

Maka, mari bersama-sama menjadi bangsa yang mencintai kemandirian dan anak-anak muda. Mari membangun sejarah Indonesia yang lebih gilang-gemilang dengan bekerja secara sungguh-sungguh menanamkan jiwa dan kecakapan berdikari di dalam diri pemuda Indonesia sehingga suatu saat kelak, anak-anak Indonesia di masa depan akan bangga dengan masa lalunya dan punya karakter kemandirian yang kuat.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.

MASYARAKAT ANTI-TEKNOLOGIS

Masyarakat Anti-Teknologis

Oleh: Slamet Riyanto

Pada saat industrialisasi nasional terpuruk dan bangsa kita tergantung sepenuhnya pada asing, tanpa kita sadari ada kecenderungan anti-teknologis yang berkembang dalam cara berpikir orang-orang Indonesia. Pandangan anti-teknologi itu muncul beriringan dengan romantisme nasionalisme yang dilontarkan oleh para mulut elit, politisi, ekonomi, bahkan—celakanya—kebanyakan di kalangan ilmuwan.

Pertama-tama, pemikiran anti-teknologis ini memang tidak semata-mata berasal dari dalam negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran filosofis intelektual Barat yang melontarkan pentingnya kembali ke akar, alam, dan filsafat Timur. Latarbelakang pemikiran mereka memang berangkat dari persoalan lingkungan hidup di Barat yang disebabkan oleh kapitalisme yang destruktif pada lingkungan dan nilai-nilai humanisme yang menjadi cita-cita para pejuang pencerahan di era dulu.

Idealisme pemikiran ekologis tersebut memang menjadi kebutuhan masyarakat maju Barat yang memang diperlukan dalam masyarakat yang sudah berkelimpahan dan menimbulkan akibat negative pada lingkungan. Akan tetapi, sayangnya, ketika pemikiran tersebut sampai ke Indonesia, ternyata masyarakat kita belum berada dalam suasana berkelimpahan—bahkan memenuhi kesejahteraan hidupnya saja sulit. Kemunafikan terjadi, saat modal Barat mengeksploitasi lingkungan kita secara rakus (hingga sekarang) untuk mengambil minyak, emas, tembaga, uranium, yang digunakan untuk kemajuan teknologi Barat, kita justru terjebak untuk menerima pemikiran anti-industrialisasi dan anti-teknologi itu.

Dan pada saat kita kalah dalam persaingan dengan industrialisasi Barat yang maju, sentiment nasionalisme tradisional berhembus. Hal ini sesuai dengan kepentingan penguasa dan pemodal lokal agar tidak malu pada rakyatnya karena, selain kalah bersaingm mereka menyerahkan kekayaan kita untuk dijarah demi kemajuan teknologi dan keuntungan pemodal-pemodal asing.

Maka, dalam konteks kepentingan untuk menghembuskan nasionalisme sempit itulah, upaya mengagung-agungkan kearifan lokal. Sudah jelas-jelas bahwa kalahnya Indonesia dalam persaingan global karena industrialisasinya tidak maju, dan hanya tergantung pada imperialism asing, yang dilakukan penguasa kemudian—saat mereka cuek pada nasib rakyat karena hidupnya enak sendiri—adalah justru menumpulkan tenaga produktif rakyat. Bayangkan, jika remaja dan kaum muda tak diberi akses pada pendidikan karena sekolah mahal dan dikomersialisasikan. Yang terjadi adalah jauhnya rakyat dari iilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan. Subsidi pendidikan dikurangi, anggaran pendidikan terbatas, urusan pendidikan diserahkan pada kapitalisme pendidikan. Lalu bagaimana tidak akan muncul kecintaan remaja dan kaum muda pada IPTEK?

Strategi Industrialisasi

Intinya jelas, komitmen untuk meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat tergantung pada pemerintahnya. Selama ini pemerintah hanya mengilusi rakyat dengan ‘kearifan lokal’ yang menunjukkan tingka kemajuan teknologi terbatas saat menghadapi kekuatan asing yang ber-IPTEK maju. Potensi lokal dikembangkan, celakanya menolak teknologisasi modern tetapi hanya mengembangkan sentiment dan perasaan bangga pada lokalitas.

Jika masyarakat Italia bangga dengan kota Milan yang terkenal dengan produk-produk mobil mewajh dan modern, sama halnya dengan masyarakat lokal Jepang yang bangga pada penemuan teknologi yang siap bersaing dalam persaingan global, pemerintah dan bahkan kebanyakan intelektual malah mengangung-agungkan produk tradisional. Yang paling menggejala adalah, tiap-tiap daerah punya produk-produk yang dibanggakan, pada hal produk-produk berkapasitas teknologi rendah dan dengan modal yang terbatas. Kita membangga-banggakan “tempe kripik” (contoh makanan khas), “batik” (industri tekstil), “Reog Ponorogo” (contoh produk budaya), dan semacamnya. Hanya sisa-sisa masyarakat feudal yang berbasis pada teknologi sederhana itulah yang membuat kita bangga dan seakan bahagia, yang konon dapat digunakan untuk bersaing dengan masyarakat internasional.

Tetapi pada kenyataannya untuk teknologi utama yang mendominasi percaturan modal, kita sangat ketinggalan jauh. Pada saat masyarakat Barat dan Asia maju telah menikmati TV plasma, masyarakat kita masih menikmati TV-TV yang mungkin dipakai masyarakat maju sekitar 10 tahun lalu, bahkan masih banyak sebagian yang belum punya TV.

Bahkan untuk urusan produk budaya saja kita tidak begitu serius dan pandai dalam mengolahnya. Terbukti baru saja, seni Reog telah diklaim oleh Malaysia. Belum lagi produk budaya lokal lainnya yang banyak ditinggalkan kaum muda yang tergoda dengan rayuan-rayuan dangkal budaya Barat, yang nantinya akan banyak diklaim sebagai hak kekayaan intelektual Barat juga.

Kearifan lokal memang tidak bisa begitu diandalkan dalam memacu pertumbuhan, dan sayangnya Indonesia masih membangga-banggakan produk lokal yang tidak ada satupun hasil dari perkembangan industrialisasi. Kita hanya menjual produk budaya lama, menjual wisata, menjual seni, tetapi untuk asset dan hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber kekayaan alam yang penting (minyak, emas, tembaga, batubara, uranium, nikel, dan kekayaan alam yang mahal dan menentukan industrialisasi) tidak kita olah—tetapi justru oleh elit-elitnya diserahkan oleh asing.

Strategi industrialisasi kita kacau. Tak heran jika saya bermaksud untuk mewaspadai bahaya pemikiran anti-teknologi. Pada saat masyarakat kita lemah dalam IPTEK, kenapa justru pemikiran anti-teknologis yang muncul dalam berbagai ekspresi (intelektual, gerakan ekologis, keagamaan, politik, dll) justru menyebar? Ini adalah bahaya besar, karena mau tak mau masyarakat kita membutuhkan upaya memacu teknologi.

IPTEK harus ditingkatkan bukan dengan mengorbankan rakyat dan hanya bersandar pada hubungan penjajahan. Kita menerima IPTEK, selama ini, dari luar hanya karena hutang. Kita mengolah industri hanya karena bersandar pada modal asing dengan tingkat pembagian proses dan hasil yang menguntungkan modal asing tersebut.

Karena terdapat fakta bahwa adanya penguasaan industri pertambangan oleh asing, yang ditegaskan sejak Orde Baru mengesahkan UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing), dan itu merupakan jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme (penjajahan). Bagaimanapun juga, penguasaan sumber-sumber pendapatan yang penting bagi negara adalah landasan bagi terwujudnya program-program mendesak rakyat.

Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi semacam ini. Yang pertama adalah dengan jalan menegoisasi kembali kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS). Langkah ini ditempuh oleh Bolivia. Pada tanggal 1 Mei 2006 lalu, sekaligus dalam rangka peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)—semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen.

Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.

Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalti. Jika diasumsikan bahwa investor akan lari karena hal-hal tersebut, itu hanyalah rasa takut yang tidak beralasan. Hal tersebut telah terbukti di Venezuela. Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga.***

*) Slamet Riyanto, peminat masalah Lingkungan Hidup, s.arjana Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y), pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur.