Oleh: Nurani Soyomukti
Akhir-akhir ini banyak kalangan pemerhati budaya dan seniman yang menganggap bahwa masalah utama terpinggirkan dan musnahnya kesenian tradisional (secara khusus) dan menipisnya eksistensi kebudayaan lokal (secara umum) adalah karena kekurangan dana dan biaya. Sehingga muncul anggapan bahwa modal (dana) adalah satu-satunya solusi agar kegiatan kesenian dapat bertahan.
Ketika kegiatan berkesenian dan berkebudayaan dianggap sebagai suatu yang teknis-prosedural atau bahkan ekonomis, bisa jadi penyesalan seperti itu muncul dan meluas di kalangan aktivis kesenian. Tetapi jika kesenian dan kebudayaan dipandang sebagai sistem pemaknaan yang tidak kedap pada perubahan, maka sebenarnya lebih baik memikirkan bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan makna yang menyebabkan masyarakat juga dapat menjalani kehidupannya secara utuh. Memisahkan persoalan kesenian dan kebudayaan dari akar sosial ekonominya adalah omong-kosong.
Hal itu akan membuat para aktivis seni-budaya hanya menggerutu dan menyesali nasibnya, tetapi tidak kritis dalam melihat akar-akar persoalan masyarakat sebagai bagian dari hakekat seniman yang tidak (merasa) terpisah atau elitis dari keresahan dan masalah sosial secara umum. Karena kontradiksi ekonomi yang ada butuh pemecahan dalam aktivitas sosial termasuk aktivitas berkesenian dan berkebudayaan.
Para aktivis seni jaman dulu relatif menjiwai proses berkesenian dan memiliki sentimen sosial yang kuat. Tidak ada penyesalan dalam benak mereka, makna berkesenian justru didapatkan ketika aktivitas seninya diabdikan untuk melawan pihak-pihak yang menyebabkan kondisi ekonomi dan kebudayaan rakyat mengalami degradasi. Sebagai contoh yang monumental, kesenian ludruk mampu memfungsikan dirinya dalam mengawal keberanian rakyat untuk melawan imperialisme (penjajahan). Tidak ada gerutu dan penyesalan dalam perjuangan yang dilakukan dalam berkesenian.
Idealisme berkesenian dan berkebudayaan seperti itu sekarang ini jelas-jelas luntur. Kapitalisme pasar bebas telah membentuk watak pragmatis, bahkan dalam kegiatan berkesenianpun juga mempertimbangkan untung-rugi. Ini memang persoalan yang besar, yang menjadi bagian dari terpinggirkannya kebudayaan kita di kancah global.
Kebudayaan lokal jelas-jelas mendapatkan serangan yang bertubi-tubi dari budaya global. Kenyataannya telah terjadi transformasi ke(tidak)sadaran kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan oleh mesin ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian cepat.
Apapun kebudayaan dominan yang kita jumpai di atas panggung kontestasi budaya populer sekarang ini, sebenarnya awalnya berasal dari budaya lokal yang dibingkai dengan logika pasar dengan nafsu jual yang efektif (bahkan juga propagandis). Harus kita akui bahwa produksi budaya yang diterima masyarakat kita dari luar sebenarnya tidak memiliki nafsu untuk mendominasi budaya lain. Kebudayaan an sich merupakan sistem pemaknaan yang di terima oleh komunitas (lokal) yang mengatur hubungan antar individu di dalamnya.
Relasi dialektis di dalam komunitas juga tidak lepas dari perkembangan atau transformasi kebudayaan. Perkembangan ini dipicu oleh berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Maka tiap-tiap komunitas mengalami perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam era globalisasi, interaksi antar komunitas telah menimbulkan interaksi pemaknaan. Siapa yang paling berkuasa dalam menguasai alat-alat produksi budaya, dialah yang akan menyebarkan pemaknaan budaya di masyarakat.
Ketika sistem pemaknaan itu telah dikomodifikasi oleh pemilik modal (sebagai alat produksi utama) untuk dijual, maka mau tak mau terdapat intervensi makna dari budaya yang telah muncul dalam kemasan (kitch) yang siap dilontarkan pada komunitas lain, bukan hanya menghegemoni secara kultural tetapi juga secara ekonomi-politik. Inilah fakta bahwa budaya lokal kita tidak sanggup mempertahankan diri dari serangan-serangan budaya luar, justru terpinggirkan, dan terancam punah. Seni tradisi sebagai bagian budaya lokal harus berjuang "mati-matian" untuk bertahan, dan segala upaya untuk melestarikannya selalu terbentur oleh ketiadaan modal.
Tetapi barangkali patut kita pertanyakan lagi, apakah ketika telah terdapat modal dan dana bagi kegiatan berkesenian, dengan serta merta seni tradisi atau budaya lokal akan diterima dan "laku" di masyarakat?
Itulah persoalannya, kebudayaan adalah rangkaian makna yang rumit. Budaya populer disangga oleh modal besar dan memiliki kekuatan untuk menciptakan makna budaya di masyarakat. Teknologi yang dimilikinya canggih, meluas, dan kesukaannya bukan pada kegiatan seni tradisi yang jika dipertahankan justru menghambat akumulasi kapital. Masalahnya dalam lokalitas dan tradisi ada nilai-nilai makna yang bertentangan dari ideologi kapitalisme yang pragmatis, oportunis, dan eksploitatif. Kebajikan tradisional yang agung harus dilunturkan dengan kebajikan liberal yang rasional dan berlandaskan logika berpikir jual-beli atau untung-rugi.
Jadi persoalannya bukan pada apakah kesenian tradisi dapat dipertahankan dengan mendompleng modal agar bisa tampil di TV, atau berproduksi dengan sponsor tertentu. Makna yang dihasilkannya akan tidak jauh berbeda, citra yang dominan tetaplah pasar; kalau toh ada aroma tradisional, itupun telah terserap dalam pemaknaan budaya pasar, tidak akan melahirkan nilai alternatif atau perlawanan pada relasi pasar yang meminggirkan, eksploitatif, dan menindas bukan budaya lokal, tetapi ekonomi rakyat lokal. Bukankah dalam kehidupan ekonomi yang miskin, tertindas, dan timpang masyarakat tidak mendapatkan makna peradabannya?
Dalam kemiskinan dan keterpinggiran, kehadiran seni tradisi paling banter hanya jadi ilusi atau hiburan sesaat, merasa eksis dengan ditampilkannya kesenian lokalnya, tetapi setelah itu habis, kesengsaraan ekonomi menyebabkan hidup menjadi sulit, susah, dan tidak bermakna. Celakanya para aktivis seni juga banyak yang mengadakan pentas seni tradisi hanya karena kepentingan pragmatis, sebagaimana pihak pemerintah mengeksploitasi seni tradisi untuk aset wisata, bukan untuk rakyat tentunya.
Dalam situasi seperti itu, keterlibatan rakyat hanya sebagai penikmat, tidak produktif dan kreatif sebagai pilar budaya unggul, tetapi hanya imitatif, pasrah, dan ilutif yang mencirikan budaya rakyat tertindas—atau dalam bahasa Paulo Freire "budaya bisu". Sedang keterlibatan aktivis atau organisernya adalah broker kesenian. Pada hal dalam sejarahnya, seni tradisi adalah bagian dari budaya guyub rukun, bahkan juga sebagai aktivitas yang menyatukan semangat kebersamaan dan perjuangan untruk mengatasi kontradiksi seperti penjajahan. Wallahu'alam!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar