Senin, 27 Agustus 2007

UPAYA INTIMIDASI HAK POLITIK HARUS DILAWAN!!!


Oleh:
Iwan Dwi Laksono,
Sekretaris Jenderal JAMAN, mantan Ketua Eksekutif Nasional LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi).

Sudahkah kemandirian politik di negeri ini terwujud? Sudahkah demokrasi di negeri ini ada?
Sejak Soeharto tumbang, setelah 32 tahun rakyat dijauhkan dari politik, sudahkan kini politik menjadi milik rakyat?

Melihat gejala politik akhir-akhir ini, nampaknya jawaban dari pertanyaan di atas nampak jelas. Di negeri ini, membangun sebuah partai politik nampaknya masih belum dianggap hak bagi warga negara. Apa lagi, membangun partai politik untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu 2009 nanti juga akan sulit karena terbentur dengan UU Politik baru yang naga-naganya mempersulit partaai-partai kecil dan partai baru untuk lolos sebagai peserta pemilu karena harus memenuhi syarat-syarat yang akan mencerminkan partai-partai politik besar yang saat ini berkuasa.
Selain masalah itu, akhir-akhir ini ada pula gejala yang cukup menampar wajah demokrasi kita. Penyerangan beberapa ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) Forum Betawi Rembug (FBR) terhadap acara yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) di Jakarta beberapa waktu yang lalu juga merupakan kejadian yang sangat memalukan dalam sebuah negara yang konon didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Sejak semula, konsolidasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) tak berjalan mulus. Sekelompok massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rembuk (FBR) menghadang konvoi Papernas supaya mereka membubarkan diri.

Kita tahu bahwa menuduh tanpa dasar hukum dan fakta merupakan kebiasaan yang sangat buruk, apalagi tuduhan itu diikuti dengan kebencian dan menggunakan cara-cara kekerasan, merusak dan mengintimidasi hingga mengorbankan pihak yang diserang. Tuduhan bahwa Papernas adalah 'komunis' mestinya harus dibuktikan secara seksama dengan ditempuh melalui jalur hukum. Masalahnya, tuduhan 'komunis' terhadap suatu organisasi atau gerakan yang muncul dari rakyat seringkali digunakan sejak jaman Orde Baru sebagai pemerintahan yang memang ingin menghalau kekuatan demokratik yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Stigma 'komunis' seakan menjadi makanan basi yang terus saja dikunyah-kunyah dan disemburkan setiap ada kepentingan tertentu dari kekuasaan atau kelompok masyarakat yang memiliki klik dengan kekuasaan.

Dalam kaitannya dengan pendirian partai politik yang ingin melibatkan diri dalam pemilu, yang berhak menentukan lolos atau tidaknya sebuah partai dengan mengacu syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang adalah pihak yang berwenang, yaitu Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lolos tidaknya sebuah partai politik akan ditentukan oleh syarat-syarat yang ditentukan dan bukannya oleh fitnah-fitnah politis yang ditujukan untuk mengintimidasi dengan tujuan politik tertentu. Berpolitik dan berdemokrasi diatur oleh kaidah hukum yang berlaku. Jika hukum yang ada dilanggar, dan jika aparat penegak hukum dikakangi otoritasnya, maka demokrasi akan mengarah pada chaos. Tambahan lagi, kekerasan harus diharamkan dalam negara yang diatur oleh hukum, demokrasi, dan HAM.

Jaminan Hak Politik
Hak politik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia, menurut UU No. 39/1999 Pasal 1 (butir 1) adalah 'seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak politik adalah hak asasi manusia yang berkenaan dengan seorang individu vis-a-vis masyarakat publik, kelakuan pemerintah, dan bagaimana individu itu berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi masyarakat berdasarkan kemanfaatan yang dapat diperolehnya. Hak ini adalah hak-hak yang memastikan peluang seorang anggota masyarakat yang membuat/merubah/mengusulkan/mengatur kebijakan publik pemerintahan, yang mempengaruhinya (Conde, 1999: 109). Hak politik ini termasuk dalam 'Hak Asasi Manusia Generasi Pertama' yang melindungi hak-hak seseorang untuk berpartisipasi di dalam mengarahkan dan mengembangkan sebuah masyarakat, seperti hak untuk memilih dan untuk menjalankan pemerintahan.

Deklarasi Universal HAM menyebutkan hak politik itu di dalam Pasal 2, ayat (1), (2), dan (3), meliputi hak untuk ikut serta di dalam pemerintahan, hak atas pelayanan publik, dan kehendak rakyat harus menjadi dasar kewenangan pemerintah (Lawson, 1996: 1172-8). Hak ini juga disebutkan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 23 (1) yang secara eksplisit menyatakan hak ikut serta di dalam pengaturan urusan publik, secara langsung atau lewat perwakilan, hak untuk memilih dan dipilih, secara langsung atau lewat perwakilan, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, dan hak atas akses ke pelayanan publik--rumusan yang mirip juga terdapat dalam The American Convention on Human Right. Hal yang sama juga ditekankan oleh Pasal 5 dari Konvenan Internasional tentang Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan bahkan pasal 7 dan pasal 8 dari konvenan yang terakhir ini amat menekankan kewajiban negara untuk menghapuskan diksriminasi hak politik terhadap perempuan.

Dasar negara kita juga dengan tegas mengatur bahwa hak-hak politik sangat dijamin. Setiap warga negara bebas berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dan pikirannya. Apa yang dilakukan Papernas adalah untuk menegaskan hak-hak politiknya, membangun sebuah alat politik yang digunakan untuk mencapai tujuannya dalam membangun bangsa yang kian hari-kian terpuruk secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Apapun organisasi politik yang tumbuh, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan HAM sudah seharusnya dibiarkan tumbuh dan berkembang. masyarakat sipil adalah sebuah arena bagi setiap warga negara dan kelompok untuk mengkontestasikan gagasannya. Setiap ruang publik (public sphere) harus dijaga kewibawaannya, tidak boleh ada siapapun yang menghadang orang atau kelompok yang ingin berkontestasi. Dalam panggung kontestasi politik yang ada itu, rakyat akan menentukan pilihannya dan bertindak untuk menjalankan hak-hak politiknya.

Partai Politik Alternatif
Tindakan FPI dan FBR memang merupakan batu sandungan bagi demokrasi kita. Ruang-ruang politik yang ada tidak dapat berjalan secara alamiah dengan tindakan-tindakan anti-demokrasi semacam itu. Pada hal, di tengah-tengah apatisme rakyat yang butuh saluran alternatif karena kebuntuan yang dilakukan oleh sistem politik kita, dibutuhkan suatu organisasi-organisasi baru yang bisa mewarnai. Masih banyak masyarakat yang masih optimis dengan lahirnya partai-partai baru. Masalahnya, kontradiksi masyarakat yang kian menajam dengan penindasan terhadap rakyat selalu memunculkan kekuatan yang dapat membaca situasi dan menggulirkan gerakan politik yang didasarkan pada kondisi objektif yang ada. Penindasan dan ketidakadilan yang dialami rakyat di satu sisi memang akan membawa apatisme politik yang berlebihan, tetapi di sisi lain juga akan menyadarkan rakyat untuk membangun suatu kekuatan politik karena perubahan tidak lepas dari proses politik. Keresahan-keresahan massa yang diwujudkan dengan reaksi dan aksi kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi melalui organisasi yang membawa program-program anti-penindasan dengan ideologi, program, strategi-taktik, dan tindakan maju masih dapat dilakukan ke depan.

Kita bisa belajar dari pengalaman Amerika Latin, di mana kemorosotan kesejahteraan rakyat justru melahirkan partai-partai politik yang lahir dari gerakan rakyat. Pemiskinan yang terjadi akibat neoliberalisme yang lebih lama terjadi sepuluh tahun lebih awal dibanding Indonesia membuat partai-partai politik di sana justru dipandang sebagai alat politik untuk merubah nasib rakyat. Sebagian besar partai kerakyatan itu juga memenangkan pemilu di beberapa negara. Partai Gerakan Republik Ke Lima (MVR) di Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez memenangkan dua periode pemilu secara meyakinkan dengan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Di Bolivia, MAS berhasil menempatkan Evo Morales sebagai presiden terpilih dengan kemenangan telak. Sebelumnya—meski dalam program dan praktek kebijakannya berbeda dari dua kekuatan politik di atas—Partindo Trabalhadores (PT) berhasil menjadikan Lula Da Silva sebagai presiden pertama sepanjang sejarah Brasil yang berasal dari kalangan buruh dan kemudian terpilih kembali beberapa waktu yang lalu. Terakhir, Front Sandinista Liberation National (FSLN) di Nikaragua berhasil menggenapkan re-komposisi kekuatan politik di Amerika Latin dengan memenangkan Daniel Ortega sebagai presiden terpilih pada pemilu 2006 lalu. Di Peru dan Mexico meski belum berhasil meraih kemenangan elektoral, partai politik yang berbasis gerakan rakyat telah menjadi penantang serius dalam pemilu di masing-masing negaranya. Bahkan Partindo Revolucion Democratica (PRD) di Mexico berhasil menghimpun suara terbesar sepanjang sejarah berdirinya partai tersebut pada pemilu yang lalu.

Krisis kesejahteraan akibat neoliberalisme yang terlambat satu dekade dibanding Amerika Latin tentunya masih memberikan landasan bagi rakyat untuk belajar. Dialektika material akan memberikan pelajaran-pelajaran berharga bagi masyarakat. Keberadaan partai politik juga akan diuji dengan perkembangan hubungan penindasan yang ada. Rakyat bisa jadi bangkit seperti pada awal masa pergerakan ketika kontradiksi penjajahan Belanda pada akhirnya mengajarkan bahwa perjuangan perubahan hanya dapat ditempuh secara efektif dengan organisasi politik. Kemunculan Boedi Oetomo waktu itu menandai dimulainya fase baru perjuangan melalui organisasi dan partai politik. Tentunya yang dibtuhkan adalah partai-partai yang memiliki ide yang maju, program yang menjawab masalah rakyat, serta memiliki tindakan konkrit dan konsisten, terutama dalam melakukan pendidikan politik yang objektif dan tidak hanya sekedar mengobarkan sentimen reaksioner dan rasis.***

1 komentar:

ragil nugroho mengatakan...

Selain masalah itu, akhir-akhir ini ada pula gejala yang cukup menampar wajah demokrasi kita. Penyerangan beberapa ormas seperti Front Pembela Islam (FPI) Forum Betawi Rembug (FBR) terhadap acara yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) di Jakarta beberapa waktu yang lalu juga merupakan kejadian yang sangat memalukan dalam sebuah negara yang konon didasarkan pada nilai-nilai demokrasi dan HAM. Sejak semula, konsolidasi Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) tak berjalan mulus. Sekelompok massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rembuk (FBR) menghadang konvoi Papernas supaya mereka membubarkan diri.

Tanggapan:
makanya antum aja koalisi tuh FPI sama FBR biar kagak nyerang2 lagi.

Ragil Nugroho