Oleh:
Nurani Soyomukti,
Mantan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember; kini pengurus pusat (PP) Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N).
“Walaupun kami dogmatik, kami tak suka kultus individu. Kami tak mengajar orang-orang kami untuk percaya, melainkan untuk berpikir”.
(FIDEL CASTRO)
Nurani Soyomukti,
Mantan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember; kini pengurus pusat (PP) Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (J.A.M.A.N).
“Walaupun kami dogmatik, kami tak suka kultus individu. Kami tak mengajar orang-orang kami untuk percaya, melainkan untuk berpikir”.
(FIDEL CASTRO)
Kata-kata itu dikatakan oleh Fidel Castro suatu waktu. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menjawab tuduhan-tuduhan dan segala fitnah yang dialamatkan padanya dan pada negerinya yang menempuh jalan alternatif di luar jalan kapitalisme. Sosialisme Kuba seringkali didiskreditkan oleh Amerika Serikat (AS) dan para pendukungnya. Dengan media-media yang dikuasai oleh jaringan kapitalisme globalnya, perjuangan dan capaian rakyat Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro diisolasi dari komunitas internasional. Ditambah dengan propaganda bahwa tidak ada demokrasi di Kuba atau negara sosialis lainnya.
Yang dilakukan Castro adalah sebuah kepemimpinan revolusioner sebagai alternatif dari kepemimpinan elitis dan oligarkis sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis—oligarki modal. Sementara AS dan media propagandanya menyebarkan citra buruk terhadap kepemimpinan Castro, Paus Paulus pemimpin Vatikan yang pernah berkunjung ke Kuba justru terheran-heran tentang apa yang terjadi di negara itu. Sosialisme telah memerankan bangunan kemanusiaan yang besar hingga Kuba telah menjadi negara dengan tingkat melek huruf tertinggi di dunia, pertanian organik ramah lingkungan yang maju, pendidikan gratis dan kesehatan yang memadai.
Yang dilakukan Castro adalah sebuah kepemimpinan revolusioner sebagai alternatif dari kepemimpinan elitis dan oligarkis sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis—oligarki modal. Sementara AS dan media propagandanya menyebarkan citra buruk terhadap kepemimpinan Castro, Paus Paulus pemimpin Vatikan yang pernah berkunjung ke Kuba justru terheran-heran tentang apa yang terjadi di negara itu. Sosialisme telah memerankan bangunan kemanusiaan yang besar hingga Kuba telah menjadi negara dengan tingkat melek huruf tertinggi di dunia, pertanian organik ramah lingkungan yang maju, pendidikan gratis dan kesehatan yang memadai.
Bandingkan dengan negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi tekanan/intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing: mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi—tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi). Lihat saja besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB.
Berbeda dengan di Kuba yang menggartiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Peneliti barat masih terheran-heran bagaimana negeri Kuba yang diisolasi dan didiskreditkan AS justru dapat menyaingi tandard pendidikan negara-negara imperialis seperti AS, Kanada, dan Inggris Raya. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kpemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba.
Apa yang terjadi di Kuba, dicontoh oleh revolusi bolivarian yang dijalankan oleh para aktivis di Venezuela yang dipimpin oleh Hugo Chavez. Keberanian dalam bertindak dan program-program alternatif sebagai jawaban atas kontradiksi pokok dan konkrit yang ada dilakukan oleh Chavez dalam para pendukungnya. Keberaniannya ditunjukkan dengan kemauannya untuk membuat seruan-seruan pada rakyat atas melencengnya pemerintahan yang pro-neoliberalisme dan propaganda berupa jalan apa yang ditempuh. Tipe semacam inilah yang dsebut sebagai pemimpin massa rakyat yang menempatkan dirinya sebagai pelopor perubahan dan pemimpin kesadaran massa. Bahkan, lebih dari itu, Chavez juga berani bertindak: pada tahun 1992 ia secara berani ingin merebut kekuasaan pro-neoliberal dengan cara melakukan kudeta.
Meskipun gagal, kudeta 1992 yang justru mempercepat kesadaran rakyat hingga pada akhirnya berujung pada kemenangannya yang lebih nyata. Dengan program kemandirian nasional dan anti-neoliberal, dengan dukungan riil dari rakyat, pada tahun 1998 ia memenangkan pemilu. Hugo Chavez segera dikenal sebagai presiden pembela rakyat, yang mengentaskan mereka dari kemiskinan, dan bahkan memberdayakannya secara politik. Artinya, kesejahteraan ekonomi dan demokrasi politik dijamin. Kesejahteraan ekonomi ditempuh dengan revolusi kebijakan ekonomi dari kapitalisme menuju sosialisme-kerakyatan.
***
Lalu siapakah yang akan menuliskan apa yang terjadi di Venezuela? Siapa yang menyebarkan adanya ”jalan lain” di luar neoliberalisme (kapitalisme, pasar bebas) yang banyak diamini oleh negara-negara yang secara ekonomi-politik masih terjajah (seperti negara kita)? Pada waktu itu, hingga memasuki tahun 2007, tidak ada yang menuliskan apa yang terjadi di Venezuela secara komprehensif dalam arti membahas konteks historis, kontradiksi, dan subjek gerakan yang mengantarkan Chavez menuju pada ”kepemimpinan alternatif” di era globalisasi neoliberal abad 21 ini. Aku ingin mengangkatnya, menuliskannya...
***
Lalu siapakah yang akan menuliskan apa yang terjadi di Venezuela? Siapa yang menyebarkan adanya ”jalan lain” di luar neoliberalisme (kapitalisme, pasar bebas) yang banyak diamini oleh negara-negara yang secara ekonomi-politik masih terjajah (seperti negara kita)? Pada waktu itu, hingga memasuki tahun 2007, tidak ada yang menuliskan apa yang terjadi di Venezuela secara komprehensif dalam arti membahas konteks historis, kontradiksi, dan subjek gerakan yang mengantarkan Chavez menuju pada ”kepemimpinan alternatif” di era globalisasi neoliberal abad 21 ini. Aku ingin mengangkatnya, menuliskannya...
Dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, dengan kesengajaan maupun tidak, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan, menuliskan sesuatu dalam bentuk buku ini merupakan suatu hal yang monumental dalam hidupku. Sebagaimana muncul spirit tiba-tiba yang menyatu dengan narsisme dan gila publikasi—yang konon melekat pada psike penulis—saat tulisan kita (entah puisi, cerpen, esai, opini, dll) diterbitkan pertama kalinya di media massa, mungkin dapat dikatakan terjadi pula saat buku kita pertama kali diterbitkan.
Tetapi, proses kreatifku melampaui itu semua, ada dinamika psikis, tetapi juga ada (yang dominan) kehendak ideologis—saoal pandangan hidup, soal pilihan, dan soal konsekuensi!
Hasil studi yang kutuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besarku untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, aku kembali berusaha melanjutkan usahaku untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.
Yang aku lanjutkan sebenarnya adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisiku (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional—di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik—FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individualku yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat aku terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisiku sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.
Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya aku masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsiku, pada hal skripsiku juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS)—dan pada waktu itu pemerintahan Chavez juga telah berjalan 5 tahun. Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela, atau aku yang memang belum begitu peduli.
Dan karena kondisi itu, aku merasa bahwa aku terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kepengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, aku lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah aku lakukan saat menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.
Itulah yang kemudian mendorongku untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme-neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable dan compatible di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.
Tetapi, mungkin yang kulakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawanku lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga aku, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan aku seperti kembali menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.
Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangatku, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.
Apa yang kulakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan itu akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungiku untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Secara pribadi, terus terang aku tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang kulakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagiku untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang aku habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasanku di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.[1]
Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin aku hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang aku geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta, UI, Mas Nur Imam Subono, bahkan mengakui dan mengatakan padaku bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.
Inilah yang membuat aku agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidupku—biarlah aku dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: aku tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.
Dalam proyek ini, mungkin aku akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peranku sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utamaku adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.
Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa aku menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksudku adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan aku memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi!!
Hugo Chavez tidak sendirian, karenanya buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” akan menyusul. Buku kedua ini masih merupakan dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat di Nikaragua, sebuah negara di kawasan Karibia. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian awal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.
Ah, betapa sombongnya di sini jika kukatakan bahwa aku ingin karya-karya tersebut mengisi kekosongan literatur alternatif dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi kuakui bahwa karya-karyaku bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah aku ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Beberapa waktu lalu, selama beberapa hari, rubrik internasional media massa negara-negara di di muka bumi dihiasi berita tentang kemenangan Cristina Fernandez, perempuan yang pada tahun 1970-an aktif di organisasi Tendensi Revolusioner Argentina. Perempuan ini menang karena pendukung utamanya adalah “kaum papa” di Argentina. “Kemenangan presiden baru Argentina adalah kemenangan seluruh perempuan Amerika Latin,” kata Presiden Venezuela Hugo Chaves.[2] Hugo Chavez termasuk salah satu tokoh presiden tetangga yang pertama kali mengucapkan selamat, selain Lula Da Silva presiden Brazil. Hugo Chavez selama ini memimpin perlawanan terhadap AS dan neoliberalisme di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Fernandez terpilih dan akan menggantikan suaminya yang telah menjadi presiden yang cukup berhasil, juga sama radikalnya dengan Chavez, Morales, Ortega, dan tokoh-tokoh lainnya di kawasan ini. Suaminya adalah Neztor Kirchner yang pada 2005 menyatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas (FTAA) adalah kebohongan, dan bahkan ia menolak membayar utang yang selama ini digunakan lembaga imperialis untuk menjerat negaranya. Sulit bagi Fernandez untuk berbeda dalam garis kebijakannya dengan suaminya, apalagi dua hati dan pikiran (Kirchner dan Fernandez sebagai suami-istri) telah terpaut sejak keduanya kuliah bidang Hukum dan menjadi aktivis.
What’s next? Mempelajari kisah-kisah perlawanan—juga kepahlawanan—itu “asyik”: sebagaimana mahasiswa Hubungan Internasional (HI) yang selalu interested untuk mempelajari Negara-negara lain. Menulis kisah-kisah perlawanan itu menarik. Menulis para pemberani menarik—juga untuk mengumpat para pengecut seperti elit-elit negeri kita Indonesia yang, karena neoliberalisme, rakyatnya semakin sengsara. A Luta Continua!
“Revolusi bukanlah Chavez… Revolusi akan terjadi dengan atau tanpa dia. Chavez adalah suara dari rakyat Venezuela, tetapi rakyat Venezuela sendirilah yang akan mengubah Negara ini. Kami mengikuti ide Simon Bolivar dan gerakan proyek Bolivarian di Amerika Latin!!!”
(MERCADO, Seorang aktivis Lingkaran Bolivarian)
Jember, 15 November 2007
¥ Dipropagandakan dalam cara Bedah Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL”, Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP UNEJ, di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (FISIP UNEJ), Kamis 15 November 2007.
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).
[2] “Kaum Papa Dukung Fernandez: Kebijakan Ekonomi Suaminya Akan Diteruskan”, Kompas, Rabu 31 Oktober 2007