Gerak Pikir dan Tindak Kaum Muda
dalam Memandang Kehancuran LH & SDA
Oleh :
Khalisah Khalid
Penulis saat ini bekerja sebagai Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI Jakarta, sekaligus aktif di Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia
Gagalnya Arus Utama Lingkungan Hidup di IndonesiaSelama satu dasawarsa, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumber daya alam demi alasan pertumbuhan perekonomian. Sayangnya, paradigma ekonomi sentries dalam pembangunan ini, telah menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah di Negara ini, digadaikan kepada kekuatan modal, dengan menjual ide globalisasi. Selama Pengurus negara menempatkan sumber daya alam (SDA) semata-mata barang eksploitasi sebesar-besarnya guna mendapatkan devisa sebanyak-banyaknya, pelanggaran HAM akan terus meningkat tak terselesaikan. Banyaknya perijinan eksploitasi dimiliki pelaku industri ekstraktif membuktikan pengurus negara mengabaikan fungsi pentingnya alam melayani kebutuhan ekologis manusia.
Globalisasi sebagai jargon yang telah dihembuskan oleh neoliberalisme paling tidak telah menggunakan perangkat-perangkat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir negara-negara maju yang konon katanya “sudah” mengalami masa “tradisional” sehingga saat ini sudah harus bergerak pada arus yang mengglobal dengan cara menggenggam dunia dengan hukum pasar dan dikarenakan globalisasi dimainkan oleh kekuatan pemilik modal hingga untuk masuk kedalam satu negara, tidak segan-segan mengebiri kekuatan negara lewat lembaga keuangan seperti World Bank, ADB, IMF, serta perusahaan Trans Nasional Corporates (TNc’s) dan Multinasional Corporates (MNcs). Lewat agenda privatisasi dan liberalisasi, kekuatan negara perlahan telah diambil alih oleh kekuatan kapitalis, antara lain privatisasi air, liberalisasi pertanian dan juga liberalisasi di sector perikanan.
Perubahan bukan tidak pernah ingin dilakukan oleh bangsa ini untuk keluar dari krisis yang melandanya, mulai dari masa revolusi hingga reformasi, angin perubahan dihembuskan dengan kelompok muda yang menjadi sandaran utamanya. Tapi sayangnya perubahan dalam konteks memandang lingkungan hidup dan sumber daya alam tidak dengan serta merta membawa perubahan yang signifikan, khususnya bagi rakyat yang selama ini justru banyak berkorban untuk perubahan.
Ada beberapa sebab utama mengapa perubahan negeri ini didalam mengurus negaranya tidak pernah sesuai dengan harapan rakyat, antara lain:
Pertama, pasca reformasi 1998 kelompok pro demokrasi dan gerakan social progressif gagal mendeterminasi arah pembangunan lingkungan hidup, sementara kekuasaan justru dibajak oleh kelompok-kelompok status quo yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi liberal yang meninggalkan agenda-agenda dan kepentingan rakyat kebanyakan, termasuk mengabaikan semua tuntutan masyarakat korban akibat otoritarianisme orde baru.
Kedua, transisi demokrasi justru lebih menjadi kuda tunggangan bagi kekuatan-kekuatan pro pasar bebas (kapitalisme neo-liberal), ketika kelompok pro perubahan tidak ada signifikansinya terhadap cita-cita demokrasi kerakyatan. Sebab Indonesia masih menjadi bangsa jajahan melalui sistem penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh negara-negara industri maju dan lembaga keuangan Internasional yang mengakibatkan kemiskinan dan bencana ekologi terus terjadi di Indonesia.
Ketiga, Gerakan lingkungan hidup berada di jantung perlawanan atas penghisapan penjajahan baru (eksploitasi sumber-sumber kehidupan), dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme lainnya (buruh, nasionalis, sosialis dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada kekuatan massa kritis yang massif, terorganisir, terpimpin untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.
Ketiga penyebab utama inilah yang menggambarkan Indonesia menuju proses penghancuran karena lingkungan hidupnya dirusak, dan kebangkrutan karena sumber daya alamnya diobral murah.
Gagal dan Bangkrutnya Rezim Sumber Daya Alam
Sejak bangsa ini dipimpin oleh kaum tua, watak yang mesti diingat adalah watak eksploitatif. Ini bisa kita lihat dari cara pandang pemimpin didalam membangun bangsanya dalam kurun waktu yang cukup panjang, rezim tua menjadi potret rezim yang hanya mewariskan kehancuran dan kebangrutan. Inilah yang dinamakan cara pandang yang eksploitatif, karena didalam prinsipnya yang dikejar hanyalah pertumbuhan ekonomi yang bersifat akumulatif, dan tidak terdistribusi secara adil dan merata kepada rakyat, dan tentu saja mengabaikan keberlanjutan kehidupan generasi berikutnya.
Dimulai dari masa orde baru, Soeharto menempatkan landasan pembangunan tepat pada cita-cita mengejar pertumbuhan ekonomi. Undang-undang yang pertama digulirkan adalah undang-undang penanaman modal asing (PMA) yang memberikan konsesi pertambangan kepada PT. Freeport Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panjang, 30 tahun lamanya, tanpa pernah ada renegosiasi terhadap kontrak karya disepanjang perjalanan PT. Freeport beroperasi mengeruk sumber daya alam di Papua.
Di sektor migas, dampak liberalisasi di sektor migas dikuasai 85% oleh asing dan hanya 15% dikuasi oleh Pertamina. Sektor pertambangan merupakan industri paling tertutup yang melebihi rahasia negara, dimana rakyat tidak bisa mengakses informasi terkait dengan sumber daya migas yang tersedia. Industri ekstraktif ini kemudian menjadi primadona setelah kekayaan alam dari sektor hutan mulai menipis. Dampak yang ditimbulkan dari industri ekstraktif ini bukan hanya kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga tindak pelanggaran hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun sipil dan politik (sipol). Di sektor ini juga sangat kental dengan bisnis militer dan polisi, terutama dengan jasa pengamanan (security) bagi industri ekstraktif.
Setelah jatuhnya masa orba dan berganti menjadi masa reformasi, paradigma dalam melihat persoalan lingkungan hidup bahkan cenderung lebih eksploitatif. Ini bisa dilihat dari produk undang-undang baru yang dihasilkan antara lain UU Penanaman Modal Asing yang menambah panjang hak investor untuk menanamkan invstasinya di Indonesia, tidak kurang dari 90 tahun lamanya dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang lebih berpihak kepada modal dan menegasikan hak politik rakyat miskin atas ruang.
Krisis berbangsa yang multidimensional dan kondisi riil yang dihadapi oleh bangsa inilah yang kemudian mendorong kegelisahan kaum muda yang concern bekerja pada isu lingkungan hidup untuk merubah strategi dan orientasi gerakannya didalam memperjuangkan keberlanjutan kehidupan lewat sebuah gerakan politik alternatif, yang akan memberikan ruang kepada kaum muda untuk memimpin Indonesia dan keluar dari krisis kedaulatan dan keadilan ekologi yang diakibatkan oleh salah urusnya negara didalam mengelola sumber daya alamnya.
Saatnya Kaum Muda Memimpin Indonesia
Kita tentu tidak mau lagi dipimpin kelompok dari rezim yang eksploitatif ini, dan perubahan ini hendak diciptakan oleh sejumlah aktifis muda lingkungan hidup yang selama ini lebih banyak bermain pada ranah advokasi, mencoba mendobrak tradisi lama, dimana tidak cukup hanya dengan gerakan advokasi untuk merubah sebuah kebijakan politik. Kita berkali-kali mengalami kekalahan didalam memperjuangkan konflik sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam selalu dimulai dari kebijakan politik.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang berada diambang kehancuran dan kebangkrutan akibat salah urus didalam mengelola sumber daya alam, kaum muda yang selama ini bergerak didalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, yang selama kurang lebih 26 tahun telah bermain didalam ranah advokasi kebijakan, menjadi salah satu kelompok civil society yang belakangan ini secara serius tengah mendorong lahirnya kekuatan politik alternatif rakyat, yang bekerja berdasarkan platform perjuangan serta konsep alternatif tentang penataan pengaturan kehidupan masyarakat yang komprehensif dan menyeluruh. Tujuan politiknya tidak saja berusaha mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, tetapi berusaha mendeterminasi perubahan tatanan politik-ekonomi dan sosial serta perubahan paradigma dalam penataan kehidupan masyarakat.
Menghadapi putaran pergantian rezim yang sebentar lagi akan terjadi, kita tentu tidak berharap kekuatan status quo yang dikuasai oleh kelompok tua atau kelompok muda yang berpikir konvensional dalam melihat lingkungan hidup dan sumber daya alam. Untuk itu, kekuatan politik alteratif baru dengan bercirikan meletakkan tonggak-tonggak kekuatannya pada kader-kader muda dan kader-kader perempuan yang akan menjadi motor dalam gerakan pembaharuan lingkungan hidup menjadi kebutuhan yang mendesak, sehingga agenda perubahan mendasar bagi bangsa ini untuk mewujudkan keadilan ekologi dan lingkungan dapat dicapai.
Ditengah-tengah apatisnya rakyat terhadap sebuah partai politik, kita tentu yakin dan ingin membuktikan bahwa kita dapat menjawab tantangan realitas politik ini dengan sebuah kekuatan baru, kaum muda yang berpikir progressif untuk membuaat perubahan, dan kaum muda yang berorientasi jangka panjang untuk memikirkan konsep pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Semoga kaum muda progressif ini dapat mengambil kepeloporan untuk mewujudkan tantangan atas perubahan bangsa ini.***