Oleh:
Nurani Soyomukti
Ketua Komunikasi Massa Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N); penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”
Kata orang di atas bumi
Kita semua sama
Kata orang di mata Tuhan
Tiada miskin dan kaya
...katanya…katanya
……
Selama 350 tahun lamanya
Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda
Kini rakyat Indonesia dijajah oleh elitnya sendiri
Lirik-lirik lagu tersebut dapat didengar dalam alunan musik dangdut yang dinyanyikan Titi Kamal dalam film “Mendadak Dangdut”. Lagu yang berjudul “Mars Pembantu” itupun tersebar di masyarakat. Sebuah upaya menerobos pakem lama di mana biasanya film Indonesia didominasi oleh “mars” atau lagu-lagu yang mengisahkan individualisme dan liberalisme—dan fatalisme, tentu saja!—dari orang-orang kaya yang cara pandangnya tertutup oleh kondisi kemewahan.
Sekilas, pesan nasionalistik anti-penjajahan dalam film tersebut diselipkan dalam lagunya saja. Tetapi, kalau kita telisik lebih jauh, film yang disutradarai Rudi Sudjarwo tersebut sebenarnya ingin menunjukkan segi kontradiksi kehidupan masyarakat yang konon telah dianggap merdeka. Dua orang perempuan bersaudara dari keluarga kaya yang memiliki eksistensi diri besar, pada akhirnya terbukakan pikiran dan hatinya akan pentingnya solidaritas setelah harus terpaksa hidup di perkampungan kumuh perkotaan di mana kontradiksi kemanusiaan dijumpai di mana-mana. Awalnya dua gadis jelita itu, Petris (Titi Kamal), penyanyi pendatang baru dan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), memilih kabur dari dua intel ketimbang harus diseret ke dalam bui.
Merekapun menanggalkan segala yang dimilikinya, mulai dari ketenaran, penggemar, kontrak, kemewahan dan kekayaan. Tak ada pilihan memang. Inilah cara yang harus dijalani ketimbang kena hukuman. Bersama Rizal (Dwi Sasono), pemilik organ tunggal Senandung Citayam itu, mereka menumpang hidup di perkampungan kumuh. Menempati sebuah rumah kontrakan yang sempit dan kusam. Petualangan Petris menjelma menjadi penyanyi dangdut inilah menjadi nafas cerita yang disodorkan dalam “Mendadak Dangdut”.
Di tengah-tengah dominasi film Indonesia yang memang masih didominasi kisah percintaan ala remaja gaul dan film mistik (“hantu-hantuan”), keberadaan sineas muda yang menggarap film-film yang memasuki secara mendalam arena kehidupan rakyat dan mengungkap kontradiksi masyarakat yang memang belum adil merupakan suatu capaian kebudayaan bangsa dari generasi yang hirau akan masa depan bangsanya. “Mendadak Dangdut” bukan satu-satunya film Indonesia kontemporer yang mencoba memotret kehidupan rakyat Indonesia, setelah film-film sebelumnya lebih banyak mempropagandakan nasionalisme palsu.
Film Nasionalis Militeristik
Di masa pemerintahan rejim militeristik Orde Baru, film digunakan untuk mengkonstruksikan pandangan ideologis warga Negara yang tujuannya adalah mengekang kehidupan berdemokrasi. Nasionalisme semu ditebarkan dengan memperbanyak film-film perjuangan merebut kemerdekaan, tetapi menyembunyikan fakta bahwa pemerintah melakukan tindakan sistematis untuk menciptakan ketertundukan, menumpulkan nalar kritis sebagai landasan kehidupan demokrasi. Kebebasan seniman film di era Orde Baru begitu sempit dan yang ada hanyalah penulis cerita yang didikte oleh perusahaan produser film yang diawasi secara ketat oleh pemerintah.
Film yang berkembang dikontrol secara ketat di bawah kendali pemerintah militeristik dengan memberlakukan penyensoran formal, informasi, dan kepemilikan suatu karya. Pada masa itu, film-film bertemakan sejarah politik yang tampil sebatas pada kisah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan sebelum dan sesudah Perang Dunia II di mana dominasi kekerasan fisik lebih ditonjolkan oleh perjuangan tokoh utamanya, seperti Joko Sembung dan Si Pitung. Dominasi militer sangat menonjol dalam film-film yang ditonton secara massif oleh rakyat karena mobilisasi struktur pemerintahan militer waktu itu, misalnya film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1983). Belakangan diketahui bahwa film tentang “Serangan Umum 1 Maret 1949” ini tidak objektif dalam menggambarkan sejarah yang sebenarnya karena terlalu menonjolkan (posisi dan peran) Soeharto dalam merebut ibukota Yogyakarta (sebagai ibukota RI waktu itu); sedangkan peran diplomatis yang sangat menentukan dari Hamengku Buwono IX dinegasikan. Film-film sejarah lain seperti Mereka Kembali (1972) dan Bandung Lautan Api (1975) yang diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) dan disponsori oleh Kodam Siliwangi juga bertujuan sama, untuk melanggengkan dominasi militer dalam kebudayaan Indonesia.
Menjelang akhir keruntuhan Orde Baru, film-film Indonesia mengalami kemunduran. Bahkan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, perfilman Indonesia berada titik yang paling mengerikan. Masyarakat dibombardir dengan produksi film-film ‘panas’ yang mengumbar syahwat.
Nasionalisme Nagabonar
Sebenarnya juga muncul sineas-sineas kritis yang mencoba mengagas dan menggarap film-film yang mencoba menawarkan visualisasi dan pesan yang lain. Film-film bertema kerakyatan yang dapat dicatat adalah Tjoet Nyak Dhien (Eros Djarot, 1988), Di Balik Kelambu (Teguh Karya 1983), dan Ponirah Terpidana (Slamet Rahardjo, 1982), juga belakangan muncul Daun Di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998). Film-film yang mengusung idealisme kemanusiaan semacam inilah yang mempelopori kelahiran sineas-sineas baru yang kelak akan melahirkan wajah baru dunia perfilman Indonesia.
Setelah Soeharto tumbang dan peran militer mulai berkurang, dominasi militer dalam film juga mulai digugat. Film sejarah Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S) 1965 yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PPFN), yang selama pemerintahan Ode Baru diputar setiap tahun, menjadi kontroversial. Film tersebut bukan hanya menceritakan konteks politik yang terjadi pada awal tahun 1960-an hingga tahun 1966 tanpa data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi juga sangat kentara sekali dalam menonjolkan Soeharto sebagai seorang prajurit yang paling nasionalis setelah mempelopori pembantaian sejuta lebih nyawa rakyat yang dituduh terlibat memberontak terhadap bangsa dan Negara. Ada permainan dan manipulasi nasionalisme dalam film sejarah ini.
Film-film independen yang mencoba menjernihkan manipulasi sejarah Orde Baru pun juga mulai dibuat. Kehadiran film dokumenter “Kado Buat Rakyat Indonesia (KBRI)” yang dipeoduksi oleh Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), mencoba menarasikan peristiwa mulai tahun 1960-an hingga Orde Baru secara kronologis dan dialektis. Artinya, film ini mengungkap konstelasi politik yang sebenarnya dari peristiwa yang terjadi hingga kekuasaan rakyat ‘disodomi’ oleh minoritas elit bersenjata dan borjuis kecil Indonesia yang pada perkembangannya mendominasi panggung politik bangsa ini. Sebelum film dokumenter yang dibuat pada tahun 2003 itu beredar di kalangan rakyat (terutama aktivis gerakan rakyat), film “Gerakan Mahasiswa 1998” (Student Movement in Indonesia 1998) yang diproduksi pada tahun 1999 juga ikut memberikan pencerahan bagi rakyat karena film ini juga bercerita dari perspektif gerakan (mahasiswa). Sebuah refleksi penting tentang transisi demokrasi di Indonesia antara sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dari kursi kepresidenan. Tak mengherankan jika film yang disutradarai oleh Tino Saroengalo ini dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik dan mendapatkan penghargaan Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2004.
Selain film dokumenter tersebut, FFI 2004 memberikan film-film perjuangan rakyat tertindas dalam memaknai nasionalisme. Nasionalisme kekinian masihlah menjadi spirit perjuangan rakyat bawah, yaitu nasionalisme yang mengakar. Sendal Bolong untuk Hamdani, Marsinah, yang juga dinobatkan sebagai karya terbaik memotret kesusahan hidup dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum buruh.
Film “Ada Apa dengan Cinta (AADC)” nampaknya juga ingin menampilkan sosok pemuda (remaja) yang tidak hanya memaknai cinta dalam bingaki pasar, tetapi cinta yang diindahkan dengan puisi dan buku-buku (sastra). Hal ini nampak berulang ketika sosok Soe Hok Gie juga berhasil diangkat ke dalam film. Kaum muda Indonesiapun tidak hanya “mabuk cinta”, apalagi cinta monyet ala anak sekolah(an) atau cinta seksual dan hedonisme kaum muda—yang nampaknya masih bercokol kokoh di sinema elektronik (sinetron).
Di tahun 2007 ini, sosok muda tanpa nasionalisme juga disindir dalam film “Nagabonar (Jadi) 2”. Tokoh Bonaga (Tora Sudiro), anak Nagabonar (Dedi Mizwar), digambarkan sebagai pemuda yang mengalami hidupnya di masa pembangunan (modernisasi kapitalis), di mana pragmatisme pembangunan diindoktrinasikan melalui sekolah-sekolah di era Orde Baru. Bonaga yang mempunyai ijazah pendidikan hingga tingkat S-2, ditampilkan dalam film ini sebagai pemuda yang tidak kritis dan malah mendukung praktik ideologi yang kapitalis. Ijazah formal dan gelar itu menjadi lebih penting, daripada makna manusia terdidik itu sendiri.
Karenanya sosok Bonaga berbeda dengan karakter ayahnya Nagabonar. Yang menjadikan Nagabonar berbeda adalah, meskipun Nagabonar tidak pernah “makan sekolahan”, pergulatan kehidupan di masa pra-kemerdekaan dalam situasi kemiskinan merupakan situasi yang membentuk karakter dan jiwanya yang kuat. Bonaga, sebagaimana pemuda Indonesia yang mapan pada umumnya, mewakili karakterisasi generasi muda bangsa yang belum selesai, pemuda yang rapuh dan tak mampu menjadi satu kekuatan penyangga bangsa karena masih berorientasi pada pembangunan diri secara materi.
Dalam perspektif Nagabonar, pencarian pada suatu hal yang bersifat material telah membuat orang lupa pada makna dan hakekat kemerdekaan. Dalam suatu adegan yang sangat simbolis dan menggetarkan, Nagabonar menangisi patung Soedirman, sebagai sosok yang ia idealkan di masa hidupnya, tetapi kini patung itu harus dibuat menghormat pada kendaraan-kendaraan yang lewat di bawahnya, jalanan utama Jakarta, yang sibuk, dan menyiratkan ketidakpedulian.Naga Bonar pun berbicara pada Pak Dirman: "Jenderaaaaaaal......siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati, Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll.....turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!" Naga Bonar mengejek nasionalisme bangsa kita!***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar