Senin, 27 Agustus 2007

UPAYA INTIMIDASI HAK POLITIK HARUS DILAWAN!!!


Oleh:
Iwan Dwi Laksono,
Sekretaris Jenderal JAMAN, mantan Ketua Eksekutif Nasional LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi).

Sudahkah kemandirian politik di negeri ini terwujud? Sudahkah demokrasi di negeri ini ada?
Sejak Soeharto tumbang, setelah 32 tahun rakyat dijauhkan dari politik, sudahkan kini politik menjadi milik rakyat?

Melihat gejala politik akhir-akhir ini, nampaknya jawaban dari pertanyaan di atas nampak jelas. Di negeri ini, membangun sebuah partai politik nampaknya masih belum dianggap hak bagi warga negara. Apa lagi, membangun partai politik untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu 2009 nanti juga akan sulit karena terbentur dengan UU Politik baru yang naga-naganya mempersulit partaai-partai kecil dan partai baru untuk lolos sebagai peserta pemilu karena harus memenuhi syarat-syarat yang akan mencerminkan partai-partai politik besar yang saat ini berkuasa.
Selain masalah itu, akhir-akhir ini ada pula gejala yang cukup menampar wajah demokrasi kita. Penyerangan beberapa ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) Forum Betawi Rembug (FBR) terhadap acara yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) di Jakarta beberapa waktu yang lalu juga merupakan kejadian yang sangat memalukan dalam sebuah negara yang konon didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Sejak semula, konsolidasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) tak berjalan mulus. Sekelompok massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rembuk (FBR) menghadang konvoi Papernas supaya mereka membubarkan diri.

Kita tahu bahwa menuduh tanpa dasar hukum dan fakta merupakan kebiasaan yang sangat buruk, apalagi tuduhan itu diikuti dengan kebencian dan menggunakan cara-cara kekerasan, merusak dan mengintimidasi hingga mengorbankan pihak yang diserang. Tuduhan bahwa Papernas adalah 'komunis' mestinya harus dibuktikan secara seksama dengan ditempuh melalui jalur hukum. Masalahnya, tuduhan 'komunis' terhadap suatu organisasi atau gerakan yang muncul dari rakyat seringkali digunakan sejak jaman Orde Baru sebagai pemerintahan yang memang ingin menghalau kekuatan demokratik yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Stigma 'komunis' seakan menjadi makanan basi yang terus saja dikunyah-kunyah dan disemburkan setiap ada kepentingan tertentu dari kekuasaan atau kelompok masyarakat yang memiliki klik dengan kekuasaan.

Dalam kaitannya dengan pendirian partai politik yang ingin melibatkan diri dalam pemilu, yang berhak menentukan lolos atau tidaknya sebuah partai dengan mengacu syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang adalah pihak yang berwenang, yaitu Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lolos tidaknya sebuah partai politik akan ditentukan oleh syarat-syarat yang ditentukan dan bukannya oleh fitnah-fitnah politis yang ditujukan untuk mengintimidasi dengan tujuan politik tertentu. Berpolitik dan berdemokrasi diatur oleh kaidah hukum yang berlaku. Jika hukum yang ada dilanggar, dan jika aparat penegak hukum dikakangi otoritasnya, maka demokrasi akan mengarah pada chaos. Tambahan lagi, kekerasan harus diharamkan dalam negara yang diatur oleh hukum, demokrasi, dan HAM.

Jaminan Hak Politik
Hak politik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia, menurut UU No. 39/1999 Pasal 1 (butir 1) adalah 'seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak politik adalah hak asasi manusia yang berkenaan dengan seorang individu vis-a-vis masyarakat publik, kelakuan pemerintah, dan bagaimana individu itu berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi masyarakat berdasarkan kemanfaatan yang dapat diperolehnya. Hak ini adalah hak-hak yang memastikan peluang seorang anggota masyarakat yang membuat/merubah/mengusulkan/mengatur kebijakan publik pemerintahan, yang mempengaruhinya (Conde, 1999: 109). Hak politik ini termasuk dalam 'Hak Asasi Manusia Generasi Pertama' yang melindungi hak-hak seseorang untuk berpartisipasi di dalam mengarahkan dan mengembangkan sebuah masyarakat, seperti hak untuk memilih dan untuk menjalankan pemerintahan.

Deklarasi Universal HAM menyebutkan hak politik itu di dalam Pasal 2, ayat (1), (2), dan (3), meliputi hak untuk ikut serta di dalam pemerintahan, hak atas pelayanan publik, dan kehendak rakyat harus menjadi dasar kewenangan pemerintah (Lawson, 1996: 1172-8). Hak ini juga disebutkan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 23 (1) yang secara eksplisit menyatakan hak ikut serta di dalam pengaturan urusan publik, secara langsung atau lewat perwakilan, hak untuk memilih dan dipilih, secara langsung atau lewat perwakilan, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, dan hak atas akses ke pelayanan publik--rumusan yang mirip juga terdapat dalam The American Convention on Human Right. Hal yang sama juga ditekankan oleh Pasal 5 dari Konvenan Internasional tentang Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan bahkan pasal 7 dan pasal 8 dari konvenan yang terakhir ini amat menekankan kewajiban negara untuk menghapuskan diksriminasi hak politik terhadap perempuan.

Dasar negara kita juga dengan tegas mengatur bahwa hak-hak politik sangat dijamin. Setiap warga negara bebas berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dan pikirannya. Apa yang dilakukan Papernas adalah untuk menegaskan hak-hak politiknya, membangun sebuah alat politik yang digunakan untuk mencapai tujuannya dalam membangun bangsa yang kian hari-kian terpuruk secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Apapun organisasi politik yang tumbuh, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan HAM sudah seharusnya dibiarkan tumbuh dan berkembang. masyarakat sipil adalah sebuah arena bagi setiap warga negara dan kelompok untuk mengkontestasikan gagasannya. Setiap ruang publik (public sphere) harus dijaga kewibawaannya, tidak boleh ada siapapun yang menghadang orang atau kelompok yang ingin berkontestasi. Dalam panggung kontestasi politik yang ada itu, rakyat akan menentukan pilihannya dan bertindak untuk menjalankan hak-hak politiknya.

Partai Politik Alternatif
Tindakan FPI dan FBR memang merupakan batu sandungan bagi demokrasi kita. Ruang-ruang politik yang ada tidak dapat berjalan secara alamiah dengan tindakan-tindakan anti-demokrasi semacam itu. Pada hal, di tengah-tengah apatisme rakyat yang butuh saluran alternatif karena kebuntuan yang dilakukan oleh sistem politik kita, dibutuhkan suatu organisasi-organisasi baru yang bisa mewarnai. Masih banyak masyarakat yang masih optimis dengan lahirnya partai-partai baru. Masalahnya, kontradiksi masyarakat yang kian menajam dengan penindasan terhadap rakyat selalu memunculkan kekuatan yang dapat membaca situasi dan menggulirkan gerakan politik yang didasarkan pada kondisi objektif yang ada. Penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat di satu sisi memang akan membawa apatisme politik yang berlebihan, tetapi di sisi lain juga akan menyadarkan rakyat untuk membangun suatu kekuatan politik karena perubahan tidak lepas dari proses politik. Keresahan-keresahan massa yang diwujudkan dengan reaksi dan aksi kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi melalui organisasi yang membawa program-program anti-penindasan dengan ideologi, program, strategi-taktik, dan tindakan maju masih dapat dilakukan ke depan.

Kita bisa belajar dari pengalaman Amerika Latin, di mana kemorosotan kesejahteraan rakyat justru melahirkan partai-partai politik yang lahir dari gerakan rakyat. Pemiskinan yang terjadi akibat neoliberalisme yang lebih lama terjadi sepuluh tahun lebih awal dibanding Indonesia membuat partai-partai politik di sana justru dipandang sebagai alat politik untuk merubah nasib rakyat. Sebagian besar partai kerakyatan itu juga memenangkan pemilu di beberapa negara. Partai Gerakan Republik Ke Lima (MVR) di Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez memenangkan dua periode pemilu secara meyakinkan dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Di Bolivia, MAS berhasil menempatkan Evo Morales sebagai presiden terpilih dengan kemenangan telak. Sebelumnya—meski dalam program dan praktek kebijakannya berbeda dari dua kekuatan politik di atas—Partindo Trabalhadores (PT) berhasil menjadikan Lula Da Silva sebagai presiden pertama sepanjang sejarah Brasil yang berasal dari kalangan buruh dan kemudian terpilih kembali beberapa waktu yang lalu. Terakhir, Front Sandinista Liberation National (FSLN) di Nikaragua berhasil menggenapkan re-komposisi kekuatan politik di Amerika Latin dengan memenangkan Daniel Ortega sebagai presiden terpilih pada pemilu 2006 lalu. Di Peru dan Mexico meski belum berhasil meraih kemenangan elektoral, partai politik yang berbasis gerakan rakyat telah menjadi penantang serius dalam pemilu di masing-masing negaranya. Bahkan Partindo Revolucion Democratica (PRD) di Mexico berhasil menghimpun suara terbesar sepanjang sejarah berdirinya partai tersebut pada pemilu yang lalu.

Krisis kesejahteraan akibat neoliberalisme yang terlambat satu dekade dibanding Amerika Latin tentunya masih memberikan landasan bagi rakyat untuk belajar. Dialektika material akan memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi masyarakat. Keberadaan partai politik juga akan diuji dengan perkembangan hubungan penindasan yang ada. Rakyat bisa jadi bangkit seperti pada awal masa pergerakan ketika kontradiksi penjajahan Belanda pada akhirnya mengajarkan bahwa perjuangan perubahan hanya dapat ditempuh secara efektif dengan organisasi politik. Kemunculan Boedi Oetomo waktu itu menandai dimulainya fase baru perjuangan melalui organisasi dan partai politik. Tentunya yang dibtuhkan adalah partai-partai yang memiliki ide yang maju, program yang menjawab masalah rakyat, serta memiliki tindakan konkrit dan konsisten, terutama dalam melakukan pendidikan politik yang objektif dan tidak hanya sekedar mengobarkan sentimen reaksioner dan rasis.***

FORMALIN DALAM NASIONALISME INDONESIA

Oleh:
Ken Ratih Indri Hapsari,

Bidang Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan JAMAN
Sarjana Sosiologi, aktif di Komunitas Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial.

Di bulan agustus ini bersamaan dengan momentum peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-62, ada banyak (berita) kejutan bagi masyarakat Indonesia. Selain persoalan kekeringan yang rutin melanda setiap tahunnya dipertengahan tahun, adalah persoalan embargo Cina terhadap ekspor ikan dari Indonesia. Pemberitaan yang ugal-ugalan mengenai embargo Cina pada ikan asal Indonesia diawali dengan hiruk-pikuknya pemberitaan produk kosmetik dan makanan dari Cina di Indonesia yang diindikasikan mengandung formalin.

Formalin di negara Uni Eropa dilarang segala jenis penggunaannya termasuk dalam pengawetan mayat sekalipun. Hal tersebut dikarenakan Formaldehid digolongkan sebagai bahan berbahaya kerena bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah Indoensia melarang produk-produk dari Cina yang diidentifikasi mengandung zat berbahaya tersebut. Entah bagaimana prosedur pencegahan masuk dan dan dipasarkannya produk berbahaya di Indonesia. Ada hal aneh dalam penanggulangan persoalan produk berformalin asal Cina. Pasalnya, kosmetik dan gula-gula asal Cina tersebut dirasia secara langsung di pasar-pasar tradisional oleh dinas kesehatan setempat diikuti oleh pemberitaan langsung mengenai proses rasia tersebut di berbagai media elektronik maupun media cetak di tanah air.

Pemberitaan besar-besaran mengenai berbahayanya produk Cina yang terkontaminasi bahan berbahaya kian genjar di bulan kemerdekaan ini, padahal produk tersebut sudah ada dipasaran jauh-jauh waktu sebelumnya. Selain itu, bukankah produk tersebut sudah berhasil lolos hingga masuk pasaran, yang seharusnya menandakan kualitas produk karena terlebih dahulu telah diuji kelayakan untuk dikonsumsi.

Hal mengejutkan yang didapatkan dari berita akhir-akhir ini adalah larangan impor ikan asal Indonesia disinyalir sebagai suatu pembalasan Cina atas pemboikotan produk Cina di pasar Indonesia. Ikan asal Indonesia yang selama ini diandalkan dan diakui keamanannya oleh masyarakat dunia, oleh Cina diidentifikasi mengandung zat berbahaya seperti, toksin, pathogen dan bahan kimia lainnya.

Yang membuat sia-sia secara substansial, pemberitaan tersebut cenderung digiring pada sudut perseteruan antara Indonesia-Cina, bukan pada substasi perlindungan hak asasi konsumen yang terabaikan. Secara politis perseteruan yang diciptakan oleh hiruk-pikuknya pemberitaan memiliki kepentingan politis yang patut dicurigai. Selain persoalan tersebut sudah basi, pengangkatan pemberitaan yang berlebihan mengapa bebarengan dengan momentum hari kemerdekaan RI.

Nasionalisme yang Tercabik
Selain Formalin, bumbu nasionalisme yang ditampilkan dalam rangka menyedapkan ritual tujuhbelas-an adalah pemberitaan penemuan (padahal bukan hal baru) lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Roy Suryo dari museum di Belanda dalam versi tiga stanza. Di mana menjadi alasan lagu ‘temuan’ tersebut terus menerus dilantunkan dan ditampilkan teksnya pada setiap ulasan yang terus menerus menjadi item berita di tanah air akhir-akhir ini. Nasionalisme adalah ideologi yang seringkali dimanfaatkan oleh elite penguasa untuk mempertahan kekuasan dan sistem pemerintahan bopengnya yang bertopeng atas nama kepentingan rakyat dan berlindung di balik tameng barisan rakyat cinta tanah air.

“Ganyang Malaysia” adalah politik slogan Soekarno untuk mengalihkan perhatian rakyat sehingga berkonsentrasi pada semangat nasionalisme. Selanjutnya,Rezim Soeharto selama 32 tahun memerintah Indonesia, menggunakan strategi pasar untuk menaikkan pendapatan penduduk sehingga pertumbuhan ekonomi naik drastis disertai pemberitaan luar biasa mengenai kemajuan pembagunan Indonesia. Namun, pada kenyataanya hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sebagian besar masyarakat digencet kemandirian ekonominya dan dikebiri kemerdekaan berpendapatnya. Maka untuk mengatasi gejolak rakyat dalam tataran psikologi massa disebarluaskanlah imaji bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya luhur yang tak boleh dinodai budaya asing. Anehnya, budaya asing dibayangkan sebagai sikap, nilai, serta pandangan hidup yang tidak pantas, akan tetapi di sana tidak termasuk modal asing untuk dihindari.

Selama ini nasionalisme yang digunakan oleh penguasa adalah jenis nasionalisme artikuaris, yaitu, nasionalisme yang selalu mengkaitkan dengan sejarah kejayaan masa lalu tanpa melihat keterkaitan dengan masa sekarang terlebih masa depan. Nasionalisme yang selalu mengangung-agungkan sejarah dan kebudayaan bangsa, namun pelaksanaanya pada keadaan aktual justru nol atau sebaliknya, menginjak-injak budaya dan sejarah bangsa serta memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan. Maka, jual beli ideologi dan penghianatan atas kepercayaan rakyat tidak terhindarkan. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan itu dan tingkah laku sosial-politik kian serba tidak jelas, seringkali sambil membanggakan kebudayaan bangsa, dengan mudahnya mencabut nyawa orang. Atau sambil menyerukan toleransi, tanpa malu-malu menculik orang-orang yang berbeda pendapat. Dan sambil berkotbah mengenai tepo sliro, tapi mencuri uang milik rakyat, merampas tanah penduduk.

Konflik Tidak Pernah Menguntungkan
Konflik dalam sistem produksi dan reproduksi dengan sistem pasar bebas adalah “Suffient” dan implikasi praktisnya konflik diatasi secara divisional bukan perombakan sistem sosio-ekonomi secara mendasar. Konflik dipahami secara Parsonian yaitu, seharusnya diperlakukan sebagai hal yang fungsional sebagai penguatan struktur. Padahal berdasarkan keadaan obyektif, basis material masyarakat dengan cara produksi yang serba mengagungkan kekuatan pasar, sangat rentan terjadinya konflik yang sifatnya sistemik.

Menurut Lewis Coser, dalam konteks ini pertama, konflik dipahami sebagai refleksi kondisi struktur sosial atau akibat instrumental dari ketidak cocokan isi struktur. Kedua, kekeliruan penginterpretasian atas konflik tersebut merupakan refleksi dan evaluasi mengenai begitu merasuknya sebuah model memaknaan realitas sampai-sampai kekeliruan bersifat total. Ketiga, rasionalitas bertujuan praktis menunjukkan di mana arah sosial-keabsahan generalisasi konflik kultural dan bersamaan dengan itu dialogisme, demokrasi, dan kerendahan hati para elite dianggap sebagai solusi pragmatis.

Persoalan yang dialami Indonesia tidak akan mereda dan tuntas dengan menelan mentah pil nasionalisme atas dasar resep salah pemerintah seperti selama ini. Hal tersebut dikarenakan konflik yang menimpa masyarakat Indonesia sifatnya sangat sistemik dan merupakan imbas dari sistem konflik masyarakat kapitalis. Yaitu konflik yang berasal dari pelanggaran-pelanggaran kriteria-kriteria primer keamanan eksistensial, sebab proses-proses ke arah konflik mengikuti arah totalisasi, globalisasi, kesamaan operasi sistem.

KETIKA KEGIATAN KESENIAN TERGANTUNG MODAL

Oleh: Nurani Soyomukti


Akhir-akhir ini banyak kalangan pemerhati budaya dan seniman yang menganggap bahwa masalah utama terpinggirkan dan musnahnya kesenian tradisional (secara khusus) dan menipisnya eksistensi kebudayaan lokal (secara umum) adalah karena kekurangan dana dan biaya. Sehingga muncul anggapan bahwa modal (dana) adalah satu-satunya solusi agar kegiatan kesenian dapat bertahan.

Ketika kegiatan berkesenian dan berkebudayaan dianggap sebagai suatu yang teknis-prosedural atau bahkan ekonomis, bisa jadi penyesalan seperti itu muncul dan meluas di kalangan aktivis kesenian. Tetapi jika kesenian dan kebudayaan dipandang sebagai sistem pemaknaan yang tidak kedap pada perubahan, maka sebenarnya lebih baik memikirkan bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan makna yang menyebabkan masyarakat juga dapat menjalani kehidupannya secara utuh. Memisahkan persoalan kesenian dan kebudayaan dari akar sosial ekonominya adalah omong-kosong.

Hal itu akan membuat para aktivis seni-budaya hanya menggerutu dan menyesali nasibnya, tetapi tidak kritis dalam melihat akar-akar persoalan masyarakat sebagai bagian dari hakekat seniman yang tidak (merasa) terpisah atau elitis dari keresahan dan masalah sosial secara umum. Karena kontradiksi ekonomi yang ada butuh pemecahan dalam aktivitas sosial termasuk aktivitas berkesenian dan berkebudayaan.

Para aktivis seni jaman dulu relatif menjiwai proses berkesenian dan memiliki sentimen sosial yang kuat. Tidak ada penyesalan dalam benak mereka, makna berkesenian justru didapatkan ketika aktivitas seninya diabdikan untuk melawan pihak-pihak yang menyebabkan kondisi ekonomi dan kebudayaan rakyat mengalami degradasi. Sebagai contoh yang monumental, kesenian ludruk mampu memfungsikan dirinya dalam mengawal keberanian rakyat untuk melawan imperialisme (penjajahan). Tidak ada gerutu dan penyesalan dalam perjuangan yang dilakukan dalam berkesenian.

Idealisme berkesenian dan berkebudayaan seperti itu sekarang ini jelas-jelas luntur. Kapitalisme pasar bebas telah membentuk watak pragmatis, bahkan dalam kegiatan berkesenianpun juga mempertimbangkan untung-rugi. Ini memang persoalan yang besar, yang menjadi bagian dari terpinggirkannya kebudayaan kita di kancah global.
Kebudayaan lokal jelas-jelas mendapatkan serangan yang bertubi-tubi dari budaya global. Kenyataannya telah terjadi transformasi ke(tidak)sadaran kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan oleh mesin ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian cepat.

Apapun kebudayaan dominan yang kita jumpai di atas panggung kontestasi budaya populer sekarang ini, sebenarnya awalnya berasal dari budaya lokal yang dibingkai dengan logika pasar dengan nafsu jual yang efektif (bahkan juga propagandis). Harus kita akui bahwa produksi budaya yang diterima masyarakat kita dari luar sebenarnya tidak memiliki nafsu untuk mendominasi budaya lain. Kebudayaan an sich merupakan sistem pemaknaan yang di terima oleh komunitas (lokal) yang mengatur hubungan antar individu di dalamnya.

Relasi dialektis di dalam komunitas juga tidak lepas dari perkembangan atau transformasi kebudayaan. Perkembangan ini dipicu oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Maka tiap-tiap komunitas mengalami perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam era globalisasi, interaksi antar komunitas telah menimbulkan interaksi pemaknaan. Siapa yang paling berkuasa dalam menguasai alat-alat produksi budaya, dialah yang akan menyebarkan pemaknaan budaya di masyarakat.

Ketika sistem pemaknaan itu telah dikomodifikasi oleh pemilik modal (sebagai alat produksi utama) untuk dijual, maka mau tak mau terdapat intervensi makna dari budaya yang telah muncul dalam kemasan (kitch) yang siap dilontarkan pada komunitas lain, bukan hanya menghegemoni secara kultural tetapi juga secara ekonomi-politik. Inilah fakta bahwa budaya lokal kita tidak sanggup mempertahankan diri dari serangan-serangan budaya luar, justru terpinggirkan, dan terancam punah. Seni tradisi sebagai bagian budaya lokal harus berjuang "mati-matian" untuk bertahan, dan segala upaya untuk melestarikannya selalu terbentur oleh ketiadaan modal.

Tetapi barangkali patut kita pertanyakan lagi, apakah ketika telah terdapat modal dan dana bagi kegiatan berkesenian, dengan serta merta seni tradisi atau budaya lokal akan diterima dan "laku" di masyarakat?

Itulah persoalannya, kebudayaan adalah rangkaian makna yang rumit. Budaya populer disangga oleh modal besar dan memiliki kekuatan untuk menciptakan makna budaya di masyarakat. Teknologi yang dimilikinya canggih, meluas, dan kesukaannya bukan pada kegiatan seni tradisi yang jika dipertahankan justru menghambat akumulasi kapital. Masalahnya dalam lokalitas dan tradisi ada nilai-nilai makna yang bertentangan dari ideologi kapitalisme yang pragmatis, oportunis, dan eksploitatif. Kebajikan tradisional yang agung harus dilunturkan dengan kebajikan liberal yang rasional dan berlandaskan logika berpikir jual-beli atau untung-rugi.

Jadi persoalannya bukan pada apakah kesenian tradisi dapat dipertahankan dengan mendompleng modal agar bisa tampil di TV, atau berproduksi dengan sponsor tertentu. Makna yang dihasilkannya akan tidak jauh berbeda, citra yang dominan tetaplah pasar; kalau toh ada aroma tradisional, itupun telah terserap dalam pemaknaan budaya pasar, tidak akan melahirkan nilai alternatif atau perlawanan pada relasi pasar yang meminggirkan, eksploitatif, dan menindas bukan budaya lokal, tetapi ekonomi rakyat lokal. Bukankah dalam kehidupan ekonomi yang miskin, tertindas, dan timpang masyarakat tidak mendapatkan makna peradabannya?

Dalam kemiskinan dan keterpinggiran, kehadiran seni tradisi paling banter hanya jadi ilusi atau hiburan sesaat, merasa eksis dengan ditampilkannya kesenian lokalnya, tetapi setelah itu habis, kesengsaraan ekonomi menyebabkan hidup menjadi sulit, susah, dan tidak bermakna. Celakanya para aktivis seni juga banyak yang mengadakan pentas seni tradisi hanya karena kepentingan pragmatis, sebagaimana pihak pemerintah mengeksploitasi seni tradisi untuk aset wisata, bukan untuk rakyat tentunya.

Dalam situasi seperti itu, keterlibatan rakyat hanya sebagai penikmat, tidak produktif dan kreatif sebagai pilar budaya unggul, tetapi hanya imitatif, pasrah, dan ilutif yang mencirikan budaya rakyat tertindas—atau dalam bahasa Paulo Freire "budaya bisu". Sedang keterlibatan aktivis atau organisernya adalah broker kesenian. Pada hal dalam sejarahnya, seni tradisi adalah bagian dari budaya guyub rukun, bahkan juga sebagai aktivitas yang menyatukan semangat kebersamaan dan perjuangan untruk mengatasi kontradiksi seperti penjajahan. Wallahu'alam!

FILM UNTUK KEMANDIRIAN NASIONAL

Oleh:
Nurani Soyomukti
Ketua Komunikasi Massa Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N); penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”



Kata orang di atas bumi
Kita semua sama
Kata orang di mata Tuhan
Tiada miskin dan kaya
...katanya…katanya
……
Selama 350 tahun lamanya
Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda
Kini rakyat Indonesia dijajah oleh elitnya sendiri


Lirik-lirik lagu tersebut dapat didengar dalam alunan musik dangdut yang dinyanyikan Titi Kamal dalam film “Mendadak Dangdut”. Lagu yang berjudul “Mars Pembantu” itupun tersebar di masyarakat. Sebuah upaya menerobos pakem lama di mana biasanya film Indonesia didominasi oleh “mars” atau lagu-lagu yang mengisahkan individualisme dan liberalisme—dan fatalisme, tentu saja!—dari orang-orang kaya yang cara pandangnya tertutup oleh kondisi kemewahan.

Sekilas, pesan nasionalistik anti-penjajahan dalam film tersebut diselipkan dalam lagunya saja. Tetapi, kalau kita telisik lebih jauh, film yang disutradarai Rudi Sudjarwo tersebut sebenarnya ingin menunjukkan segi kontradiksi kehidupan masyarakat yang konon telah dianggap merdeka. Dua orang perempuan bersaudara dari keluarga kaya yang memiliki eksistensi diri besar, pada akhirnya terbukakan pikiran dan hatinya akan pentingnya solidaritas setelah harus terpaksa hidup di perkampungan kumuh perkotaan di mana kontradiksi kemanusiaan dijumpai di mana-mana. Awalnya dua gadis jelita itu, Petris (Titi Kamal), penyanyi pendatang baru dan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), memilih kabur dari dua intel ketimbang harus diseret ke dalam bui.

Merekapun menanggalkan segala yang dimilikinya, mulai dari ketenaran, penggemar, kontrak, kemewahan dan kekayaan. Tak ada pilihan memang. Inilah cara yang harus dijalani ketimbang kena hukuman. Bersama Rizal (Dwi Sasono), pemilik organ tunggal Senandung Citayam itu, mereka menumpang hidup di perkampungan kumuh. Menempati sebuah rumah kontrakan yang sempit dan kusam. Petualangan Petris menjelma menjadi penyanyi dangdut inilah menjadi nafas cerita yang disodorkan dalam “Mendadak Dangdut”.

Di tengah-tengah dominasi film Indonesia yang memang masih didominasi kisah percintaan ala remaja gaul dan film mistik (“hantu-hantuan”), keberadaan sineas muda yang menggarap film-film yang memasuki secara mendalam arena kehidupan rakyat dan mengungkap kontradiksi masyarakat yang memang belum adil merupakan suatu capaian kebudayaan bangsa dari generasi yang hirau akan masa depan bangsanya. “Mendadak Dangdut” bukan satu-satunya film Indonesia kontemporer yang mencoba memotret kehidupan rakyat Indonesia, setelah film-film sebelumnya lebih banyak mempropagandakan nasionalisme palsu.

Film Nasionalis Militeristik
Di masa pemerintahan rejim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga Negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.

Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia.

Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film ‘panas’ yang mengumbar syahwat.

Nasionalisme Nagabonar
Sebenarnya juga muncul sineas-sineas kritis yang mencoba mengagas dan menggarap film-film yang mencoba menawarkan visualisasi dan pesan yang lain. Film-film bertema kerakyatan yang dapat dicatat adalah Tjoet Nyak Dhien (Eros Djarot, 1988), Di Balik Kelambu (Teguh Karya 1983), dan Ponirah Terpidana (Slamet Rahardjo, 1982), juga belakangan muncul Daun Di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998). Film-film yang mengusung idealisme kemanusiaan semacam inilah yang mempelopori kelahiran sineas-sineas baru yang kelak akan melahirkan wajah baru dunia perfilman Indonesia.

Setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Ode Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966 tanpa data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini.

Film-film independen yang mencoba menjernihkan manipulasi sejarah Orde Baru pun juga mulai dibuat. Kehadiran film dokumenter “Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI)” yang dipeoduksi oleh Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), mencoba menarasikan peristiwa mulai tahun 1960-an hingga Orde Baru secara kronologis dan dialektis. Artinya, film ini mengungkap konstelasi politik yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi hingga kekuasaan rakyat ‘disodomi’ oleh minoritas elit bersenjata dan borjuis kecil Indonesia yang pada perkembangannya mendominasi panggung politik bangsa ini. Sebelum film dokumenter yang dibuat pada tahun 2003 itu beredar di kalangan rakyat (terutama aktivis gerakan rakyat), film “Gerakan Mahasiswa 1998” (Student Movement in Indonesia 1998) yang diproduksi pada tahun 1999 juga ikut memberikan pencerahan bagi rakyat karena film ini juga bercerita dari perspektif gerakan (mahasiswa). Sebuah refleksi penting tentang transisi demokrasi di Indonesia antara sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan. Tak mengherankan jika film yang disutradarai oleh Tino Saroengalo ini dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dan mendapatkan penghargaan Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2004.

Selain film dokumenter tersebut, FFI 2004 memberikan film-film perjuangan rakyat tertindas dalam memaknai nasionalisme. Nasionalisme kekinian masihlah menjadi spirit perjuangan rakyat bawah, yaitu nasionalisme yang mengakar. Sendal Bolong untuk Hamdani, Marsinah, yang juga dinobatkan sebagai karya terbaik memotret kesusahan hidup dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh.

Film “Ada Apa dengan Cinta (AADC)” nampaknya juga ingin menampilkan sosok pemuda (remaja) yang tidak hanya memaknai cinta dalam bingaki pasar, tetapi cinta yang diindahkan dengan puisi dan buku-buku (sastra). Hal ini nampak berulang ketika sosok Soe Hok Gie juga berhasil diangkat ke dalam film. Kaum muda Indonesiapun tidak hanya “mabuk cinta”, apalagi cinta monyet ala anak sekolah(an) atau cinta seksual dan hedonisme kaum muda—yang nampaknya masih bercokol kokoh di sinema elektronik (sinetron).

Di tahun 2007 ini, sosok muda tanpa nasionalisme juga disindir dalam film “Nagabonar (Jadi) 2”. Tokoh Bonaga (Tora Sudiro), anak Nagabonar (Dedi Mizwar), digambarkan sebagai pemuda yang mengalami hidupnya di masa pembangunan (modernisasi kapitalis), di mana pragmatisme pembangunan diindoktrinasikan melalui sekolah-sekolah di era Orde Baru. Bonaga yang mempunyai ijazah pendidikan hingga tingkat S-2, ditampilkan dalam film ini sebagai pemuda yang tidak kritis dan malah mendukung praktik ideologi yang kapitalis. Ijazah formal dan gelar itu menjadi lebih penting, daripada makna manusia terdidik itu sendiri.

Karenanya sosok Bonaga berbeda dengan karakter ayahnya Nagabonar. Yang menjadikan Nagabonar berbeda adalah, meskipun Nagabonar tidak pernah “makan sekolahan”, pergulatan kehidupan di masa pra-kemerdekaan dalam situasi kemiskinan merupakan situasi yang membentuk karakter dan jiwanya yang kuat. Bonaga, sebagaimana pemuda Indonesia yang mapan pada umumnya, mewakili karakterisasi generasi muda bangsa yang belum selesai, pemuda yang rapuh dan tak mampu menjadi satu kekuatan penyangga bangsa karena masih berorientasi pada pembangunan diri secara materi.

Dalam perspektif Nagabonar, pencarian pada suatu hal yang bersifat material telah membuat orang lupa pada makna dan hakekat kemerdekaan. Dalam suatu adegan yang sangat simbolis dan menggetarkan, Nagabonar menangisi patung Soedirman, sebagai sosok yang ia idealkan di masa hidupnya, tetapi kini patung itu harus dibuat menghormat pada kendaraan-kendaraan yang lewat di bawahnya, jalanan utama Jakarta, yang sibuk, dan menyiratkan ketidakpedulian.Naga Bonar pun berbicara pada Pak Dirman: "Jenderaaaaaaal......siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati, Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll.....turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!" Naga Bonar mengejek nasionalisme bangsa kita!***